Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda
pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang selama Perang Dunia II, 1942-1945 / From Wikipedia, the free encyclopedia
Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta.
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Pendudukan Jepang di Hindia Belanda Ranryō Higashi Indo 蘭領東印度 | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1942–1945 | |||||||||||||||
Bekas wilayah Hindia Belanda (merah tua) dengan Kekaisaran Jepang (merah muda) pada wilayah terluasnya pada masa Perang Pasifik | |||||||||||||||
Status | Pendudukan militer oleh Kekaisaran Jepang | ||||||||||||||
Ibu kota | Djakarta | ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jepang, Indonesia | ||||||||||||||
Pemerintahan | Pendudukan militer | ||||||||||||||
Era Sejarah | Perang Dunia II | ||||||||||||||
8 Maret 1942 | |||||||||||||||
1941–1945 | |||||||||||||||
27 Februari 1942 | |||||||||||||||
1 Maret 1942 | |||||||||||||||
1943 - 1944 | |||||||||||||||
14 Februari 1945 | |||||||||||||||
15 Agustus 1945 | |||||||||||||||
17 Agustus 1945 | |||||||||||||||
Mata uang | Rupiah Hindia Belanda | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia Timor-Leste | ||||||||||||||
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember di tahun yang sama.[1] Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman penduduk di bawah penguasaan Jepang bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk badan persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsakai. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI atau dalam bahasa Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iinkai yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.
Pada Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang.[2] Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Tambelang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941, mereka melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda harus dihadapi sekaligus apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat dibutuhkan untuk industri di Jepang maupun untuk keperluan perang.
Laksamana Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infanteri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.[3]
Pada pagi 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menghancurkan 188 pesawat dan merusak delapan kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama dua jam pengeboman, 2.402 orang Amerika tewas dan 1.283 lainnya luka-luka.[4] Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor.
Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.[5] Tiga hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Kondisi ini menjadikan Amerika Serikat tergabung dengan pasukan Sekutu dan terlibat pertempuran di Eropa dan Asia Pasifik.[4]
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatra sebagai sumber minyak utama.
Pada tanggal 8 Desember 1941, pemerintah di pengasingan Belanda menyatakan perang terhadap Jepang.[6] Pada bulan Januari 1942 Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia dibentuk untuk mengoordinasikan pasukan Sekutu di Asia Tenggara, di bawah komando Jenderal Archibald Wavell.[7] pada minggu-minggu menjelang invasi, pejabat senior pemerintah Belanda mengasingkan diri, membawa tahanan politik, keluarga, dan staf pribadi ke Australia. Sebelum kedatangan pasukan Jepang, terdapat konflik antara kelompok-kelompok di Indonesia yang mengakibatkan banyak orang terbunuh, hilang, atau bersembunyi. Properti milik orang Cina dan Belanda dijarah dan dihancurkan.[8]
Invasi pada awal tahun 1942 berlangsung cepat dan menyeluruh. Pada bulan Januari 1942, sebagian Sulawesi dan Kalimantan berada di bawah kendali Jepang. Pada bulan Februari, Jepang telah mendarat di Sumatera dan mendorong orang Aceh untuk memberontak melawan Belanda.[9] Pada tanggal 19 Februari, setelah merebut Ambon, Satgas Timur Jepang mendarat di Timor, menerjunkan unit parasut khusus ke Timor Barat dekat Kupang, dan mendarat di daerah Dili di Timor Portugis untuk mengusir pasukan Sekutu yang menyerbu pada bulan Desember.[10]
Pada tanggal 27 Februari, upaya terakhir angkatan laut Sekutu untuk membendung Jepang digagalkan oleh kekalahan mereka dalam Pertempuran Laut Jawa.[9] Dari tanggal 28 Februari hingga 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di empat tempat di sepanjang pantai utara Jawa hampir tanpa gangguan. Pertempuran paling sengit terjadi di titik-titik invasi di Ambon, Timor, Kalimantan, dan di Laut Jawa. Di tempat yang tidak ada pasukan Belanda, seperti Bali, tidak terjadi pertempuran. Pada tanggal 8 Maret, tentara Jepang menyita stasiun radio NIROM di Batavia dan memerintahkan siaran tetap dilanjutkan. Para pegawai radio dengan menantang memainkan lagu Het Wilhelmus yang mengakibatkan Jepang mengeksekusi 3 orang di antaranya.[11] Pada tanggal 9 Maret, komandan Belanda menyerah bersama Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.[9]
Pendudukan Jepang pada awalnya disambut dengan semangat optimis oleh masyarakat Indonesia yang datang menemui tentara Jepang sambil mengibarkan bendera dan meneriakkan dukungan seperti “Jepang adalah kakak kita” dan “banzai Dai Nippon”. Ketika Jepang maju, orang-orang Indonesia yang memberontak di hampir seluruh wilayah nusantara membunuh kelompok-kelompok orang Eropa (khususnya Belanda) dan memberi tahu Jepang yang mereka percaya mengenai keberadaan kelompok-kelompok yang lebih besar.[12] Seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer: “Dengan kedatangan Jepang, hampir semua orang penuh harapan, kecuali mereka yang pernah bekerja untuk melayani Belanda."[13]
Berharap bahwa para administrator Belanda akan tetap dipegang oleh Jepang untuk menjalankan koloni, sebagian besar orang Belanda menolak untuk pergi. Sebaliknya, mereka dikirim ke kamp penahanan dan penggantinya dari Jepang atau Indonesia ditempatkan pada posisi senior dan teknis.[14] Pasukan Jepang menguasai birokrasi sektor infrastruktur dan layanan pemerintah seperti pelabuhan dan layanan pos. Selain 100.000 warga sipil Eropa (dan beberapa warga Tiongkok) yang diinternir, 80.000 tentara Belanda, Inggris, Australia, dan Sekutu AS dikirim ke kamp tawanan perang dengan tingkat kematian antara 13 dan 30 persen. Kelas penguasa Indonesia (terdiri dari pejabat lokal dan politisi yang pernah bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda) bekerja sama dengan otoritas militer Jepang yang pada gilirannya membantu menjaga elit politik lokal tetap berkuasa dan mempekerjakan mereka untuk memasok kebutuhan industri, bisnis, dan angkatan bersenjata Jepang yang baru datang. Kerja sama Indonesia memungkinkan pemerintah militer Jepang untuk fokus pada pengamanan perairan dan udara di kepulauan besar tersebut dan menggunakan pulau-pulaunya sebagai pos pertahanan terhadap serangan Sekutu (yang diasumsikan kemungkinan besar berasal dari Australia).[15]
Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah terpisah; Sumatera (bersama Malaya) ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, Jawa dan Madura di bawah Angkatan Darat ke-16, sedangkan Kalimantan dan Indonesia bagian timur dikuasai oleh Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) yang berpangkalan di Makassar. Angkatan Darat ke-16 bermarkas di Jakarta dan Angkatan Darat ke-25 bermarkas di Singapura hingga April 1943, ketika komandonya dipersempit menjadi hanya di Sumatera dan markas besarnya dipindahkan ke Bukittinggi.[16][17]
Di Jawa, Angkatan Darat ke-16 berencana mengelola Jawa sebagai satu entitas kesatuan. Namun pihak militer tidak membawa cukup administrtor yang handal untuk membentuk badan terpisah. Sejumlah besar penduduk Jepang di Jawa, yang bisa memberi nasihat kepada pemerintah, dibawa ke Australia ketika perang pecah, sementara sekelompok pejabat sipil terbunuh dalam Pertempuran Laut Jawa. Permasalahan ini diperparah oleh fakta bahwa hanya sedikit orang Indonesia yang bisa berbahasa Jepang. Pada bulan Agustus 1942 pemerintahan secara resmi dipisahkan dari komando tentara. Pemerintahan militer (gunsei) dikepalai oleh kepala staf Angkatan Darat ke-16 (gunseikan). Wakilnya mengepalai bagian terpenting pemerintahan, Departemen Urusan Umum (Jepang: 総務部), yang bertindak sebagai sekretariat dan mengeluarkan kebijakan. Ada tiga Gunseikan untuk Jawa selama pendudukan:[18][19][20]
- Imamura Hitoshi
- Harada Kumakichi
- Yamamoto Moichiro
Sumatera juga punya Gunseikan. Di wilayah yang dikuasai angkatan laut, rencananya wilayah tersebut akan diubah menjadi koloni permanen yang dikelola oleh birokrat sipil Jepang, namun tetap berada di bawah angkatan laut. Oleh karena itu, IJN membawa serta pegawai sipilnya. Kepala administrator sipil (sōkan) bertanggung jawab langsung kepada Komandan Armada Area Barat Daya. Di bawah Sōkan ada tiga departemen administrasi yang bermarkas di Makassar, Banjarmasin, dan Ambon.[21][22]
Kebijakan untuk pendudukan sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan posisi sosial. Banyak orang yang tinggal di wilayah yang dianggap penting bagi upaya perang mengalami penyiksaan, perbudakan seks, penangkapan dan eksekusi sewenang-wenang serta kejahatan perang lainnya. Ribuan orang dibawa keluar dari Indonesia sebagai pekerja paksa (romusha) untuk proyek-proyek militer Jepang, termasuk jalur kereta api Burma-Siam dan Saketi-Bayah. Banyak dari mereka menderita atau meninggal akibat penganiayaan dan kelaparan. Diperkirakan antara 200.000 hingga 500.000 romusha yang direkrut dari Jawa dipaksa bekerja oleh militer Jepang.[23]
Puluhan ribu masyarakat Indonesia kelaparan, bekerja sebagai buruh paksa, atau terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dalam Revolusi Nasional berikutnya, puluhan bahkan ratusan ribu orang akan tewas dalam pertempuran melawan Jepang, pasukan Sekutu, dan sesama masyarakat Indonesia lainnya, sebelum kemerdekaan tercapai.[24][16] Laporan PBB selanjutnya menyatakan bahwa 4.000.000 orang tewas di Indonesia akibat kelaparan dan kerja paksa selama pendudukan Jepang, termasuk 30.000 kematian warga sipil di interniran Eropa. Sebuah penelitian pemerintah Belanda yang menggambarkan bagaimana militer Jepang merekrut perempuan sebagai pelacur secara paksa di Indonesia menyimpulkan bahwa di antara 200 hingga 300 perempuan Eropa yang bekerja di rumah bordil militer Jepang, “sekitar enam puluh lima orang kemungkinan besar dipaksa menjadi pelacur."[25][26] Perempuan muda lainnya (dan keluarga mereka), yang dihadapkan pada berbagai tekanan di kamp interniran atau di masyarakat masa perang, menyetujui tawaran pekerjaan, yang sifatnya sering kali tidak disebutkan secara eksplisit.[27][28]
- Pembela Tanah Air (PETA)
- Gakkutotai (laskar pelajar)
- Heiho (barisan cadangan prajurit)
- Seinendan (barisan pemuda)
- Fujinkai (barisan wanita)
- Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
- Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa)
- Keibodan (barisan pembantu polisi)
- Jibakutai (pasukan berani mati)
- Kempetai (barisan polisi rahasia)
Sejak awal datang ke Indonesia pada tahun 1942 hingga melenggang keluar Indonesia pada tahun 1945, Jepang banyak memproduksi film-film propaganda. Kala itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang terpengaruh. Terlebih dengan bumbu dan gorengan semangat anti-sekutu—yang mana Belanda termasuk di dalamnya—dan telah lama menjajah Indonesia.
Ketika sekutu masuk ke Indonesia, film-film propaganda produksi Jepang ini disita. Pada Agustus 2020, Nederlandsch Instituut voor Beeld en Geluid merilis film-film propaganda Jepang hasil sitaan sekutu yang diproduksi selama Perang Pasifik ketika Hindia-Belanda diduduki oleh Jepang ke Wikimedia Commons.
Berikut beberapa film propaganda Jepang yang telah tersedia di Wikimedia Commons :
- Barisan Pekerdja
- Bekerdja
- Berita Film di Djawa
- Bojtalosi
- Chabar Dai Toa (31)
- Disnipoen medan perang (6)
- Djagalah Tanah Djawa
- Djawa Hodo no. 14
- Taiteki Kanshi
- Tanaman Kapas
- Tentera Darat Nippon
- Tonari Gumi (Acte 1)
Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang
Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini karena Jepang ingin mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya.
Penggantian Nama dan Kebijakan Jepang
Selama masa pendudukan Jepang, kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Penderitaan rakyat bertambah karena segala kegiatan rakyat dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang dalam menghadapi musuh-musuhnya.[30] Terlebih rakyat dijadikan pekerja romusha (kerja paksa zaman Jepang) sehingga banyak jatuh korban akibat kelaparan dan penyakit. Salah satu kebijakan Jepang adalah penggantian nama-nama kota dengan bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Kebijakan lain di bidang sosial yang dapat dikatakan positif adalah Kinrohoshi, yaitu gerakan kerja bakti massal di tiap desa. Salah satu kebijakan Jepang di bidang budaya menjadi pemicu perlawanan rakyat Indonesia. Sikap Seikerei atau kewajiban bagi masyarakat untuk membungkuk 90 derajat ke arah matahari terbit mendapat pertentangan dari masyarakat terutama kalangan ulama. Salah satunya peristiwa Singaparna yaitu perlawanan yang dilakukan KH Zainal Mustafa, seorang pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, Jawa Barat.[30]
- Peristiwa Cot Plieng, Aceh 10 November 1942
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe.[31] Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.
- Peristiwa Singaparna
Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Dia menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit.[32] Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu diapun tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu bela diri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat.[33] Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.[34]
- Peristiwa Indramayu, April 1944
Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja paksa yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.[35] Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyas dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang, Kabupaten Indramayu. Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahui kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
- Pemberontakan Teuku Hamid
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
- Pemberontakan Peta
- Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.[36] Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, rōmusha maupun Heiho yang diperlakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi tidak diketahui keberadaannya hingga akhirnya dinyatakan menghilang.[37]
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.
- Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco), Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.
- Perlawanan Pang Suma
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Barat. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di kalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
- Perlawanan Koreri di Biak di Irian Barat tahun 1943
Perlawanan ini dimulai dari gerakan kultural Koreri pimpinan Angganita Manufandu tahun 1939. Saat Jepang sampai Angganita dipenjara pemerintah Jepang sehingga gerakan dipimpin oleh Stefanus Simioparef yang kemudian menjadi gerakan bernuansa politis. Pertempuran terbuka dimulai 10 October 1942, di Pantai Manswan, Selatan Biak yang mengakibatkan sekitar korban 2000 orang.[38] Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dianiaya tapi juga untuk melawan kolonial dan pengaruh dari luar yang mulai merubah agama dan budaya lokal. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Pimpinan lain gerakan ini adalah Lukas Rumkorem yang kemudian mendirikan iterasi pertama Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM), partai politik pertama di Biak pada September 1945, yang mengadakan pertemuan di September hingga November di Nusi, lalu kemudian pindah sejak Januari 1946 ke Bosnek.[39]
- Perlawanan di Pulau Yapen Selatan
Perlawanan ini termasuk dari sebaran gerakan Koreri di Biak dan dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang. Nimrod lalu dihukum pancung oleh Jepang. Tetapi muncullah seorang pemimpin gerilya baru yakni Silas Papare yang saat itu bekerja sama dengan NEFIS, intelejen Belanda. Dia menjadi penghubung antara mantan pasukan gerilya dengan sekutu.[40]
- Perlawanan di Tanah Besar Papua
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari Sekutu.
- Gerakan bawah tanah
Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat bentuk perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
- Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
- Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
- Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa dan pelajar.
- Kelompok Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang.