Loading AI tools
periode Romawi kuno setelah era Republik Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kekaisaran Romawi (bahasa Latin: Imperium Romanum; bahasa Yunani Koine: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων, translit. Basileía tôn Rhōmaíōn) adalah salah satu kekaisaran terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah dunia, yang berdiri selama lebih dari seribu tahun sejak didirikan pada tahun 27 SM oleh Augustus hingga jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453. Kekaisaran ini dimulai setelah berakhirnya Republik Romawi dan menjadi pusat peradaban Barat di bawah kepemimpinan para kaisar, dengan kekuasaannya yang mencakup sebagian besar Eropa, Afrika Utara, dan Asia Barat. Kekaisaran Romawi dikenal karena pencapaian-pencapaian besar dalam bidang militer, hukum, arsitektur, teknik, dan seni, serta pengaruh budaya yang bertahan hingga hari ini. Struktur pemerintahan kekaisaran, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan oleh Republik Romawi, melibatkan sistem administrasi yang kompleks dan birokrasi yang luas, dengan kekuasaan yang terpusat di tangan kaisar.
Kekaisaran Romawi
| |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
27 SM–395 M (bersatu) 395–476 (Barat) 330–1481 (Timur) | |||||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||||
Ibu kota |
| ||||||||||
Bahasa resmi | Latin Klasik | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Latin Vulgar | ||||||||||
Agama |
| ||||||||||
Pemerintahan | Principatus/Dominatus | ||||||||||
Kaisar | |||||||||||
• 27 SM – 14 M | Augustus (pertama) | ||||||||||
• 98–117 | Trajanus | ||||||||||
• 284–305 | Diokletianus | ||||||||||
• 306–337 | Konstantinus I | ||||||||||
• 379–395 | Theodosius I | ||||||||||
• 475–476 | Romulus Augustusa | ||||||||||
• 527–565 | Yustinianus I | ||||||||||
• 1449–1453 | Konstantinus XI b | ||||||||||
• 1453-1481 | Mehmed II b | ||||||||||
Legislatif | Senat | ||||||||||
Era Sejarah | Antikuitas klasik sampai antikuitas akhir | ||||||||||
32–30 SM | |||||||||||
30–2 SM | |||||||||||
• Masa kejayaan Kekaisaran | 117 M | ||||||||||
293 | |||||||||||
330 | |||||||||||
• Pembagian Timur–Barat terakhir | 395 | ||||||||||
• Pemecatan Romulus Augustus | 476 | ||||||||||
1202–1204 | |||||||||||
29 Mei 1453 | |||||||||||
Luas | |||||||||||
25 SM[4][5] | 2.750.000 km2 (1.060.000 sq mi) | ||||||||||
117[4][6] | 5.000.000 km2 (1.900.000 sq mi) | ||||||||||
390[4] | 4.400.000 km2 (1.700.000 sq mi) | ||||||||||
Populasi | |||||||||||
56800000 | |||||||||||
Mata uang | Sestertiusc | ||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | 50 negara
| ||||||||||
| |||||||||||
Kekaisaran Romawi mencapai puncak kejayaannya selama periode Pax Romana (27 SM – 180 M), sebuah masa damai dan stabilitas relatif yang memungkinkan perkembangan ekonomi, budaya, dan teknologi yang signifikan. Selama periode ini, jalan-jalan besar dibangun, sistem hukum yang canggih dikembangkan, dan bahasa Latin serta budaya Romawi menyebar luas di seluruh wilayah kekaisaran. Meskipun pusat kekuasaan tetap di Roma, kota-kota besar lain seperti Alexandria, Antioch, dan Kartago juga memainkan peran penting dalam ekonomi dan budaya kekaisaran. Namun, keberhasilan Romawi juga disertai oleh tantangan internal seperti korupsi, ketidakstabilan politik, dan ketergantungan yang meningkat pada tentara bayaran yang akhirnya melemahkan kekuatan kekaisaran.
Pada abad ketiga, Kekaisaran Romawi mulai mengalami krisis besar yang dikenal sebagai Krisis Abad Ketiga (235–284 M). Selama periode ini, kekaisaran menghadapi invasi dari luar, pemberontakan internal, dan runtuhnya ekonomi. Reformasi yang dilakukan oleh kaisar Diokletianus dan Konstantinus yang Agung berhasil memulihkan sebagian stabilitas dan memisahkan kekaisaran menjadi dua bagian: Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur, atau yang lebih dikenal sebagai Bizantium. Meskipun Kekaisaran Romawi Timur bertahan hingga abad ke-15, Kekaisaran Romawi Barat mengalami penurunan yang cepat dan akhirnya runtuh pada tahun 476 M, menandai akhir dari kekuasaan Romawi di Barat dan permulaan Abad Kegelapan di Eropa.
Kekaisaran Romawi memberikan pengaruh yang mendalam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem hukum modern, arsitektur, bahasa, dan pemerintahan. Hukum Romawi menjadi dasar bagi banyak sistem hukum di dunia Barat, dan bahasa Latin berkembang menjadi bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan, gereja, dan hukum hingga berabad-abad kemudian.[4][8] Arsitektur Romawi, dengan penggunaan beton, kubah, dan lengkung, menetapkan standar yang diikuti oleh banyak peradaban setelahnya. Selain itu, konsep pemerintahan kekaisaran dan administrasi yang dikembangkan oleh Romawi memainkan peran penting dalam pembentukan negara-negara Eropa di kemudian hari. Meskipun Kekaisaran Romawi telah lama runtuh, pengaruhnya tetap hidup dan terus memengaruhi dunia modern dalam berbagai cara.
Roma telah mulai memperluas wilayahnya tak lama setelah berdirinya Republik pada abad ke-6 SM, meskipun tidak meluas ke luar Italia sampai abad ke-3 SM. Dengan demikian, Romawi sebenarnya telah menjadi sebuah "kekaisaran" jauh sebelum diperintah oleh seorang Kaisar.[9] Dalam konteks modern, Republik Romawi bukanlah sebuah negara-bangsa, melainkan jaringan kota-kota yang diizinkan mengatur dirinya sendiri (meskipun tingkat kemerdekaan yang diperoleh dari Senat Romawi bervariasi) dan provinsi-provinsi yang dikelola oleh seorang komandan militer. Wilayah-wilayah ini tidak diperintah oleh Kaisar, tetapi oleh magistrat yang dipilih setiap tahun (biasanya oleh Konsul Romawi) sebagai penghubung dengan Senat.[10] Karena berbagai sebab, abad ke-1 SM merupakan masa pergolakan politik dan militer yang pada akhirnya menyebabkan Republik diperintah oleh seorang Kaisar.[11] Kekuatan militer konsul tercantum dalam konsep hukum Romawi "imperium", yang secara harfiah bermakna "perintah" (meskipun dalam arti militer).[12] Kadang-kadang, seorang konsul yang dianggap berhasil diberi gelar kehormatan Imperator (komandan), dan kata inilah yang kemudian menjadi asal usul kata "Emperor" (dan "Empire"), karena gelar ini awalnya selalu diberikan kepada Kaisar saat mereka naik takhta.[13]
Romawi telah mengalami serangkaian panjang konflik internal, konspirasi dan perang saudara sejak akhir abad ke-2 SM dan seterusnya, bersamaan dengan perluasan wilayah besar-besaran ke luar Italia. Menjelang akhir periode ini, pada tahun 44 SM, Julius Caesar diangkat sebagai diktator seumur hidup sebelum akhirnya dibunuh. Faksi pembunuh Caesar diusir dari Roma dan dikalahkan dalam Pertempuran Phillipi pada tahun 42 SM oleh pasukan yang dipimpin Mark Antony dan putra angkat Caesar, Oktavianus. Antony dan Oktavianus tidak sepakat mengenai pembagian Romawi dan pasukan Oktavianus berhasil mengalahkan pasukan Antony dan Kleopatra dalam Pertempuran Actium tahun 31 SM. Pada tahun 27 SM, Senat dan Rakyat Roma mengangkat Oktavianus sebagai princeps ("warga negara pertama") dengan prokonsul imperium, dan dengan demikian memulai Principatus (zaman pertama dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimulai dari tahun 27 SM sampai 284 M), serta memberinya nama Augustus ("yang dimuliakan"). Meskipun konstitusi lama tetap dilaksanakan, Augustus pada kenyataannya mendominasi urusan konstitusional. Pemerintahan Augustus mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung selama satu abad, dan dianggap memulai periode kemakmuran dan perdamaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh sebab itu, ia sangat dicintai dan dianggap layak memegang jabatan sebagai raja de facto, kalau tidak de jure. Pada tahun-tahun pemerintahannya, tatanan konstitusional baru dibentuk, sehingga setelah kematiannya, tatanan konstitusional baru ini tetap dilaksanakan seperti sebelumnya ketika Tiberius dinobatkan sebagai Kaisar baru. 200 tahun masa pemerintahan yang dimulai sejak Augustus secara tradisional dikenal dengan Pax Romana ("Perdamaian Romawi"). Selama periode ini, kejayaan Kekaisaran bertambah dengan meningkatnya kestabilan sosial dan kemakmuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemberontakan di provinsi-provinsi jarang terjadi, tetapi ketika terjadi, pemberontakan berlangsung dengan "sengit dan cepat",[14] seperti yang terjadi di Britania dan Galia. Perang Yahudi-Romawi yang berlangsung selama 60 tahun pada paruh kedua abad pertama adalah perang hebat yang terjadi pada awal kekaisaran, baik dari segi lama peperangan ataupun kekerasan yang dilakukan.[15]
Keberhasilan Augustus dalam menciptakan prinsip-prinsip pergantian takhta dinasti terhalang oleh sejumlah pewaris yang berbakat dan hidup lebih lama; dinasti Julio-Klaudianus memiliki empat kaisar yang memerintah Romawi–Tiberius, Caligula, Klaudius, dan Nero. Dinasti ini digulingkan pada tahun 69 M dalam Perang Empat Kaisar, yang dimenangkan oleh Vespasianus. Vespasianus menjadi pendiri dinasti Flavianus yang berumur pendek, diikuti oleh dinasti Nerva–Antonine yang melahirkan "Lima Kaisar Baik": Nerva, Trajanus, Hadrianus, Antoninus Pius, dan filsuf Marcus Aurelius. Dalam pandangan sejarawan dan pengamat kontemporer Yunani Dio Cassius, naik takhtanya kaisar Commodus pada tahun 180 M menandai peralihan dari "kerajaan emas menjadi kerajaan besi"[16]–komentar terkenal yang menyebabkan beberapa sejarawan, terutama Edward Gibbon, berpendapat bahwa pemerintahan Commodus menandai dimulainya kemerosotan Kekaisaran Romawi.
Pada tahun 212, pada masa pemerintahan Caracalla, kewarganegaraan Romawi diberikan kepada semua penduduk merdeka di seluruh Kekaisaran. Namun, meskipun kebijakan ini diberlakukan secara universal dan bisa dibilang sukses, dinasti Severan yang berkuasa sesudahnya membawa Romawi ke masa-masa penuh gejolak–masa-masa pemerintahan terkelam ketika kaisar berkuasa selalu mengakhiri jabatannya dengan dibunuh atau dieksekusi. Menjelang keruntuhannya, Kekaisaran Romawi dihadapkan pada Krisis Abad Ketiga, suatu periode yang ditandai oleh banyaknya invasi, konflik sipil, depresi ekonomi, dan serangan wabah.[17] Dalam mendefinisikan zaman sejarah, krisis ini dipandang sebagai peralihan dari periode Antikuitas Klasik menuju Antikuitas Akhir. Diokletianus (memerintah 284-305) membawa Kekaisaran kembali ke ambang keruntuhan, tetapi ia menolak peran princeps dan menjadi kaisar pertama yang ditunjuk secara teratur sebagai dominus, master, atau lord.[18] Ini menandai akhir dari "Principatus" dan awal dari "Dominatus". Pada masa pemerintahan Diokletianus juga berlangsung upaya Kekaisaran dalam melawan ancaman dari agama Kristen dengan terjadinya Penganiayaan Besar. Kondisi monarki absolut yang berawal pada masa pemerintahan Diokletianus tetap bertahan sampai jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476.
Diokletianus membagi Kekaisaran menjadi empat wilayah yang masing-masingnya diperintah oleh seorang Kaisar berbeda (Tetrarki).[19] Yakin bahwa ia telah mengatasi semua permasalahan di Roma, Diokletianus turun takhta bersama rekan-rekan kaisarnya, dan Tetrarki-pun runtuh. Takhta kemudian diambil alih oleh Konstantinus, yang menjadi kaisar pertama yang memeluk agama Kristen dan menetapkan Konstantinopel sebagai ibu kota baru Kekaisaran Timur. Pada dekade pemerintahan dinasti Konstantinianus dan Valentinianus, Kekaisaran dibagi menjadi poros barat dan timur, dengan pusat kekuasaan berada di Roma dan Konstantinopel. Masa pemerintahan Julianus, yang berupaya untuk mengembalikan agama Helenistik dan Romawi Klasik, hanya berlangsung sebentar dan digantikan oleh Kaisar Kristen. Theodosius I, kaisar terakhir yang memerintah Timur dan Barat, wafat pada tahun 395 M setelah menjadikan Kristen sebagai agama resmi Kekaisaran.[20]
Kekaisaran Romawi mulai melemah pada awal abad ke-5 akibat membludaknya migrasi dan invasi bangsa Jermanik yang membuat Kekaisaran kewalahan untuk menampung dan melawan para pendatang ini. Kebanyakan kronologi menetapkan akhir Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476, ketika Romulus Augustulus dipaksa untuk menyerahkan takhta kepada panglima perang Jermanik Odoaker.[21] Dengan menempatkan dirinya di bawah kekuasaan Kaisar Timur, bukannya menobatkan dirinya sebagai Kaisar (seperti yang dilakukan oleh pemimpin suku Jermanik lainnya setelah menggulingkan kaisar), Odoaker mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Barat dengan memutus garis takhta Kaisar Barat. Kontrol Kekaisaran Timur di Barat mulai berkurang pada abad berikutnya. Kekaisaran Timur—yang saat ini dikenal dengan Kekaisaran Bizantium, namun pada saat itu masih disebut dengan "Kekaisaran Romawi" atau beragam nama lainnya—berakhir pada tahun 1453 setelah kematian Konstantinus XI dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani.[22]
Kekaisaran Romawi adalah salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah, dengan wilayah kekuasaan yang saling bersebelahan di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah.[23] Frasa bahasa Latin imperium sine fine ("kekaisaran tanpa ujung"[24]) menunjukkan ideologi tidak ada waktu ataupun ruang yang membatasi Kekaisaran. Dalam puisi epik Vergil, Aeneid, disebutkan bahwa kekaisaran yang tidak terbatas ini dianugerahkan kepada bangsa Romawi oleh dewa agung Jupiter.[25] Klaim kekuasaan universal ini diperkukuh dan diperbarui ketika Kekaisaran berada di bawah pemerintahan Kristen pada abad ke-4.[26]
Pada kenyataannya, sebagian besar ekspansi Romawi dilakukan pada masa Republik, meskipun sebagian Eropa utara ditaklukkan pada abad ke-1 M, ketika kontrol Romawi di Eropa, Afrika, dan Asia semakin kuat. Pada masa pemerintahan Augustus, sebuah peta dunia ditampilkan untuk pertama kalinya di hadapan khalayak di Roma, sebanding dengan komposisi karya geografi politik paling komprehensif yang selamat dari zaman kuno, Geographica karya penulis Yunani Strabo.[27] Saat Augustus wafat, karyanya ini (Res Gestae) tetap digunakan sebagai pedoman untuk mengkaji masyarakat dan tempat-tempat di dalam Kekaisaran.[28] Geografi, sensus, dan pemeliharaan catatan-catatan tertulis merupakan perhatian utama administrasi Kekaisaran Romawi.[29]
Kekaisaran Romawi mencapai ekspansi terluasnya di bawah pemerintahan Trajanus (98–117),[30] meliputi wilayah seluas 5 juta kilometer persegi yang saat ini terbagi menjadi 40 negara modern berbeda.[31] Jumlah penduduknya secara tradisional diperkirakan 55–60 juta jiwa,[32] atau seperenam hingga seperempat dari keseluruhan penduduk dunia pada saat itu.[33] Hal ini menjadikan Kekaisaran Romawi sebagai entitas politik dengan jumlah penduduk terbanyak di Barat hingga pertengahan abad ke-19.[34] Kajian demografi terbaru berpendapat bahwa jumlah penduduk Romawi pada puncaknya mencapai 70 juta hingga lebih dari 100 juta jiwa.[35] Tiga kota terbesar di Kekaisaran—Roma, Aleksandria, dan Antiokhia— berukuran hampir dua kali lipat dari ukuran kota-kota Eropa pada awal abad ke-17.[36]
Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Christopher Kelly:
Dahulu kekaisaran membentang dari Tembok Hadrian di wilayah berhujan Inggris utara ke tepi sungai Efrat di Suriah; dari sungai besar Rhine–Danube, yang mengalir di sepanjang wilayah subur, di wilayah datar Eropa dari Negara-Negara Rendah sampai ke Laut Hitam; melintasi dataran kaya di pesisir Afrika Utara dan belahan Lembah Nil di Mesir. Kekaisaran benar-benar mengelilingi Mediterania ... yang dijuluki oleh para penakluknya dengan mare nostrum—'laut kita'.[32]
Penerus Trajanus, Hadrianus, menerapkan kebijakan mempertahankan ketimbang memperluas wilayah kekaisaran. Pada masa pemerintahannya, perbatasan (fines) ditandai dan garis perbatasan (limites) dijaga tentara Romawi.[37] Perbatasan yang paling dijaga ketat adalah wilayah yang paling tidak stabil.[38] Tembok Hadrian, yang memisahkan wilayah Romawi dari wilayah yang mereka anggap rentan terhadap ancaman barbar, adalah monumen perbatasan utama yang masih selamat hingga saat ini.[39]
Bahasa Kekaisaran Romawi adalah Latin. Menurut Virgil, bahasa Latin merupakan sumber persatuan dan tradisi bangsa Romawi.[40] Hingga pemerintahan Aleksander Severus (222–235), akta kelahiran dan surat wasiat warga Romawi harus ditulis dalam bahasa Latin.[41] Latin adalah bahasa resmi pengadilan dan militer di seluruh Kekaisaran,[42] tetapi penggunaannya tidak dipaksakan secara resmi kepada masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Romawi.[43] Kebijakan ini bertentangan dengan yang dilakukan oleh Aleksander Agung, yang bertujuan menjadikan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi di seluruh kekaisarannya.[44] Sebagai konsekuensi dari penaklukkan Aleksander, bahasa Yunani Koine telah menjadi bahasa pergaulan di Mediterania timur dan Asia Minor.[45] "Perbatasan linguistik" membagi Barat Latin dan Timur Yunani melalui semenanjung Balkan.[46]
Warga Romawi yang menempuh pendidikan elite mempelajari bahasa Yunani sebagai bahasa sastra, dan sebagian besar pria kelas atas mampu menuturkan bahasa Yunani.[48] Kaisar-kaisar dari dinasti Julio-Klaudianus mendorong penggunaan bahasa Latin yang benar dan berstandar tinggi (Latinitas), pergerakan linguistik yang di dunia modern dikenal dengan bahasa Latin Klasik, dan lebih menyukai penggunaan bahasa Latin dalam urusan-urusan resmi.[49] Klaudius berupaya untuk membatasi penggunaan bahasa Yunani, dan bahkan mencabut kewarganegaraan orang-orang yang tidak menguasai bahasa Latin. Meskipun demikian, Klaudius, yang menguasai kedua bahasa tersebut, masih menuturkan bahasa Yunani ketika berbicara dengan perwakilan Yunani di Senat.[49] Suetonius menjuluki sang Kaisar dengan "bilingualis kami".[50]
Di Kekaisaran Timur, dokumen resmi dan pengadilan secara teratur diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dari Latin.[51] Penggunaan bahasa ini secara berdampingan bisa ditemui pada prasasti-prasasti dwibahasa, yang terkadang ditulis bolak-balik antara bahasa Yunani dan Latin.[52] Setelah semua penduduk merdeka di Kekaisaran diberi hak untuk memilih bahasa yang hendak mereka tuturkan pada tahun 212 M, sebagian besar warga Romawi tidak menguasai bahasa Latin, meskipun mereka masih diwajibkan untuk mengetahui setidaknya tanda baca, dan bahasa Latin tetap saja menjadi penanda "keromawian".[53]
Reformasi lainnya dilakukan pada masa pemerintahan kaisar Diokletianus (284–305), yang berupaya untuk kembali menjadikan bahasa Latin sebagai "bahasa kekuasaan."[54] Pada awal abad ke-6, kaisar Justinianus berupaya untuk menegaskan kembali status bahasa Latin sebagai bahasa hukum, meskipun pada saat itu Latin tidak lagi memiliki pijakan sebagai bahasa pergaulan di Timur.[55]
Studi menunjukkan adanya penggunaan bahasa daerah secara berkelanjutan selain bahasa Yunani dan Latin, terutama di Mesir, yang didominasi oleh Koptik, dan di wilayah-wilayah militer di sepanjang sungai Rhine dan Danube. Para hakim Romawi juga menunjukkan kepedulian terhadap bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Punisia, Galia, dan Aram untuk memastikan pemahaman hukum dan pengucapan sumpah yang benar.[56] Di provinsi Afrika, Punisia digunakan sebagai legenda koin pada masa pemerintahan Tiberius (abad ke-1 M), dan prasasti berbahasa Punisia muncul di bangunan-bangunan umum pada abad ke-2 M, beberapa di antaranya bilingual dengan bahasa Latin.[57] Di Suriah, tentara Tadmur bahkan menggunakan dialek Aram sebagai inskripsi, bertentangan dengan peraturan yang menetapkan Latin sebagai bahasa militer.[58]
Papirus Arsip Babatha adalah contoh sugestif penerapan multilingualisme di Kekaisaran Romawi. Papirus ini, yang dinamakan menurut seorang wanita Yahudi di provinsi Arabia dan berasal dari tahun 93-132 M, sebagian besarnya menggunakan bahasa Aram (bahasa daerah setempat) dan ditulis dalam aksara Yunani dengan pengaruh bahasa Semit dan Latin.[59]
Dominasi bahasa Latin di kalangan kaum elite terpelajar turut menghambat keberlangsungan bahasa lisan, karena hampir semua kebudayaan di dalam Kekaisaran Romawi bersifat lisan.[60] Di Barat, bahasa Latin, atau bentuk lisannya disebut dengan Latin Vulgar, secara bertahap menggantikan bahasa Keltik dan Italik yang dulunya berakar dari rumpun bahasa Indo-Eropa. Adanya persamaan sintaks dan kosakata turut mempermudah pengadopsian bahasa Latin.[61] Bahasa Basque, yang bukan cabang bahasa Indo-Eropa, berhasil bertahan dari dominasi Latin di wilayah Pyrenees.[62]
Setelah desentralisasi kekuasaan politik pada akhir zaman kuno, Latin berkembang secara kedaerahan menjadi sejumlah rumpun bahasa seperti rumpun bahasa Roman, yang meliputi bahasa Spanyol, Portugis, Prancis, Italia, dan Rumania. Sebagai bahasa internasional pendidikan dan sastra, Latin tetap menjadi media aktif untuk berekspresi dalam bidang diplomasi dan pengembangan intelektual sejak Humanisme Renaisans hingga abad ke-17, dan dalam bidang hukum dan di kalangan Gereja Katolik Roma sampai saat ini.[63]
Meskipun bahasa Yunani tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantium, persebaran linguistik bahasa ini di Romawi Timur lebih kompleks. Mayoritas penduduk penutur bahasa Yunani tinggal di kepulauan dan semenanjung Yunani, di Anatolia barat, kota-kota besar, dan di sebagian kecil wilayah pesisir.[64] Seperti Yunani dan Latin, bahasa Trakian berakar dari bahasa Indo-Eropa, serta beberapa bahasa di Anatolia yang saat ini sudah punah, dibuktikan melalui prasasti-prasasti yang berasal dari era Kekaisaran.[65] Beragam bahasa Afro-Asia—terutama Koptik di Mesir dan Aram di Suriah dan Mesopotamia—tak pernah tergantikan oleh bahasa Yunani. Di samping itu, penggunaan internasional bahasa Yunani adalah salah satu faktor yang turut berperan dalam penyebaran agama Kristen, misalnya penggunaan bahasa Yunani dalam Surat-Surat Paulus.[66]
Kekaisaran Romawi adalah kekaisaran yang sangat multikultural, dengan "kapasitas kohesif yang mengagumkan" untuk menciptakan rasa identitas bersama yang meliputi beragam masyarakat di dalam sistem politiknya untuk jangka waktu yang lama.[67] Upaya Romawi dalam membangun monumen publik dan ruang komunal yang diperuntukkan bagi semua warga—seperti forum, amfiteater, trek balapan dan pemandian umum—membantu menumbuhkan rasa "keromawian" (Romanness).[68]
Masyarakat Romawi memiliki hierarki sosial yang beragam dan saling tumpang tindih, yang tidak bisa dijelaskan secara akurat oleh konsep "kelas" pada zaman modern.[69] Perang saudara yang berlangsung selama dua dekade sebelum Augustus naik ke tampuk kekuasaan mengakibatkan masyarakat Roma berada dalam situasi kebingungan dan pergolakan,[70] tetapi tidak berdampak secara langsung terhadap redistribusi kekayaan dan kekuasaan sosial. Dari perspektif masyarakat kelas bawah, puncak tersebut semata-mata ditambahkan ke piramida sosial.[71] Hubungan personal—patronasi, persahabatan (amicitia), keluarga, pernikahan—tetap memengaruhi cara kerja politik dan pemerintahan, sama seperti pada masa Republik.[72] Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Nero, adalah hal yang tidak biasa jika menemukan seorang bekas budak yang lebih kaya dari warga negara merdeka, atau seorang penunggang kuda yang lebih berkuasa dari seorang senator.[73]
Kekaburan atau difusi hierarki yang lebih kaku pada masa Republik menyebabkan meningkatnya mobilitas sosial pada masa Kekaisaran,[74] baik mobilitas ke atas maupun ke bawah, hingga ke tingkat yang melampaui kehidupan sosial masyarakat kuno lainnya yang terdokumentasikan dengan baik.[75] Wanita, warga negara merdeka, dan budak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan dan menggunakan pengaruh melalui cara-cara yang sebelumnya tidak tersedia bagi mereka.[76] Kehidupan sosial di Kekaisaran Romawi, terutama bagi mereka yang memiliki sumber daya pribadi terbatas, semakin terbantu dengan adanya proliferasi perkumpulan sukarela dan persaudaraan (collegium dan Sodales), yang dibentuk untuk berbagai tujuan: serikat profesional dan pedagang, grup veteran, persaudaraan religius, klub minum dan makan,[77] rombongan seni pertunjukan,[78] dan penyelenggara pemakaman.[79]
Menurut yuris Gaius, perbedaan utama dalam "hukum individu" Romawi adalah penggolongan manusia menjadi dua status, yakni merdeka (liberi) dan budak (servi).[80] Status hukum warga merdeka dapat didefinisikan lebih lanjut melalui kewarganegaraan mereka. Pada awal kekaisaran, hanya pria tertentu yang berhak menerima status kewarganegaraan Romawi, yang memungkinkan mereka untuk memilih, mencalonkan diri untuk jabatan pemerintahan, dan menjadi imamat. Sebagian besar warga negara memiliki hak yang terbatas (ius Latinum, "hak-hak Latin"), tetapi masih berhak memperoleh perlindungan hukum dan hak-hak lainnya yang tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Orang-orang merdeka yang tidak dianggap sebagai warga negara namun tinggal di wilayah Romawi menyandang status peregrini, atau non-Romawi.[81] Pada tahun 212 M, dengan diberlakukannya dekret Constitutio Antoniniana, Kaisar Caracalla memberi status kewarganegaraan kepada seluruh penduduk merdeka di wilayah Kekaisaran. Egalitarianisme hukum ini membutuhkan revisi dari hukum yang telah ada untuk membedakan antara warga negara dan non-warga negara.[82]
Wanita Romawi yang terlahir merdeka dianggap sebagai warga negara, baik di Republik maupun di Kekaisaran, tetapi tidak memiliki hak pilih, tidak diperbolehkan memegang jabatan politik, atau bertugas di militer. Status kewarganegaraan seorang ibu menentukan status kewarganegaraan anak-anaknya, seperti yang ditunjukkan dalam frasa ex duobus civibus Romanis natos ("anak-anak lahir dari dua warga negara Romawi").[83] Wanita Romawi tetap menggunakan nama keluarganya (nomen) seumur hidup. Anak-anak paling sering memakai nama ayahnya, namun terkadang juga mengambil sebagian nama ibunya, atau bahkan sepenuhnya menggunakan nama ibu ketimbang nama ayah.[84]
Bentuk arkais pernikahan manus ketika wanita tunduk pada perintah suaminya umumnya telah ditinggalkan pada era Kekaisaran, dan wanita yang sudah menikah tetap memiliki seluruh harta yang ia bawa ke rumah suaminya. Secara teknis, seorang wanita tetap berada di bawah kewenangan hukum ayahnya, meskipun ia telah pindah ke rumah suaminya, dan ketika ayahnya meninggal dunia, maka ia secara hukum menjadi wanita bebas.[85] Kebijakan ini merupakan salah satu faktor yang membuat wanita Romawi menikmati kebebasan yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kebudayaan kuno lainnya dan bahkan hingga zaman modern:[86] meskipun ia bertanggung jawab kepada ayahnya secara hukum, ia bebas dari pengawasan langsung dalam kehidupan sehari-hari,[87] dan suaminya tidak memiliki kekuatan hukum atas dirinya.[88] Di Romawi, menjadi suatu kebanggaan bagi seorang wanita yang menikah hanya satu kali dalam hidupnya (univira); ada sedikit stigma sosial yang melekat terhadap perceraian, atau menikah kembali setelah bercerai atau ditinggal mati suami.[89]
Anak perempuan memiliki hak waris yang sama dengan anak laki-laki jika ayah mereka meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat.[90] Seorang ibu di Romawi juga berhak memiliki kekayaan pribadi dan menjualnya jika menurutnya tidak sesuai, berhak menulis surat wasiatnya sendiri, dan memberikan pengaruh besar kepada anak-anaknya bahkan ketika mereka dewasa.[91]
Sebagai bagian dari program Augustan untuk mengembalikan nilai moral dan tatanan sosial, undang-undang moral berupaya untuk mengatur perilaku perempuan dalam rangka mempromosikan"nilai-nilai keluarga". Perzinaan, yang menjadi urusan pribadi keluarga pada masa Republik, telah dikriminalisasikan pada masa Kekaisaran,[92] dan secara luas diartikan sebagai "kegiatan seks terlarang (stuprum) yang terjadi antara warga negara pria dengan seorang wanita yang sudah menikah, atau antara seorang wanita yang sudah menikah dengan pria yang bukan suaminya".[93] Kemampuan melahirkan didorong oleh pemerintah: seorang wanita yang telah melahirkan tiga anak dianugerahkan penghargaan simbolis dan diberikan kebebasan hukum yang lebih besar (ius trium liberorum).
Karena status hukumnya sebagai warga negara dan besarnya tingkat emansipasi, wanita di Kekaisaran Romawi bisa memiliki harta sendiri, melakukan kontrak kerja, dan terlibat dalam bisnis,[94] termasuk bisnis pengapalan, manufaktur, dan peminjaman uang. Prasasti yang ditemukan di seluruh Kekaisaran menuliskan penghormatan terhadap wanita sebagai dermawan yang mendanai pekerjaan umum, yang menunjukkan bahwa wanita Romawi bisa mengumpulkan dan menghabiskan kekayaannya sendiri; sebagai contoh, pembangunan Arch of the Sergii didanai oleh Salvia Postuma, seorang wanita anggota keluarga bangsawan, dan bangunan terbesar di forum di Pompeii didanai oleh Eumachia, seorang imam wanita Venus.[95]
Pada saat Augustus berkuasa, sebanyak 35 persen warga Italia adalah budak,[96] sehingga menjadikan Roma sebagai salah satu dari lima "kota budak" bersejarah, yang mana budak berjumlah sekurang-kurangnya seperlima dari total penduduk dan memainkan peran penting dalam perekonomian.[97] Perbudakan adalah lembaga kompleks yang turut mendukung struktur sosial tradisional Romawi serta memberikan kontribusi terhadap utilitas ekonomi.[98] Di wilayah perkotaan, budak mungkin sama profesionalnya dengan seorang guru, dokter, koki, dan akuntan, selain kebanyakan budak tidak terlatih dan terampil yang bekerja di rumah tangga atau pabrik. Pertanian dan industri, seperti penggilingan dan pertambangan, sangat mengandalkan eksploitasi budak. Di luar Italia, jumlah budak diperkirakan 10 sampai 20 persen dari jumlah penduduk, lebih jarang di Mesir Romawi tetapi lebih terkonsentrasi di beberapa wilayah Yunani. Perluasan lahan pertanian dan industri oleh Kekaisaran turut memengaruhi praktik-praktik perbudakan yang sudah ada di provinsi-provinsi Romawi.[99] Meskipun lembaga-lembaga perbudakan dianggap sudah memudar pada abad ke-3 dan ke-4, perbudakan tetap menjadi bagian integral dari masyarakat Romawi hingga abad ke-5. Perbudakan berhenti secara bertahap pada abad ke-6 dan ke-7 bersamaan dengan kemunduran pusat-pusat perkotaan di Barat dan disintegrasi perekonomian Kekaisaran yang menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap tenaga budak.[100]
Hukum yang mengatur perbudakan di Kekaisaran Romawi "sangat rumit".[101] Di bawah hukum Romawi, budak dianggap properti dan tidak memiliki hukum perorangan. Mereka bisa dikenakan hukuman fisik yang tidak biasa dikenakan pada warga negara, eksploitasi seksual, penyiksaan, dan eksekusi kilat. Seorang budak secara hukum tidak bisa diperkosa, karena pemerkosaan hanya bisa dilakukan terhadap orang-orang merdeka; pemerkosa budak dapat dituntut oleh pemiliknya karena telah merusak "propertinya", sesuai dengan Hukum Aquilia.[102] Budak tidak memiliki hak untuk menikah secara sah (conubium), tetapi hubungan antara sepasang budak terkadang diakui, dan jika kedua budak tersebut dibebaskan, maka mereka bisa menikah secara sah.[103] Setelah Perang Budak pada zaman Republik, undang-undang pada masa pemerintahan Augustus dan penerusnya semakin menekan dan membatasi jumlah serikat budak, dan perintah untuk memburu budak buronan.[104]
Secara teknis, budak tidak diperkenankan untuk memiliki properti,[105] tetapi seorang budak yang bekerja menjalankan bisnis memiliki akses terhadap harta atau dana seseorang (peculium) yang keuntungannya bisa ia gunakan seolah-olah hartanya sendiri. Istilah "harta" ini beragam, tergantung pada tingkat kepercayaan dan kerja sama antara pemilik dan budak: seorang budak yang memiliki kecakapan bisnis bisa dengan lebih mudah menghasilkan keuntungan, dan mungkin diperbolehkan untuk memiliki peculium yang bisa ia gunakan untuk membayar budak lainnya.[106] Budak juga memiliki hierarki di rumah atau di tempat kerjanya, yakni ketika seorang budak juga bertindak sebagai tuan bagi budak lainnya.[107]
Seiring waktu, perlindungan hukum yang diperoleh budak semakin meningkat, termasuk hak untuk mengajukan keluhan terhadap tuan mereka. Dalam nota pembelian, terdapat klausul yang menjelaskan bahwa budak tidak boleh dipekerjakan sebagai pelacur, karena kebanyakan pelacur di Romawi kuno adalah budak.[108] Berkembangnya perdagangan budak kasim pada akhir abad ke-1 menyebabkan dikeluarkannya undang-undang yang melarang pengebirian budak jika bertentangan dengan keinginannya."[109]
Perbudakan di Romawi tidak didasarkan pada "ras" dalam pengertian modern.[110] Ketika perbudakan sedang meluas pada masa Republik, tawanan perang merupakan sumber utama yang dijadikan budak. Di antara para tawanan perang yang dijadikan budak, penaklukkan Yunani telah membawa sejumlah budak yang sangat terampil dan berpendidikan ke Roma. Budak juga diperjualbelikan di pasar-pasar, dan terkadang dijual oleh bajak laut Sisilia. Penelantaran bayi dan menjual diri sendiri sebagai budak yang umum terjadi di kalangan warga miskin adalah sumber perbudakan lainnya.[111] Vernae, sebaliknya, adalah budak "asli Romawi" yang lahir dari budak wanita di rumah tangga perkotaan, di perkebunan, atau wilayah pertanian. Meskipun mereka tidak memiliki status hukum khusus, pemilik yang menganiaya atau gagal menjaga para vernae ini akan mendapat cibiran sosial, karena para vernae sudah dianggap sebagai bagian dari familia, rumah tangga keluarga, atau dalam beberapa kasus mungkin sebenarnya anak dari pria merdeka dalam keluarga tersebut.[112]
Budak yang berbakat dan memiliki kecakapan bisnis mungkin mampu mengumpulkan peculium yang cukup besar untuk membebaskan diri mereka dari perbudakan (manumisi). Manumisi ini cukup sering terjadi sehingga pada abad ke-2 SM, hukum (Lex Fufia Caninia) disahkan untuk membatasi jumlah budak yang boleh dibebaskan oleh si pemilik atas keinginannya sendiri.[113]
Roma berbeda dengan negara-kota Yunani dalam mengizinkan budak yang telah dibebaskan untuk menjadi warga negara. Setelah dibebaskan, seorang budak yang dulunya dimiliki oleh warga negara Romawi tidak hanya menikmati kebebasan pasif dari pemiliknya, tetapi juga memperoleh kebebasan politik aktif (libertas), termasuk hak untuk memberi suara.[114] Budak yang telah memperoleh libertas disebut dengan libertus ("orang bebas," untuk wanita: liberta), sedangkan mantan tuannya akan menjadi patron (patronus, pelindung): kedua belah pihak masih tetap memiliki kewajiban adat dan hukum satu sama lainnya. Dalam kelas sosial, budak yang telah bebas disebut dengan libertini, meskipun di kemudian hari para penulis lebih suka menggunakan istilah libertus dan libertinus.[115]
Seorang libertinus tidak berhak memegang jabatan publik atau imamat tertinggi negara, tetapi ia bisa memainkan peran imam dalam kultus kaisar. Seorang libertinus juga tidak boleh menikahi wanita dari keluarga berpangkat senator, ataupun meraih pangkat senator secara sah, tetapi pada awal Kekaisaran, banyak bekas budak yang memegang jabatan kunci di birokrasi pemerintahan, sehingga Kaisar Hadrianus membatasi partisipasi mereka secara hukum.[116] Anak-anak yang lahir dari bekas budak akan berstatus merdeka dengan hak kewarganegaraan penuh.
Kesuksesan para bekas budak—baik dari segi pengaruh politik ataupun dari segi kekayaan—merupakan karakteristik masyarakat Kekaisaran awal. Kemakmuran kelompok berprestasi tinggi yang berasal dari bekas budak disebutkan dalam prasasti-prasasti di seluruh Kekaisaran, dan melalui kepemilikan sejumlah rumah mewah di Pompeii, misalnya House of the Vettii. Keberadaan bekas budaknouveau riche dikisahkan lewat karakter Trimalchio dalam Satyricon karya Petronius, yang ditulis pada masa pemerintahan Nero.
Kata Latin ordo (jamak: ordines) mengacu pada perbedaan sosial yang bisa diterjemahkan dalam beragam kata seperti "kelas", "ordo", dan "peringkat", meskipun tak ada yang benar-benar mendekati makna sebenarnya. Salah satu tujuan sensus Romawi adalah untuk menentukan ke dalam ordo mana seseorang harus digolongkan. Dua ordines tertinggi di Roma adalah ordo senator dan penunggang kuda. Di luar Roma, dekurion, juga dikenal dengan curiales (bahasa Yunani: bouleutai), adalah ordo tertinggi di tiap-tiap kota.
"Senator" bukanlah merupakan jabatan terpilih di Romawi kuno; seseorang memperoleh izin untuk masuk Senat setelah ia diangkat dan menjabat selama satu periode sebagai magistrat eksekutif. Seorang senator juga harus memenuhi syarat kepemilikan properti senilai 1 juta sestertii, yang ditentukan melalui sensus.[117] Kaisar Nero memberi hadiah uang dalam jumlah besar kepada beberapa calon senator dari keluarga-keluarga kuno yang terlalu miskin untuk memenuhi syarat pengangkatan sebagai senator. Tidak semua pria yang memenuhi syarat ordo senatorius bisa dipilih untuk mengisi kursi Senat, yang juga mensyaratkan hukum domisili di wilayah Roma. Kaisar sering kali mengisi kekosongan jabatan 600 anggota Senat melalui kesepakatan tertentu.[118] Putra senator secara otomatis masuk ordo senatorius, tetapi ia juga mesti memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai Senat. Seorang senator bisa diberhentikan karena melanggar standar moral; sebagai contoh, ia dilarang menikahi bekas budak atau bertarung di arena.[119]
Pada masa Nero, kebanyakan senator berasal dari Roma dan wilayah Italia lainnya, dengan sebagian kecil dari semenanjung Iberia dan Prancis selatan; para pria dari provinsi penutur bahasa Yunani di Timur mulai bergabung dengan Senat pada masa pemerintahan Vespasianus.[120] Senator pertama dari provinsi paling Timur, Kapadokia, diangkat oleh Kaisar Marcus Aurelius.[121] Pada masa dinasti Severanus (193–235), sekitar separuh anggota Senat adalah orang Italia.[122] Pada abad ke-3 M, persyaratan harus berdomisili di Roma tidak lagi dianggap praktis, dan prasasti-prasasti yang ditemukan membuktikan bahwa para senator yang aktif berpolitik mewakili tanah air mereka masing-masing (patria).[119]
Senator memiliki aura prestise dan merupakan kelas pemerintahan tradisional yang meraih kejayaan melalui cursus honorum, atau jenjang karier politik. Meskipun demikian, penunggang kuda di Kekaisaran sering kali memiliki kekayaan dan kekuatan politik yang lebih besar jika dibandingkan dengan senator. Keanggotaan dalam ordo ekuestrian berdasarkan pada jumlah harta yang dimiliki; di Roma, pada awalnya equites atau kesatria digolongkan menurut kemampuan mereka dalam melayani Kekaisaran sebagai prajurit berkuda, meskipun layanan kavaleri merupakan fungsi yang terpisah dalam Kekaisaran.[123] Jika hasil sensus menunjukkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari 400.000 sesterces dan tiga generasi yang lahir sebagai warga merdeka, maka orang tersebut dianggap memenuhi syarat untuk menjadi penunggang kuda.[124] Sensus pada tahun 28 SM menemukan sejumlah besar pria yang memenuhi syarat, dan dalam sensus tahun 14 M, sekitar seribu penunggang kuda terdaftar di wilayah Cadiz dan Padua.[125] Penunggang kuda meraih kejayaan melalui jenjang karier militer (tres militiae) hingga menjadi prefek dan prokurator berkedudukan tinggi di dalam pemerintahan Kekaisaran.[126]
Masuknya orang-orang dari provinsi ke dalam ordo ekuestrian dan senator merupakan aspek mobilitas sosial pada tiga abad pertama pemerintahan Kekaisaran.[127] Aristokrasi Romawi berdasarkan pada persaingan. Tidak seperti kebangsawanan Eropa di kemudian hari, keluarga Romawi tidak bisa mewariskan statusnya secara turun-temurun atau melalui gelar.[128] Menjadi anggota ordines yang lebih tinggi memang mendatangkan perbedaan dan keistimewaan, tetapi di sisi lain juga mendatangkan tanggung jawab besar. Pada zaman kuno, perkembangan sebuah kota tergantung pada warga terpandang yang mendanai pekerjaan-pekerjaan umum, acara, dan jasa (munera), bukannya tergantung pada penerimaan pajak yang umumnya dimanfaatkan untuk mendukung kemiliteran. Untuk mempertahankan statusnya, seseorang harus mengeluarkan harta pribadi yang cukup besar.[129] Decurion (dewan kota) berperan penting dalam menjalankan fungsi-fungsi kota di Kekaisaran. Jika posisi dewan kota mengalami kekosongan, orang-orang yang berkuasa di Senat akan diberhentikan oleh pemerintah pusat, menyerahkan kursi mereka dan kembali ke kota masing-masing untuk menjadi dewan kota. Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan kehidupan sipil.[130]
Kelak di Kekaisaran, gelar dignitas ("layak, terpandang") yang disematkan pada senator dan penunggang kuda diperhalus lagi dengan gelar seperti vir illustris, "pria termasyhur".[131] Sebutan clarissimus (bahasa Yunani: lamprotatos) digunakan untuk mengacu pada dignitas senator tertentu dan anggota keluarganya, termasuk para wanita.[132] "Pangkat" untuk penunggang kuda sangat banyak. Orang-orang yang melayani Kekaisaran diberi pangkat berdasarkan bayaran (sexagenarius, 60.000 sesterces per tahun; centenarius, 100.000; ducenarius, 200.000). Gelar eminentissimus, "paling unggul" (bahasa Yunani: exochôtatos) diberikan pada penunggang kuda yang telah menjadi prefek Praetorian. Pangkat penunggang kuda tertinggi adalah perfectissimi, "paling terkemuka" (bahasa Yunani: diasêmotatoi), sedangkan yang paling rendah adalah egregii, "luar biasa" (bahasa Yunani: kratistos).[133]
Setelah prinsip-prinsip hukum kesetaraan warga negara pada masa Republik memudar, hak-hak sosial dan simbolis masyarakat Romawi secara tidak resmi terbagi menjadi dua golongan, yakni orang-orang yang mendapat penghormatan lebih besar (honestiores) dan rakyat biasa (humiliores). Secara umum, honestiores adalah anggota dari tiga "ordo" tertinggi, termasuk jabatan perwira militer tertentu.[134] Pemberian hak kewarganegaraan universal pada tahun 212 diduga telah meningkatkan dorongan untuk berkompetisi di kalangan kelas atas, umumnya untuk menunjukkan superioritas mereka atas warga negara lainnya, terutama dalam sistem peradilan.[135]
Pemberian hukuman tergantung pada pengadilan dari pejabat resmi yang menilai "kelayakan" (dignitas) terdakwa: seorang honestior bisa membayar denda jika divonis bersalah melakukan kejahatan, sedangkan humilior akan menerima cambukan.[136]
Hukuman mati, yang jarang dijatuhkan kepada pria merdeka pada masa Republik,[137] bisa berlangsung dengan cepat dan tanpa rasa sakit pada warga negara Kekaisaran yang dianggap "lebih terhormat", sedangkan warga negara biasa yang dianggap lebih rendah mungkin terlebih dahulu dianiaya dan dikenakan penyiksaan yang sebelumnya hanya diberlakukan kepada budak, misalnya penyaliban dan diperlakukan seperti binatang di hadapan penonton di arena.[138] Pada awal Kekaisaran, orang-orang yang pindah ke agama Kristen bisa kehilangan posisi sebagai honestiores, terutama jika mereka menolak memenuhi tanggung jawab sebagai warga negara karena aspek agama, dan juga menjadi subjek hukuman yang menciptakan kondisi kemartiran.[139]
Tiga elemen utama dalam Kekaisaran Romawi adalah pemerintahan pusat, militer, dan pemerintahan provinsi.[140] Militer mengontrol suatu wilayah semasa perang, tetapi setelah kota atau rakyatnya menjadi bagian dari Romawi, tugas militer ini beralih kepada kepolisian, yang fungsinya melindungi warga negara Romawi (setelah 212 M semua penduduk bebas di Kekaisaran), melindungi lahan pertanian yang memberi mereka makan, dan tempat-tempat ibadah.[141] Tanpa instrumen modern seperti komunikasi dan pemusnahan massal, warga Romawi tidak akan memiliki kekuatan atau sumber daya yang cukup untuk memaksakan kekuasaan mereka dengan kekuatan sendiri. Kerja sama dengan elite penguasa lokal diperlukan untuk menjaga ketertiban, mengumpulkan informasi, dan meraup pendapatan. Warga Romawi sering kali memanfaatkan perpecahan politik dengan mendukung salah satu faksi ketimbang yang lainnya: dalam pandangan Plutarch, "ini merupakan perselisihan antara faksi di kota-kota yang menyebabkan dicabutnya pemerintahan-mandiri".[142]
Masyarakat yang menunjukkan loyalitas pada Romawi bisa menegakkan hukum mereka sendiri, berhak mengumpulkan pajak secara kedaerahan, dan bahkan dibebaskan dari pajak Romawi. Hak-hak hukum dan kemerdekaan merupakan insentif yang diperoleh jika bisa mempertahankan hubungan yang baik dengan Roma.[143] Pemerintahan Romawi memang terbatas, tetapi efisien dalam mengelola sumber daya yang tersedia.[144]
Dominasi kaisar berdasarkan pada konsolidasi kekuasaan tertentu dari sejumlah pejabat Republik, termasuk tribune rakyat yang tidak dapat diganggu gugat dan wewenang censor untuk memanipulasi hierarki masyarakat Romawi.[145] Kaisar juga menobatkan dirinya sebagai otoritas keagamaan sentral seperti Pontifex Maximus, dan memiliki hak terpusat untuk menyatakan perang, mengesahkan perjanjian, dan berunding dengan pemimpin asing.[146] Meskipun fungsi ini terdefenisikan dengan sangat jelas pada masa Principatus, kekuasaan kaisar dari waktu ke waktu menjadi makin kurang konstitusional dan lebih monarki, sehingga melahirkan era Dominatus.[147]
Kaisar memiliki kewenangan tertinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil keputusan, tetapi pada awal Principatus, ia masih bisa berhubungan dengan orang-orang dari seluruh lapisan masyarakat, dan menangani secara pribadi urusan-urusan resmi dan petisi. Birokrasi yang ada di sekeliling kaisar dibentuk secara bertahap.[148] Kaisar-kaisar dari dinasti Julio-Klaudian mengandalkan badan penasihat resmi yang tidak hanya beranggotakan para senator dan penunggang, tetapi juga budak dan bekas budak tepercaya.[149] Setelah pemerintahan Nero, pengaruh tidak resmi para budak dan bekas budak dianggap mencurigakan, dan dewan kaisar (consilium) dibentuk secara resmi demi pemerintahan yang lebih transparan.[150] Meskipun senat berperan sebagai pembuat kebijakan sampai akhir dinasti Antonine, para penunggang kuda atau kesatria memainkan peran yang semakin penting dalam consilium.[151] Para wanita dari keluarga kaisar sering kali turun tangan langsung dalam pengambilan keputusan kaisar. Plotina memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan kedua suaminya, Trajanus dan penerusnya, Hadrianus. Pengaruhnya ini ditunjukkan lewat surat-suratnya yang dipublikasikan secara resmi, sebagai tanda bahwa kewenangan sang kaisar dipengaruhi dan didengarkan oleh rakyatnya.[152]
Rakyat bisa bertemu dengan kaisar dalam acara-acara harian seperti resepsi (salutatio), acara penghormatan tradisional yang dilakukan oleh bekas budak kepada patronnya; perjamuan umum yang digelar di istana; dan upacara keagamaan. Rakyat biasa yang tidak memiliki kesempatan ini bisa menyalurkan penghormatan atau ketidakpuasan mereka terhadap kaisar secara berkelompok dalam acara-acara pertandingan yang diselenggarakan di arena besar.[153] Pada abad ke-4, setelah pusat-pusat perkotaan mengalami kemerosotan, kaisar penganut Kristen menjadi tokoh utama yang mengeluarkan peraturan umum, dan tidak lagi menanggapi petisi perorangan.[154]
Meskipun senat bisa melakukan pembunuhan dan pemberontakan terbuka untuk menentang kehendak kaisar, hal ini tidak pernah terjadi pada masa restorasi Augustusan dan bahkan pada masa-masa penuh gejolak yang dikenal dengan Tahun Empat Kaisar, dan dengan demikian tetap mempertahankan sentralitas politik simbolis pada masa Principatus.[155] Senat bertugas mengesahkan peraturan kaisar, dan kaisar memerlukan senat yang berpengalaman sebagai legasi (legatus) untuk mengisi posisi jenderal, diplomat, dan administrator.[156] Keberhasilan karier seseorang ditentukan oleh kompetensinya sebagai administrator, dan selebihnya ditentukan oleh kaisar.[157]
Sumber praktis kekuasaan kaisar adalah militer. Para legiun digaji oleh bendahara Kekaisaran, dan bersumpah setiap tahunnya untuk setia kepada kaisar (sacramentum).[158] Kematian seorang kaisar sering kali menimbulkan ketidakpastian dan krisis. Kebanyakan kaisar menunjuk sendiri pengganti mereka, biasanya anggota keluarga terdekat atau mengadopsi pewaris. Kaisar baru harus mampu memperoleh pengakuan secara cepat terkait dengan status dan kewenangannya untuk menstabilkan lanskap politik. Tidak ada kaisar yang berharap bisa hidup, apalagi bisa memerintah, tanpa dukungan dan loyalitas dari Garda Praetoria dan legiun. Untuk mendapatkan kesetiaan mereka, beberapa kaisar bahkan membayar donativum, yakni hadiah berupa uang. Secara teori, Senat berhak untuk memilih kaisar baru, tetapi hak ini dibatasi oleh aklamasi dari para tentara dan Garda Praetoria.[159]
Prajurit angkatan darat Kekaisaran Romawi adalah orang-orang profesional yang aktif bertugas secara sukarela selama 20 tahun dan lima tahun sebagai prajurit cadangan. Transisi menjadi petugas militer profesional telah dimulai pada akhir masa Republik, dan merupakan salah satu dari banyak hal yang mengalami pergeseran dalam republikanisme, yang mana prajurit yang telah menempuh wajib militer harus melaksanakan tanggung jawab mereka sebagai warga negara untuk membela tanah air dalam peperangan terhadap ancaman tertentu. Di Kekaisaran Romawi, militer sendiri adalah karier penuh-waktu.[160]
Misi utama militer Romawi pada awal kekaisaran adalah menjaga keberlangsunganPax Romana.[161] Tiga divisi utama militer Kekaisaran adalah:
Tersebarnya garnisun militer di seluruh Kekaisaran adalah pengaruh utama dalam proses perubahan dan asimilasi budaya yang dikenal dengan "Romanisasi," terutama dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.[162] Pengetahuan mengenai militer Romawi diperoleh dari sumber-sumber seperti teks sastra Yunani dan Romawi, koin dengan tema militer, papirus yang memuat tulisan-tulisan militer, monumen seperti Kolom Trajanus dan gerbang lengkung kemenangan, yang kesemuanya menampilkan gambaran artistik para pria sedang bertempur ataupun peralatan militer, arkeologi pemakaman militer, medan pertempuran, perkemahan, serta prasasti, termasuk diploma militer, epitaf, dan dedikasi.[163]
Melalui reformasi militernya, yang meliputi melebur atau membubarkan satuan militer yang kesetiaannya dipertanyakan, Augustus mengubah dan meregulalisasikan legiun, termasuk menetapkan pola paku sepatu pada telapak sepatu prajurit.[164] Satu legiun dibagi menjadi sepuluh kohort, masing-masingnya terdiri dari enam centuria, dengan satu centuria terbagi menjadi sepuluh skuat (contubernia). Jumlah persisnya legiun Kekaisaran yang diukur berdasarkan logistik diperkirakan berkisar antara 4.800 hingga 5.280 legiun.[165]
Pada abad ke-9, suku-suku Jermanik berhasil menyapu bersih tiga legiun penuh dalam Pertempuran Hutan Teutoburg. Peristiwa buruk ini mengurangi jumlah legiun menjadi 25. Jumlah keseluruhan legiun kemudian bertambah lagi dan selama 300 tahun berikutnya, jumlahnya selalu di atas atau di bawah 30.[166] Angkatan darat memiliki sekitar 300.000 prajurit pada abad ke-1, dan di bawah 400.000 pada abad ke-2, "secara signifikan lebih kecil" jika dibandingkan dengan pasukan gabungan dari wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Pada kenyataannya, tak lebih dari 2% pria dewasa di Kekaisaran yang bertugas di angkatan darat Romawi.[167]
Augustus juga membentuk Garda Praetoria: sembilan kohor yang tugasnya menjaga perdamaian umum dan ditempatkan di Italia. Dengan gaji yang lebih besar daripada anggota legiun, Garda Praetoria hanya bertugas selama enam belas tahun.[168]
Auxilia (pasukan pembantu) direkrut dari kalangan non-warga negara. Ditempatkan di satuan yang lebih kecil dari satuan kohor, prajurit auxilia ini digaji lebih sedikit dari legiun, dan setelah bertugas selama 25 tahun, para prajurit diberi status kewarganegaraan Romawi, yang bisa diwariskan kepada putra mereka. Menurut Tacitus,[169] jumlah auxilia kira-kira sama dengan jumlah legiun. Jika dihitung secara keseluruhan, Auxilia ini berjumlah sekitar 125.000, yang dibagi menjadi 250 resimen auxilia.[170] Kavaleri Romawi pada awal Kekaisaran umumnya ditempatkan di wilayah Keltik, Jermanik, atau Spanyol Romawi. Beberapa peralatan pelatihan dan persenjataan, seperti pelana tanduk-empat, berasal dari Keltik, sebagaimana yang dicatat oleh Arrian dan ditunjukkan melalui bukti arkeologi.[171]
Angkatan laut Romawi (Latin: classis, "armada") tidak hanya membantu memasok dan mengangkut para legiun, tetapi juga membantu melindungi perbatasan di sepanjang sungai Rhine dan Danube. Tugas lainnya adalah melindungi rute perdagangan maritim penting dari ancaman bajak laut. Angkatan laut berpatroli di Laut Tengah, sebagian pesisir Atlantik Utara, dan Laut Hitam. Meskipun demikian, angkatan darat tetap dianggap cabang yang lebih senior dan bergengsi.[172]
Wilayah yang ditaklukkan bisa menjadi sebuah provinsi melalui tiga tahap, yakni membuat daftar kota-kota, melakukan sensus penduduk, dan menyurvei lahan.