Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid
From Wikipedia, the free encyclopedia
Ibnu Tughj, bernama lengkap Abū Bakar Muḥammad bin Ṭughj bin Juff bin Yiltakīn bin Fūrān bin Fūrī bin Khāqān (8 Februari 882 – 24 Juni 946 M), yang lebih dikenal dengan gelarnya al-Ikhsyīd (Arab: الإخشيد) setelah tahun 939 M, adalah seorang komandan dan gubernur Abbasiyyah yang menjadi penguasa otonomi Mesir dan sebagian Suriah (atau Syam) dari tahun 935 M sampai kematiannya pada 946 M. Ia adalah pendiri dari Dinasti Ikhsyidiyah, yang berkuasa di wilayah tersebut sampai kemudian ditaklukkan oleh Fatimiyah pada tahun 969 M.
Muhammad bin Tughj al-Ikhshid | |
---|---|
Gubernur penguasa Mesir, Suriah dan Hijaz | |
Kegubernuran | 26 Agustus 935 – 24 Juni 946 |
Penerus | Unujur |
Kelahiran | 8 Februari 882 Baghdad |
Kematian | 24 Juni 946(946-06-24) (umur 64) Damaskus |
Dinasti | Dinasti Ikhsyidiyah |
Ayah | Tughj bin Juff |
Putra dari Tughj bin Juff, seorang jenderal berdarah Turkik yang mengabdikan diri, baik kepada Abbasiyah maupun penguasa-penguasa otonom Thuluniyah di Mesir dan Suriah, Muhammad bin Tughj lahir di Baghdad, tetapi dibesarkan di Suriah dan memperoleh pengalaman administratif dan militer pertamanya dari ayahnya. Awal karirnya penuh gejolak: bersama ayahnya, ia dipenjarakan oleh pihak Abbasiyah pada tahun 905, lalu dibebaskan pada tahun 906. Ia kemudian berpartisipasi dalam pembunuhan wazir al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara'i pada tahun 908, dan melarikan diri ke Irak untuk mengabdi kepada gubernur Mesir, Takin al-Khazari. Hingga akhirnya, ia memperoleh sokongan dari beberapa pembesar Abbasiyyah yang berpengaruh, terutama panglima besar yang berkuasa, Mu'nis al-Muzaffar. Hubungan ini membuatnya diangkat menjadi gubernur Palestina, lalu Damaskus. Pada tahun 933 M, ia juga diangkat menjadi gubernur Mesir, tetapi jabatan tersebut dicabut setelah kematian Mu'nis, dan ia pun mesti berjuang, bahkan untuk mempertahankan jabatan gubernurnya di Damaskus. Pada tahun 935, ia diangkat kembali menjadi gubernur di Mesir yang ia dengan cepat memukul mundur invasi Fatimiyah dan menstabilkan negara yang sedang bergejolak saat itu. Masa pemerintahannya menandai periode perdamaian dalam negeri yang jarang terjadi, stabilitas, dan pemerintahan yang berjalan dengan baik dalam sejarah Mesir Islam awal. Pada tahun 938, Khalifah ar-Radi mengabulkan permintaannya untuk mendapatkan gelar al-Ikhsyid, yang selama ini dipegang oleh para penguasa dari daerah leluhurnya di Lembah Farghana. Dengan gelar inilah ia dikenal setelahnya.
Sepanjang masa kegubernurannya, al-Ikhsyid terlibat dalam konflik dengan sejumlah penguasa regional lainnya dalam memperebutkan kekuasaan atas Suriah, yang tanpanya Mesir menjadi rentan terhadap invasi dari timur. Namun, tidak seperti dengan kebanyakan pemimpin Mesir lainnya, terutama Thuluniyah sendiri, al-Ikhsyid bersedia untuk mengulur waktu dan berkompromi dengan para pesaingnya. Meskipun pada awalnya dia memegang kendali atas keseluruhan Suriah, dia kemudian terpaksa menyerahkan setengah wilayah bagian utara-nya kepada Ibnu Ra'iq di antara tahun 939 dan 942. Setelah Ibnu Ra'iq terbunuh, al-Ikhsyid mengklaim kembali kekuasaannya atas Suriah utara, tetapi kemudian ditentang oleh Hamdaniyah. Pada tahun 944, al-Ikhsyid menemui Khalifah al-Muttaqi di Raqqah; sang khalifah melarikan diri ke sana dari berbagai pihak berkepentingan yang berlomba-lomba untuk menculiknya demi mengendalikan kekhalifahan di Baghdad. Meskipun gagal dalam membujuk sang khalifah untuk datang ke Mesir, Ibnu Tughj berhasil menerima pengakuan atas kekuasaan turun-temurun terhadap Mesir, Suriah, dan Hijaz selama tiga puluh tahun. Setelah kepergiannya ke Raqqah, pangeran Hamdaniyah yang penuh ambisi, Saif ad-Daulah, merebut Aleppo dan Suriah utara pada musim gugur tahun 944. Meskipun pada tahun berikutnya, Saif ad-Daulah berhasil dikalahkan dan diusir keluar dari Suriah oleh Ibnu Tughj sendiri. Pada bulan oktober, sebuah perjanjian dengan pangeran Hamdaniyah dibuat yang membagi wilayah tersebut sesuai dengan garis persetujuan yang sebelumnya Ibnu Tughj dengan Ibnu Ra'iq disepakati. Ibnu Tughj meninggal sembilan bulan kemudian, dan dimakamkan di Yerusalem. Putranya, yakni Unujur, mewarisi wilayah kekuasaannya, di bawah pengawasan kasim berkulit hitam yang berpengaruh, Abu al-Misk Kafur.