cover image

Kesultanan Banjar

Kerajaan bercorak Islam di Kalimantan Selatan, Indonesia / From Wikipedia, the free encyclopedia

Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin atau Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan yang wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini semula beribu kota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir di Martapura. Ketika beribu kota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.[14][15][16][17][18][19][20][21][22] .

Quick facts: Kesultanan Banjar Darul-Ihsan كسلطانن بنجر, I...
Kesultanan Banjar Darul-Ihsan

كسلطانن بنجر
1520–1905 (2010[1]-sekarang tanpa kekuasaan politik)
Bendera Kesultanan Banjar
Bendera
Lambang_Kesultanan_Banjar.gif
Lambang
Wilayah terakhir Kesultanan Banjar pada masa Sultan Adam yang telah menyusut antara tahun 1826-1860 sebelum dibubarkan Hindia Belanda, karena wilayah sekelilingnya telah diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sultan Banjar. Wilayah Banjar yang lebih kuno terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru
Wilayah terakhir Kesultanan Banjar pada masa Sultan Adam yang telah menyusut antara tahun 1826-1860 sebelum dibubarkan Hindia Belanda, karena wilayah sekelilingnya telah diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sultan Banjar. Wilayah Banjar yang lebih kuno terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru[5][6][7]
Ibu kota
  1. Kuin, Banjar Lama (1520)
  2. Pemakuan (1612)[8]
  3. Muara sungai Tambangan, Batang Mangapan (1622)
  4. Batang Banyu (1632)
  5. Martapura Lama (1642)
  6. Sungai Pangeran, Banjarmasin (1663)
  7. Kayu Tangi (1680)
  8. Bumi Kencana (1771)[9][10] atau Bumi Selamat (1806)[11]
  9. Sungai Mesa, Banjarmasin(1857)
  10. Karang Intan
  11. Amuntai, Banua Lima
  12. Baras Kuning
Bahasa yang umum digunakanBahasa Banjar
Agama
Islam Sunni (resmi)[12]
Kaharingan
Konghucu
Kristen
PemerintahanMonarki
Kesultanan
Sultan 
 1526-1550
Sultan Suriansyah
 1862-1905
Sultan Muhammad Seman
 24 Juni 2010-sekarang
Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah
Sejarah 
1520
 berubah menjadi Kesultanan
1526
1826-1858[13]
 pemerintahan Darurat
18..-1905
 Di dirikan kembali (tanpa kekuasaan)
2010[1]-sekarang tanpa kekuasaan politik)
 Akhir pemerintahan Darurat
1905 (2010[1]-sekarang tanpa kekuasaan politik)
Didahului oleh
Digantikan oleh
Blank.png Kerajaan Negara Daha
Pagustian Blank.png
Sekarang bagian dariFlag_of_Indonesia.svg Republik Indonesia
Close
Sadewa.jpg
Sang Dewa (Sadewa) puteranya Maharaja Pandu Dewata adalah leluhur Raja-raja Banjar menurut Hikayat Sang Bima.
Kraton-van-de-sultan-te-Ban.jpg
Gambar kraton/istana kenegaraan Kesultanan Banjar di Martapura pada tahun 1843.
Bangsawan_Banjar_Museum_Lambung_Mangkurat.JPG
Profil Bangsawan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Gadis_Banjar_Museum_Lambung_Mangkurat.JPG
Profil gadis Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.

kerajaan Banjar berdiri pada Tahun 1520 dan menjadi Kesultanan Banjar sejak 1526 Lalu dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah,[1] berlandaskan Permendagri No. 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Tugas melestarikan lembaga keraton, adat-istiadat, budaya, dan sejenisnya ini dibebankan kepada kepala daerah dan masyarakat.[23] Lewat wewenang tersebut, Sultan Khairul Saleh (Sultan Banjar sekarang) menjalin silaturahmi dengan tokoh-tokoh raja dan sultan se-Nusantara melalui berbagai forum komunikasi kekerabatan guna melestarikan kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia. Kegiatan ini tak hanya lingkup nasional bahkan bersifat Internasional.[24]

Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala suku Dayak.

Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribu kota di kota Negara, sekarang merupakan ibu kota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

Bendera Negara Banjar berwarna kuning di atas dan hitam dibawah dengan Posisi horizontal.[25]

Tradisi lebih lanjut menyatakan bahwa setelah kematian Ampoe Djatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Limbong Mengkoerat, berhasil membawa keajaiban yang muncul dari aliran, Poetri Djoendjoeng Boeih, seorang putri keluarganya, menikahi seorang Pangeran Jawa dari Madjapahit., yang memerintah dengan nama Maharaja Soeria Nata dan dianggap sebagai pendiri kekaisaran dan leluhur para pangeran Bandjermasin. Peristiwa itu dan seringnya sentuhan yang ada di antara kedua wilayah itu mungkin merupakan alasan bahwa fondasi Bandjermasin dikaitkan dengan sebuah koloni Jawa. Agaknya Maharaja Soeria Nata tidak lain adalah Tjakra Nagara, putra pangeran Madjapahit, yang, menurut Kronik Jawa Raffles, dikirim ke Bandjermasin dengan banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437, yang, kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu Pengging (Andayaningrat).[26]

Kekaisaran sekarang menikmati kedamaian dan kemakmuran di antara serangkaian penguasa dari rumah suku asli, dan perbatasannya meluas dari Solok (Karasikan) ke Sambas di sepanjang pantai selatan dan timur Kalimantan. Situasi ini berlangsung hingga akhir abad ke-16, ketika pangeran Sakar Soengsang, yang melewati anak-anaknya sendiri, menunjuk Radhen Samudra, putra dari putrinya, sebagai penerus takhta, menciptakan perang sipil yang sengit. Radhen, yang belakangan menjadi pangeran Samudra, yang tidak mampu menang, meminta dan mendapatkan bantuan Sulthan dari Damak, dengan syarat bahwa ia dan rakyatnya akan memeluk doktrin Muslim dan membayar upeti kepada pangeran itu. Diperkuat oleh bantuan Jawa, Pangeran segera mengalahkan lawan-lawannya dan naik tahta dengan gelar Sulthan.[26]

Setelah mencapai tujuannya, sulthan baru (Hidayatullah 1) segera lupa untuk memenuhi perkiraan yang telah ditentukan; tetapi ancaman-ancaman berikutnya dari atasannya memiliki efek yang cukup untuk memaksa dia kembali ke Jawa untuk memuaskan sang pangeran. Di sana ia dipenjara karena ketidaksetiaannya dan hanya dibebaskan melalui mediasi putranya (Raden Senapati Sultan Mustain Billah), tentu saja tidak dengan pengorbanan besar. Dengan semakin melemahnya para pangeran Jawa, tampaknya tidak lama setelah itu supremasi mereka atas Banjarmasin, yang telah dipecah beberapa kali, tampaknya telah berakhir untuk selamanya, dan sebagai tindakan terakhir subordinasi kerajaan Jawa ini saya menemukan catatan mengirimkan kedutaan pada tahun 1642 kepada sulthan Agoeng raja Mataram.[26]