Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Abdullah bin Sa'ad

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Remove ads

Abdullah bin Sa'ad bin Abi as-Sarh (Arab: عبد الله ابن سعد ابن أبي السرح) adalah seorang pejabat, juru tulis, dan panglima militer Arab, yang juga merupakan salah satu pemeluk Islam di masa-masa awal.[2] Ia bertugas sebagai penulis wahyu Al-Qur'an (كاتب الوحي) dan Gubernur Mesir Hulu di bawah Kekhalifahan Islam pada masa pemerintahan Utsman (644–656). Ia juga merupakan salah satu pendiri (bersama calon khalifah Muawiyah I) angkatan laut Islam yang berhasil merebut Siprus (647–649) dan mengalahkan armada Bizantium di lepas pantai Aleksandria pada tahun 652.[3]

Fakta Singkat Gubernur Mesir, Informasi pribadi ...
Remove ads

Asal-Usul

As-Sarh berasal dari klan Bani Amir bin Lu'ay dari suku Quraisy dan merupakan saudara angkat Khalifah Utsman.[2] Setelah memeluk Islam, ia menjadi Sahabat Nabi Muhammad dan, kemudian, menjadi seorang penulis (juru tulis wahyu).

Pada Masa Nabi Muhammad

Ringkasan
Perspektif

Selama masa tugasnya sebagai juru tulis, Nabi Muhammad biasa mendiktekan wahyu kepadanya untuk dicatat, sama seperti yang beliau lakukan kepada juru tulis lainnya. Beberapa riwayat sejarah Islam di kemudian hari melaporkan bahwa ia lantas meninggalkan Islam (murtad) dan kembali ke Mekkah, karena menyuarakan keraguan mengenai hakikat wahyu tersebut.[4][5] Abi Saleh, yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mencatat bahwa:

"Rasulullah memanggilnya agar ia dapat menuliskan wahyu untuk beliau, maka ketika ayat 23:12 ('Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah') diturunkan, Nabi memanggil Ibnu Abi as-Sarh dan mendiktekannya kepadanya. Dan ketika Nabi sampai pada bagian akhir dari ayat 23:14 ('...Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain'), Abdullah berkata dengan penuh kekaguman ('Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang Paling Baik!'). Nabi bersabda: 'Tulislah kata-kata itu juga ('Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang Paling Baik!'), karena kata-kata tersebut juga telah diwahyukan kepadaku demikian.'"[6]

As-Sarh mengklaim bahwa hal ini membuatnya ragu, dan ia tercatat pernah berkata: "Jika Muhammad itu benar, maka saya (juga seorang nabi, karena saya juga) menerima wahyu, dan jika Muhammad berbohong, maka saya mengatakan hal yang serupa dengan ucapannya (artinya: baik ucapan dia maupun ucapan saya bukanlah firman Allah).".[7][8] As-Sarh kemudian menguji keraguannya lebih lanjut, di mana sejarawan Muslim seperti Al-Waqidi, Ibnu al-Athir, dan At-Tabari menulis bahwa Muhammad mendiktekan kepadanya: "alimun hakim" yaitu "Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana", yang mana As-Sarh dengan sengaja menulisnya dalam urutan terbalik, yaitu "hakimun 'alim", "Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui". Ia kemudian membacakannya kembali kepada Muhammad, yang tidak mendeteksi adanya perubahan apa pun.[7] Al-Waqidi menulis bahwa (Ibnu Abi as-Sarh berkata): "Muhammad tidak tahu apa yang didiktekannya, dan saya menulis (dalam Quran) apa pun yang saya inginkan. Dan apa yang saya tulis, itu adalah wahyu bagi saya, sama seperti itu adalah wahyu bagi Muhammad."[7]

Validitasnya

Meskipun dicatat bahwa As-Sarh pernah meninggalkan Islam sebelum kemudian kembali lagi, keaslian laporan yang mengklaim bahwa Muhammad telah memalsukan wahyu telah dinilai sebagai terputus dan palsu (Maudhu') oleh para ahli hadis.[9] Laporan tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin al-Sa'ib al-Kalbi dari Abi Saleh, yang menisbatkannya kepada Ibnu Abbas. Disepakati bahwa Al-Kalbi dianggap lemah dalam hadis, dijuluki sebagai pembohong dan pemalsu.[9][10][11] Ia dikenal pelupa, dijauhi karena meriwayatkan banyak hadis palsu, dan dianggap sebagai salah satu pembohong besar di Kufah.[12][10]

Ketidakpastian besar menyelimuti laporan-laporan yang diriwayatkan oleh Abi Saleh yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, karena Al-Kalbi sendiri menyatakan di akhir hayatnya bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Ibnu Abbas oleh Abi Saleh adalah bohong. Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Al-Kalbi:

"Apa yang kau riwayatkan atas otoritas Abi Saleh, dari otoritas Ibnu Abbas, adalah kebohongan, maka janganlah mengakuinya."[13][9][12]

Lebih lanjut, dicatat oleh Ibnu Hibban, bahwa Abi Saleh tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas; oleh karena itu, semua riwayat oleh Abi Saleh atas otoritas Ibnu Abbas diklasifikasikan sebagai terputus, dan akibatnya, dianggap lemah (da'if).

"Ibnu Hibban berkata: Kebohongan di dalamnya lebih jelas daripada perlu dijelaskan secara rinci. Dia meriwayatkan atas otoritas Abi Saleh, padahal Abi Saleh tidak pernah mendengar (langsung) dari Ibnu Abbas, sehingga tidak boleh digunakan sebagai dalil (bukti)."[9][14]

Riwayat-riwayat serupa juga menghadapi tantangan yang sama terkait keandalan transmisinya. Meskipun Muhammad bin Umar al-Waqidi dipuji dan diakui karena pengetahuannya yang luas tentang maghazi (sejarah peperangan Nabi),[6] ia secara luas dianggap lemah (da'if) oleh para ulama hadis dan semua penulis Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadis Utama).[11] An-Nasa'i melaporkan kelemahannya:

"Para pembohong yang dikenal memalsukan Hadis Rasulullah ada empat: Arba'ah b. Abi Yahya di Madinah, al-Waqidi di Baghdad, Muqatil b. Sulayman di Khurasan, dan Muhammad bin Sa'id al-Kalbi di Suriah."[14]

Baik Ahmad bin Hanbal maupun asy-Syafi'i juga menganggap al-Waqidi sebagai pembohong dan pemalsu.[15][16] Kredibilitas riwayat al-Waqidi ditolak karena tidak mungkin menelusuri bagian mana dari laporannya yang diriwayatkan oleh pelapor yang mana. Sanadnya (rantai periwayatannya) sering kali terputus (munqati').

Menganalisis kehidupan As-Sarh selanjutnya memunculkan keraguan lebih lanjut mengenai apakah ia benar-benar murtad berdasarkan alasan yang disebutkan dalam laporan al-Kalbi, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baghawi bahwa As-Sarh meninggal dunia dalam keadaan sedang salat.[17]

Masa Abu Bakar

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Abdullah bin Sa'ad turut serta dalam Perang Riddah atau perang melawan orang-orang yang murtad. Ia kemudian termasuk di antara pasukan Amr bin al-Ash yang dikirim untuk menaklukkan Palestina.[18]

Masa Umar bin Khathab

Umar mengangkatnya sebagai orang kedua dalam komando (letnan) dari Amr bin al-Ash untuk operasi penaklukan Mesir. Dia memainkan peran utama sebagai komandan militer dalam penaklukan Mesir. Selama penaklukan Mesir, dia adalah komandan sayap kanan pasukan Amr dan berpartisipasi dalam semua pertempuran yang terjadi selama penaklukan Mesir di bawah komando Amr.[19] Umar sempat mengangkat Abdullah bin Sa'ad sebagai gubernur Mesir Hulu.[20]

Masa Utsman bin Affan

Thumb
Pertempuran Dzatus Sawari yang dipimpin Abdullah bin Sa'ad.

Ketika Utsman menjadi khalifah di tahun 644 M, dia menunjuk Abdullah sebagai gubernur Mesir menggantikan 'Amr bin al-'As, dengan Muhammad bin Abi Hudzaifah sebagai ajudannya. Abdullah membawa rombongan asing yang besar dan mendirikan diwan, "dan memerintahkan bahwa semua pajak negara harus diatur di sana".[21] Ketika menjabat sebagai gubernur Mesir, Abdullah memimpin peperangan seperti Penaklukan Ifriqiyah, Pertempuran Dzatus Shawari,[20] dan Pengepungan Dongola.[22]

Protes-protes terhadap Abdullah tampaknya telah dihasut oleh ajudannya, Muhammad ibn Abi Hudzaifah. Ayah Muhammad (Abi Hudzaifah) adalah seorang mualaf awal yang masuk Islam yang meninggal dalam Pertempuran Yamamah. Muhammad dibesarkan oleh Utsman. Ketika ia mencapai kedewasaan, ia berpartisipasi dalam kampanye militer asing dan menemani Abdullah ke Mesir sebagai ajudan. Muhammad ibn Abi Hudzaifah menegur Abdullah, merekomendasikan perubahan dalam pemerintahan tetapi Abdullah tidak menanggapi. Setelah upaya terus menerus, akhirnya Muhammad ibn Abi Hudzaifah kehilangan kesabaran dan berubah dari pemberi nasihat yang simpatik menjadi penentang yang kecewa pertama kepada Abdallah dan kemudian kepada Utsman karena telah mengangkatnya. Abdallah menulis kepada Utsman mengatakan bahwa Muhammad sedang menyebarkan hasutan dan jika tidak ada yang dilakukan untuk menghentikannya, situasi akan meningkat. Utsman berusaha untuk membungkam protes Muhammad dengan 30.000 dirham dan hadiah-hadiah mahal. Hadiah-hadiah Utsman dianggap sebagai suap dan yang menyebabkan bumerang, dengan Muhammad membawa uang dan hadiah-hadiah tersebut ke dalam Masjid Agung dan berkata;

“Tidakkah kalian melihat apa yang coba dilakukakn oleh Utsman .Dia mencoba untuk membeli keimananku. Dia mengirimkan koin-koin ini dan barang-barang ini sebagai sogokan."

Utsman mengirim banyak surat ke Muhammad dalam usahanya menenangkannya, tetapi ia terus saja melanjutkan penghasutannya terhadap Abdullah. Pada tahun 656 para pemimpin Mesir memutuskan untuk mengirim delegasi ke Madinah untuk menuntut pemecatan Abdullah. Abdullah juga berangkat ke Medinah untuk membela dirinya di mahkamah khalifah. Dalam ketidakhadirannya, Muhammad ibn Abi Hudhayfa mengambil alih pemerintahan.[23]

Ketika Abdullah mencapai Ayla (Palestina), dia diberitahu bahwa rumah Utsman sedang dikepung dan memutuskan untuk kembali ke Mesir. Di perbatasan ia diberitahu bahwa Muhammad ibn Abi Hudzaifah telah memberikan perintah untuk mencegahnya memasuki Mesir.[24] Dia kemudian pergi ke Palestina menunggu hasil dari peristiwa di Madinah. Sementara itu, Utsman dibunuh di Madinah, dan ketika Abdullah mendengar berita itu, ia meninggalkan Palestina, dan pergi ke Damaskus untuk tinggal di bawah perlindungan Muawiyah I.

Remove ads

Referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads