![cover image](https://wikiwandv2-19431.kxcdn.com/_next/image?url=https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c5/Onagawa_Nuclear_Power_Plant.jpg/640px-Onagawa_Nuclear_Power_Plant.jpg&w=640&q=50)
Tenaga nuklir di Jepang
From Wikipedia, the free encyclopedia
Energi nuklir merupakan prioritas nasional di Jepang, tetapi belakangan ini sudah muncul kecemasan terhadap kemampuan pembangkit-pembangkit nuklir di Jepang dalam menghadapi aktivitas seismik. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kashiwazaki-Kariwa ditutup sepenuhnya selama 21 bulan karena adanya gempa bumi pada tahun 2007.
![Thumb image](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c5/Onagawa_Nuclear_Power_Plant.jpg/320px-Onagawa_Nuclear_Power_Plant.jpg)
![Thumb image](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/16/Fukushima_I_by_Digital_Globe_crop.jpg/640px-Fukushima_I_by_Digital_Globe_crop.jpg)
Pada tahun 2011, karena adanya tsunami dan gempa bumi, serta kegagalan sistem pendingin di PLTN Fukushima I pada bulan Maret 2011, maka pemerintah Jepang mengumumkan keadaan bahaya nuklir. Pernyataan bahya nuklir ini merupakan pernyataan bahaya nuklir pertama kalinya di Jepang. Ada 140.000 orang penduduk yang tinggal di sekitar 20 kilometer dari pembangkit listrik terpaksa mengungsi. Jumlah material radioaktif yang terlepas sampai saat ini belum diketahui, karena krisisnya masih berlangsung sampai sekarang.[3]
Pada tanggal 6 Mei 2011, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan memerintahkan agar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Hamaoka segera ditutup karena diperkirakan akan ada gempa bumi berkekuatan 8.0 skala richter atau lebih di kawasan itu dalam waktu 30 tahun ke depan.[4][5][6] Kan berkeinginan agar bencana nuklir Fukushima 2011 tidak terulang lagi satu hari nanti.[7] Pada tanggal 9 Mei 2011, Chubu Electric memutuskan untuk mematuhi permintaan pemerintah. Kan kemudian membuat kebijakan energi baru yang isinya adalah mengurangi ketergantungan terhadap energi nuklir.[8]
Masalah yang muncul dalam penyelesaian bencana nuklir Fukushima I memunculkan sikap yang lebih keras terhadap energi nuklir. Pada bulan Juni 2011, "lebih dari 80 persen orang Jepang menyatakan bahwa mereka anti-nuklir dan tidak mempercayai informasi dari pemerintah tentang radiasi.[9] Sebuah polling yang diadakan setelah bencana Fukushima menyatakan bahwa antara 41 dan 54 persen orang Jepang mendukung penutupan atau pengurangan jumlah pembangkit listrik nuklir.[10] Ribuan orang melakukan aksi unjuk rasa di pusat kota Tokyo pada bulan September 2011, sambil meneriakkan “Selamat tinggal energi nuklir” dan menyebarkan banner yang isinya tentang menghimbau pemerintah Jepang agar meninggalkan energi atom ini.[11] Pada bulan Oktober 2011, tinggal 11 pembangkit listrik nuklir yang beroperasi di Jepang. Meskipun Jepang sempat mengalami krisis listrik, tetapi negara ini berhasil selamat dari pemadaman listrik besar-besaran di musim panas lalu.[12][13][14] Saat ini negara ini sedang berusaha mengandalkan sumber lain untuk menghasilkan listrik. Sebuah proposal energi baru telah disetujui oleh anggota kabinet pada bulan Oktober 2011. Proposal itu kira-kira berisi tentang kepercayaan publik yang menurun drastis terhadap keamanan energi nuklir karena adanya bencana Fukushima, dan oleh karena itu negara akan mengurangi ketergantungan terhadap energi nuklir.[15]