Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Mahākassapa
Murid utama Buddha Gautama Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Mahākassapa (Pali; Sanskerta: Mahākāśyapa) atau Kāśyapa atau terkadang dipanggil dengan nama kecilnya yaitu Pipphali, adalah salah satu murid utama Sang Buddha Sakyamuni yang sangat dihormati dan dikenal sebagai pertapa hebat dan kedisiplinannya dalam dhutanga.[2][3] Setelah Sariputta dan Moggallana meninggal dunia, Mahākassapa menjadi murid Sang Buddha yang menjadi panutan dan sangat dihormati oleh anggota sangha.[4] Ia sering digambarkan mendampingi Sang Buddha bersama-sama dengan Ananda, masing-masing di sisi Sang Buddha. Mahākassapa juga adalah satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha.[4][5] Ia dikatakan memiliki tujuh dari tiga puluh dua “sifat mulia seorang tokoh besar” yang dipuji oleh Sang Buddha sebagai yang terkemuka di antara para bhikkhu dalam menjalankan praktik hidup sederhana,[6] serta sangat baik dalam pencapaian meditasinya dan pencerahannya.[7] Meskipun memiliki reputasi sebagai orang yang asketis, ketat, dan tegas, ia tertarik pada urusan komunitas dan pengajaran, serta dikenal karena belas kasihnya terhadap orang miskin, yang kadang-kadang membuatnya digambarkan sebagai figur anti-kekuasaan.
Dalam teks-teks Buddha kanonik dari beberapa tradisi, Mahākassapa dinikahkan dengan seorang wanita bernama Bhadda-Kapilānī. Keduanya bercita-cita untuk menjalani kehidupan selibat, dan mereka memutuskan untuk tidak menjalani pernikahan mereka seperti layaknya suami-istri. Keduanya meninggalkan kehidupan awam untuk menjadi pertapa. Pippali kemudian bertemu dengan Buddha, di bawah bimbingannya ia ditahbiskan sebagai bhikkhu dengan nama Kāśyapa, namun kemudian disebut Mahākassapa untuk membedakannya dari murid-murid lain.[7]
Ia menjadi figur paling berpengaruh dalam komunitas sangha setelah meninggalnya Sang Buddha, dan menjadi pemimpin dalam Sidang Agung Pertama. Walaupun Sang Buddha tidak menunjuk penerus sesaat sebelum parinibbananya,[8] Mahākassapa dianggap sebagai pemimpin sangha karena para bhikkhu begitu menghormatinya.[9] Karena alasan ini, ia dianggap oleh beberapa aliran (khususnya Buddhisme Zen) sebagai patriark pertama, dan dianggap sebagai tokoh pertama dalam garis silsilah patriark Buddhisme.
Remove ads
Kehidupan
Ringkasan
Perspektif
Dari beberapa tradisi teks dalam kitab Buddhis awal, ada sekitar selusin khotbah yang dikaitkan dengan Mahākassapa. Dalam tradisi Pāli, bagian ini merupakan bagian dari kumpulan teks yang disebut Saṃyutta Nikāya, dan di dalam teks-teks Buddhis Tiongkok, kumpulan tersebut disebut Saṃyukta Āgama. Di Samyukta Āgama ada dua versi bagian tentang Mahākassapa, yaitu di bagian Taishō 2:99 dan 2:100.[10] Ekottara Āgama yang paralel dengan Saṃyutta Pāli juga berisi teks mengenai Mahākassapa, di bagian T2:99 dan T2:100. Bagian tersebut menggambarkan pertemuan antara Sang Buddha dan Mahākassapa,[11] serta cerita tentang dirinya dan biksu Bakkula.[12] Sedangkan di tradisi Mūlasarvāstivāda juga terdapat beberapa teks Vinaya mengenai Mahākassapa dalam bahasa Tibet.[13]
Kehidupan lampau
Dalam teks Pali, Mahākassapa diceritakan di kelahirannya yang lampau pernah beberapa kali hidup bersama dengan Bhadda Kapilani sebagai suami istri dan telah beraspirasi untuk menjadi murid Sang Buddha yang akan menjalani praktek asketis. Kassapa bersama dengan Bhadda juga berulang kali menjalani kehidupan sebagai pertapa dan pernah menjalani kehidupan suci di alam Brahma.[14] Kassapa juga sering terlahir bersama dengan yang kelak terlahir menjadi Bodhisatta Siddharta sebagai kerabat dekat, di mana setidaknya pernah enam kali menjadi ayahnya,[15][16][17][18][19][20] dua kali menjadi saudaranya,[21][22] dan seringkali menjadi temannya atau gurunya.[23] Kassapa juga beberapa kali pernah terlahir sebagai kerabat dekat dari Sariputta dan Ananda.[24]
Berdasarkan Manorathapurani, Mahakassapa di kehidupan lampau pernah terlahir pada masa Buddha Padumuttara sebagai seorang yang kaya raya bernama Videha, di mana Bhadda dalam kehidupan tersebut terlahir menjadi istrinya. Di masa itu, dia melihat Nisabha, salah satu murid Buddha Padumuttara yang terkemuka dalam praktik pertapaannya (Pali: etadaggaṃ dhutavādānaṃ), dan Videha sebagai umat awam berharap untuk bisa menjadi seperti Nisabha di kehidupan yang akan datang.[25] Saat Videha menyampaikan aspirasinya di depan Buddha Padumuttara untuk menjadi murid yang terkemuka dalam hal pertapaan di bawah bimbingan Buddha yang akan datang, Buddha Padumuttara saat itu meyakinkannya bahwa dia pasti akan mencapai tujuannya 100 kalpa lagi di masa Buddha Gotama.[25]
Di masa Buddha Vipassi, Kassapa terlahir menjadi seorang brahmana yang sangat miskin dan dikenal dengan sebutan "dia yang dengan hanya sehelai kain" (Pali: Ekasataka) dan Bhadda saat itu juga terlahir sebagai istrinya. Pada saat itu ia mendengarkan dharma tentang berdana yang dikotbahkan Buddha Vipassi dan menjadi sangat terkesan sehingga menawarkan jubah yang merupakan satu-satunya jubah yang mereka miliki, yang harus mereka kenakan bergantian setiap kali mereka keluar rumah. Raja Bandhuma yang saat itu juga mendengarkan khotbah dan mengetahui yang dilakukan brahmana tersebut memberikannya beberapa jubah kepadanya dan di kemudian hari menunjuknya sebagai Purohita-nya.[26]
Di dalam Jataka, dalam satu kehidupan Kassapa dan Bhadda pernah terlahir sebagai pasangan suami istri dan menjadi orang tua dari seorang brahmana yang di kemudian hari terlahir sebagai Ananda. Di kehidupan itu brahmana tersebut berkeinginan untuk menjalani kehidupan asketis dan akhirnya berguru pada seorang guru yang kelak terlahir menjadi Bodhisatta Siddharta.[27][28] Di kehidupan yang lain, Kassapa dan Bhadda pernah menjadi pasangan suami istri yang menjadi orang tua dari mereka yang di kehidupan berikutnya terlahir sebagai Bodhisatta Siddharta, Anuruddha, Sariputta dan Moggallana. Semuanya ingin jadi pertapa.[29][28]
Di dua kehidupan sebelum kelahirannya yang terakhir, Mahakassapa terlahir sebagai manusia dan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa. Setelah kehidupan tersebut, Mahakassapa terlahir kembali di alam Brahma sebelum kemudian terlahir sebagai Pipphali Kassapa di masa Sang Buddha Gautama.[30]
Kehidupan awal
Seperti murid-murid utama Sang Buddha lainnya (Sariputta dan Mahamoggallana), Kasyapa juga berasal dari keluarga brahmana. Maha Kassapa lahir di sebuah desa bernama Mahātittha, di kerajaan Magadha (sekarang adalah India).[7] Menurut beberapa sumber, ayahnya adalah seorang tuan tanah kaya bernama Kapila, sedangkan ibunya dipanggil Sumanādevi, namanya Pippilāyana.[7] Tubuhnya memiliki beberapa dari tiga puluh dua ciri khas seorang Mahāpuruṣa (Sanskerta: Mahāpuruṣalakṣaṇa; Pali: Mahāpurissalakkhaṇa), yang dalam Buddhisme dianggap sebagai ciri khas seorang Buddha masa depan.[a]

Sejak muda, ia cenderung memilih hidup spiritual daripada menikah, namun ayahnya menginginkannya untuk menikah. Untuk mengelabui ayahnya, ia setuju untuk menikah, tetapi kemudian membuat patung emas sempurna berbentuk wanita, dan meminta ayahnya untuk mencari wanita yang sesuai dengan patung tersebut.[31] Empat salinan patung tersebut dibawa ke seluruh negeri untuk mencari wanita yang memiliki gambaran seperti patung tersebut. Seorang brahmana dari Kapila memiliki putri bernama Bhaddā-kapilānī (Sanskerta: Bhadra-Kapilānī), yang juga tidak tertarik pada kehidupan keluarga. Namun, orang tuanya ingin ia menikah, dan untuk menyenangkan ibunya, ia setuju untuk menghormati sebuah kuil dewi yang dikenal memberikan jodoh pernikahan di kalangan keluarga kelas atas. Ketika ia mendekati patung tersebut, orang-orang menyadari bahwa patung itu tampak jelek dibandingkan dengannya. Reputasinya sebagai wanita cantik menyebar, dan tak lama setelah keluarga Pippali mengetahui hal itu, ia ditawarkan untuk menikah dengan Pippali.[32]
Selanjutnya, dalam versi Pāli cerita ini, keduanya bertukar surat untuk menunjukkan ketidaktertarikan mereka, namun surat-surat tersebut disita oleh orang tua mereka dan mereka dipaksa untuk menikah.[33][34] Dalam versi Mūlasarvāstivāda cerita ini, Pippali pergi mengunjungi Bhadra dan tanpa mengungkapkan identitasnya, memberitahunya bahwa calon suaminya akan menjadi pilihan yang buruk baginya, karena dia tidak tertarik pada kenikmatan sensual. Dia menjawab bahwa dia juga tidak peduli dengan hal-hal semacam itu, lalu dia mengungkapkan bahwa dia adalah calon suaminya.[35] Kedua versi menceritakan bahwa keduanya setuju untuk menikah dan hidup selibat, yang membuat orang tua Pippali kecewa.[33][35]
Pippali digambarkan dalam versi Pāli sebagai orang yang sangat kaya, menggunakan banyak bubuk pengharum, dan memiliki banyak tanah dan kereta.[7] Dalam versi Pāli, Pippali dan Bhadra melihat ada banyak binatang yang terbunuh di ladang subur yang sedang digarap oleh pekerja mereka.[36][7] Pemandangan itu menimbulkan rasa iba dan takut bagi mereka, dan mereka memutuskan untuk hidup sebagai pertapa, meninggalkan usaha pertanian.[33] Dalam versi Mūlasarvāstivāda, pemandangan menyedihkan para pekerja lah yang membuat Pippali meninggalkan kehidupan awamnya.[37] Keduanya berpisah jalan, agar tidak tumbuh ikatan emosional di antara mereka, dan untuk mencegah gosip dan reputasi buruk.[b]
Bertemu dengan Sang Buddha
Di sebuah daerah di antara Rajagaha dan Nalanda, Pippali bertemu dengan Sang Buddha, terpesona oleh keagungan-Nya, dan meminta untuk ditahbiskan di bawah bimbingannya.[30] Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Kāśyapa. Saat ditahbiskan, Buddha memberikan tiga petunjuk untuk dipraktikkan: Kāśyapa harus mengembangkan rasa takut untuk berbuat jahat dan hormat terhadap sesama biksu, tanpa memandang status mereka; Kāśyapa harus mendengarkan ajaran Sang Buddha dengan seksama dan bila dirasa itu memberikan manfaat harus direnungkan, diserap dan dipraktikkan; Kāśyapa harus hidup dengan kesadaran penuh terhadap badan jasmani yang berkenaan dengan kesenangan.[38][39]
Ketika keduanya bertemu (atau dalam beberapa versi, beberapa waktu kemudian), Mahākassapa menukar jubahnya yang bagus dan halus dengan jubah Buddha, yang kasar dan sudah usang. Sebagian memaknai itu sebagai tanda penghormatan yang besar yang diberikan Buddha,[40] sebagian menganggap bahwa itu adalah motivasi dari Sang Buddha agar Kāśyapa memahami praktik hidup sederhana, sebagian menganggap bahwa itu hanyalah reaksi spontan Sang Buddha atas tawaran Kāśyapa memberikan jubahnya untuk alas duduk Sang Buddha, [6] namun ada juga yang menganggap bahwa jubah itu menjadi simbol penerusan ajaran Buddha, dan Mahākassapa menjadi simbol kelangsungan ajaran Buddha.[c] Dalam konteks ini, jubah lusuh juga dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, kelahiran kembali, ketidakabadian, dan kematian dalam beberapa budaya Asia.[41][42]
Kehidupan monastik
Buddha medorong Mahākassapa agar ia berlatih “untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang” dan menekankan padanya agar ia menempuh praktik asketis (Sanskerta: dhūtaguṇa, Pali: dhutaṅga).[43] Sesuai petunjuk tersebut, Mahākassapa pun menjalankan ketiga belas praktik asketis (termasuk hidup di hutan belantara, hidup hanya dari sedekah, dan mengenakan jubah dari kain bekas)[43][44] dan berhasil mencapai pencerahan (menjadi arahat) dalam tujuh hari.[45][46][47] Ia kemudian disebut ‘Kāśsapa yang Agung’ (Pali: Mahākassapa), karena sifat-sifat baiknya, dan untuk membedakannya dari biksu lain dengan nama yang sama.[d][37][7]
Mahākassapa adalah salah satu murid Buddha yang paling dihormati dan merupakan seorang pertapa yang tiada tandingannya.[48][49] Ia dipuji oleh Buddha sebagai yang terkemuka dalam praktik asketis (Pali: dhutavādānaṃ) dan sebagai pertapa hutan yang terkemuka.[e] Ia unggul dalam pencapaian supranatural (Pali: iddhi; Sanskerta: ṛddhi) dan setara dengan Buddha dalam tingkat kondisi meditatif (Pali: jhāna; Sanskerta: dhyāna).[50][f] Ia digambarkan sebagai seorang bhikkhu yang memiliki kemampuan besar untuk menahan ketidaknyamanan dan puas dengan kebutuhan dasar hidup.[51] Dalam salah satu pembicaraan yang terdapat dalam teks Pāli dan Tiongkok, Buddha menasihati Mahākassapa bahwa setelah menua, ia seharusnya menghentikan praktik asketis dan tinggal dekat dengan Buddha. Namun, Mahākassapa menolaknya.[52] Ketika Buddha meminta penjelasannya, Mahākassapa mengatakan bahwa ia menemukan manfaat dari praktik-praktik tersebut bagi dirinya sendiri. Ia juga berargumen bahwa ia dapat menjadi teladan bagi generasi mendatang para praktisi. Buddha setuju dengannya dan mengukuhkan manfaat dari praktik asketis,[53][54] yang telah ia puji sejak lama.[55] Mahākassapa juga dipuji sang Buddha sebagai teladan yang harus ditiru oleh para muridnya yang lain perihal hubungan dengan umat awam. Mahākassapa tidak pernah melekat pada barang-barang kebutuhan yang diberikan ataupun mengharapkan pujian dan penghormatan dari umat awam, dan selalu berpikir agar siapapun yang menginginkan kebahagiaan bisa mendapatkan kebahagiaan. Ketika membabarkan ajaran dia juga tidak melakukannya demi popularitas, tapi hanya agar yang mendengar bisa mengenal dharma.[56][57][58]
Sebuah teks lain yang terdapat dalam kitab Pāli dan dua kitab Tiongkok menggambarkan Mahākassapa bertemu dengan Buddha saat ia mengenakan jubah kain sederhana, dan menurut versi Tiongkok, rambut dan janggutnya panjang. Para biksu lain mengkritik Mahākassapa karena penampilannya tidak pantas saat bertemu dengan gurunya. Sang Buddha menanggapi dengan memuji Mahākassapa. Dalam versi Tiongkok, Buddha bahkan mengizinkan Mahākassapa untuk berbagi tempat duduk dengannya, tetapi Mahākassapa dengan sopan menolaknya.[59] Ketika Mahākassapa sakit, Buddha mengunjunginya dan mengingatkan dia tentang usahanya dalam mempraktikkan ajaran Buddha.[60]
Hubungan dengan Ānanda
Mahākassapa sering digambarkan dalam teks-teks Buddhis awal sebagai sosok yang kritis terhadap Ānanda. Misalnya, suatu kali Mahākassapa menegur Ānanda dengan kata-kata keras, mengkritik fakta bahwa Ānanda bepergian dengan sekelompok besar biksu muda yang tampaknya belum terlatih sehingga menyebabkan reputasi buruk.[61][62] Menurut teks-teks awal, peran Ānanda dalam mendirikan ordo bhikṣunī (biarawati) membuatnya populer di kalangan bhikṣunī. Ānanda sering mengajar mereka,[63][64] sering mendorong para wanita untuk menjadi bhikkhuni, dan ketika ia dikritik oleh Mahākassapa, beberapa bhikṣunī mencoba membelanya.[65][66] Di kasus ini, saat mendengar Mahākassapa mengkritik Ānanda, seorang bhikkhuni bernama Thullananda merasa tidak senang dan memandang rendah dengan penuh kebencian dan mengatakan bahwa Mahākassapa sebelumnya adalah pengikut sekte lain.[67][68] Dalam beberapa catatan dalam tradisi lain, ia bahkan melucuti pakaiannya di hadapan Mahākassapa untuk menghinanya.[69] Mahākassapa pun menjelaskan kepada Ānanda bahwa sejak dia mencukur rambut ia tidak pernah berguru pada guru lain selain Sang Buddha. Tak lama setelah itu, Thullananda meninggalkan kehidupannya sebagai bhikkhuni.[70]
Suatu kali, Mahākassapa memberikan ajaran kepada bhikṣunī di hadapan Ānanda, yang ditanggapi oleh seorang bhikṣunī bernama Thullatissā (Sansekerta: Sthūlanandā) dengan mengkritik Mahākassapa.[67] Dia merasa tidak pantas bagi Mahākassapa untuk memberikan ajaran di hadapan Ānanda, yang dia anggap sebagai biksu yang lebih unggul. Mahākassapa bertanya apakah Ānanda setuju dengan pendapatnya, tetapi Ānanda menolak pandangan tersebut dan menyebutnya sebagai wanita bodoh.[g] Kemudian Mahākassapa membuat Ānanda mengingat bahwa dialah yang diakui Sang Buddha secara terbuka di depan para bhikkhu atas berbagai pencapaiannya.[h]
Menurut ahli Indologi Oskar von Hinüber, sikap Ānanda yang lebih pro kepada para bhikkhuni mungkin menjadi alasan utama terjadinya perselisihan yang sering terjadi antara Ānanda dan Mahākassapa. Perselisihan ini akhirnya membuat Mahākassapa menuduh Ānanda atas beberapa pelanggaran selama Sidang Buddhis Pertama, dan mungkin menyebabkan munculnya dua faksi dalam saṃgha yang terkait dengan kedua murid tersebut.[71][72]
Secara umum, Mahākassapa dikenal karena sifatnya yang suka menyendiri. Namun, sebagai seorang guru, ia adalah mentor yang tegas yang menuntut standar tinggi bagi dirinya sendiri dan para bhikkhu lainnya. Ahli agama Reiko Ohnuma berargumen bahwa ada perbedaan karakter yang cukup besar di antara dua tokoh tersebut yang menyebabkan terjadinya hal tersebut dan bukan hanya karena sekedar masalah pro dan anti-bhikkhuni.[73][i] Ahli Pāli Rune Johansson (1918–1981) berargumen bahwa peristiwa seputar Mahākassapa, Ānanda, dan para bhikkuni membuktikan bahwa dalam Buddhisme, murid-murid yang telah tercerahkan masih dapat melakukan kesalahan. Namun, ahli studi Buddhisme Bhikkhu Analayo berhipotesis bahwa Mahākassapa memilih untuk mendidik Ānanda untuk meninggalkan sikap memihak dan tidak terlalu melekat kepada para bhikkuni sebagai sesuatu yang harus diatasi oleh Ānanda.[76]
Guru dan Mentor
Teks-teks Pāli menyatakan bahwa Sang Buddha menganggap Mahākassapa setara dengan dirinya dalam hal menasihati para bhikkhu,[67] dan Buddha memujinya karena kemampuannya untuk menanamkan keyakinan pada umat awam. Ahli Buddhis Karaluvinna meyakini bahwa Sang Buddha mungkin telah mempersiapkan Mahākassapa untuk perannya kelak sebagai pemimpin sangha.[77] Dalam khotbah-khotbah Saṃyutta yang menyebutkan Mahākassapa dalam teks Pāli dan paralelnya dalam bahasa Mandarin, khotbah Mahākassapa digambarkan sebagai contoh pengajaran doktrin yang berasal dari niat yang murni dan penuh welas asih.[78][79] Cendekiawan agama Shayne Clarke berpendapat bahwa pertapa yang menyendiri dan keras seperti yang digambarkan dalam kebanyakan teks tidak memberikan gambaran yang lengkap mengenai Kassapa.[80] Anālayo menyebutkan bahwa Kassapa memberi perhatian aktif pada masalah-masalah sangha, meluangkan waktu untuk mengajarkan doktrin dan mengajak sesama biarawan untuk mempraktekkan asketisisme. Hal ini juga ditunjukkan dalam perannya sebagai pemimpin Sidang Buddhis Pertama.[81] Kitab Sansekerta Mahākarmavibhaṅga menyatakan bahwa Mahākassapa melakukan pengajaran-pengajaran penting, dan mampu membawa ajaran Buddha kepada masyarakat di barat laut, dimulai dari Avanti.[82]
Namun, karena gaya mengajarnya yang tegas dan selektif dalam memilih murid, gaya mengajarnya mendapat kritik dari para bhikkhu dan khususnya para bhikkhunī.[76][83] Menurut Anālayo, hal ini yang membuatnya secara bertahap mundur dari kegiatan mengajar . Idealisme seorang murid yang tercerahkan dengan nilai-nilai asketis, seperti yang digambarkan pada Mahākassapa dan dalam bentuk yang lebih ekstrem pada murid Buddha lainnya Bakkula, dapat mencerminkan perasaan dan kecenderungan di kalangan beberapa kelompok Buddhis awal.[84]
Clarke berargumen bahwa citra Mahākassapa sebagai asketis yang terlepas dari dunia fana adalah cara dia “dibranding” oleh aliran Buddhisme awal kepada publik secara umum.[85] Dengan mempelajari teks-teks Mūlasarvāstivāda tentang disiplin monastik, Clarke mencatat bahwa ada juga perspektif “internal” tentang Mahākassapa, yang menunjukkan bahwa ia sering berinteraksi dengan mantan istrinya yang menjadi bhikkhunī untuk membimbingnya. Tak lama setelah Mahākassapa ditahbiskan oleh Buddha, ia bertemu dengan mantan istrinya, Bhadda, yang telah bergabung dengan kelompok pertapa telanjang yang dipimpin oleh Pūraṇa Kassapa (Sanskerta: Nirgrantha Pūraṇa). Namun, ia sering diganggu oleh sesama pertapa gara-gara kecantikannya.[j] Mahākassapa merasa iba padanya dan meyakinkannya untuk menjadi bhikṣunī Buddha.[k] Meskipun demikian, ia masih sering diganggu, tetapi kini hanya saat keluar rumah. Karena hal ini terjadi saat Bhadda pergi ke desa-desa untuk meminta sedekah, Mahākassapa meminta izin Buddha untuk memberikan setengah dari makanan sedekah yang ia peroleh setiap hari kepadanya, sehingga ia tidak perlu lagi keluar rumah. Tindakan Mahākassapa mendapat kritik dari sekelompok biksu yang disebut Kelompok dari Enam,[l] termasuk Thullatissā. Meskipun para biksu ini dikenal karena perilaku buruk mereka, Clarke berpendapat bahwa kritik mereka kemungkinan mencerminkan “keraguan umum para biksu terhadap mereka yang memiliki kecenderungan asketis”.[m] Menulis tentang Thullatissā, Ohnuma mengatakan bahwa Thullatissā menentang gagasan ketidakmelekatan dan pengorbanan yang umumnya dianjurkan dalam monastik Buddhisme awal, itulah sebabnya ia membenci Mahākassapa dan Bhadda. Ia sering mengkritik Mahākassapa, bahkan ketika ia tidak sedang mempraktikkan ketidakmelekatan asketisnya yang khas.[88] Meskipun demikian, Mahākassapa terus membimbing mantan istrinya, dan dia mencapai arahat setelahnya.[89] Dalam sebuah puisi yang dikaitkan dengannya, dia memuji bakat mantan suaminya, yaitu membagikan visi tentang kebenaran, dan persahabatan spiritual, meskipun Mahākassapa tidak menyebutnya dalam puisinya.[90]
Mahākassapa sering kali dimintai pendapat oleh para biksu terkemuka lainnya mengenai masalah-masalah ajaran. Setelah beberapa guru dari aliran non-Buddhis menanyakan kepada Śāriputra tentang pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, ia berkonsultasi dengan Mahākassapa mengenai alasan mengapa Buddha tidak pernah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.[91] Pada kesempatan lain, Śāriputra berkonsultasi dengannya mengenai upaya-upaya dalam mempraktikkan ajaran Buddha.[83] Mahākassapa juga merupakan guru dan teman keluarga Soṇa-Koṭikaṇṇa (Sanskerta: Śroṇa-Koṭikarṇa), dan kemudian menjadi upajjhāya (Sanskerta: upādhyāya ) baginya [n] Ia mengajarkan Aṭṭhakavagga kepadanya, dan kemudian Śroṇa menjadi terkenal karena melantunkannya.[92]
Aspek lain dari peran Mahākassapa sebagai guru adalah belas kasihnya terhadap orang miskin.[60][93] Banyak catatan menggambarkan bagaimana ia berusaha keras untuk memberi kesempatan kepada para donatur miskin untuk memberi kepadanya dan mendukungnya dalam penghidupan. Para donatur biasanya memberikan makanan bekas kepadanya, yang dalam budaya Brahmanisme pada masa itu dianggap tidak suci. Dengan menerima makanan dari para donatur tersebut, Mahākassapa dianggap sebagai ladang kebajikan bagi mereka, atau dengan kata lain, kesempatan bagi mereka untuk membuat kebajikan dan “menghapus karma buruk mereka”. Dalam satu kasus, ia mencari seorang wanita miskin yang sedang mendekati ajalnya, hanya untuk memberinya kesempatan untuk memberi sedikit. Awalnya ia tidak berani karena merasa kualitas makanan terlalu rendah, tetapi ketika Mahākassapa terus menunggu, wanita itu akhirnya menyadari bahwa ia datang hanya untuknya, dan memberi.
Ahli agama Liz Wilson berargumen bahwa kisah-kisah kedermawanan ini dipengaruhi oleh keyakinan pra-Buddha tentang persembahan Veda, di mana penyembah dan yang disembah saling terhubung, dan persembahan tersebut mengandung sebagian dari diri penyembah. Dengan memberikan sebagian dari diri mereka, para pemberi memperoleh diri baru, dan membersihkan diri mereka melalui penerima monastik. Dalam satu kisah, seorang penderita kusta secara tidak sengaja menjatuhkan jarinya ke dalam mangkuk makanan yang dia persembahkan. Mahākassapa menerima dan memakan persembahan tersebut. Selain itu, Mahākassapa yang lebih memilih agar orang miskin yang melakukan kebajikan sangat terlihat saat ada persembahan dari dewa-dewa atau pedagang kaya yang bersaing dengan orang miskin, di mana Mahākassapa hanya menerima orang miskin sebagai pemberi persembahan.[94] Dalam satu pembicaraan, ia bahkan menasihati para biksu lain untuk tidak mengunjungi “keluarga bangsawan”.[95] Para pemberi dari kalangan miskin yang memberikan sedekah kepada Mahākassapa akan mempunyai kekuatan yang lebih tinggi melalui perbuatan baik mereka. Wilson menyimpulkan, “Para pemberi yang sempurna, di mata Mahakassapa, adalah mereka yang mempunyai lebih sedikit untuk diberikan...”.[o]
Keengganan Mahākassapa menerima persembahan dari orang miskin dan menolak persembahan dari donatur berkedudukan tinggi atau supernatural seperti orang kaya atau dewa-dewi merupakan bagian dari karakter anti-kemapanan yang digambarkan oleh Mahākassapa. Hal ini juga termasuk rambut dan janggutnya yang panjang. Dalam satu teks, penolakan Mahākassapa terhadap donatur berkedudukan tinggi menyebabkan Buddha mengeluarkan aturan bahwa persembahan tidak boleh ditolak.[96]
Remove ads
Penghormatan terakhir kepada Buddha
Ringkasan
Perspektif
Menurut teks Pāli tentang hari-hari terakhir Sang Buddha (Pali: Mahāparinibbāna Sutta), Mahākassapa mengetahui tentang parnibbāna Buddha (Sanskerta: parinirvāṇa; kematian dan pencapaian Nirvāṇa akhir) setelah tujuh hari.[97] Ia sedang beristirahat dalam perjalanan bersama sekelompok biksu di antara Gunung Pāva dan Kusinara ketika bertemu dengan seorang pertapa ājīvika yang membawa bunga mandarava dari pohon karang yang berasal dari surga. Ia bertanya tentang bunga tersebut, dan ternyata seluruh wilayah Kusinara, tempat Buddha wafat, tertutupi oleh bunga tersebut.[98] Menurut beberapa sumber Tibet, Mahākassapa mengetahui kematian Sang Buddha pada saat berada di hutan bambu di Rajagrha karena adanya gempa bumi.[99][100] Mahākassapa saat itu berpikir bahwa raja Ajātaśatru mungkin bisa meninggal karena pendarahan saat mendengar kematian Buddha, sehingga ia memberitahu brahmana Vassakāra yang bekerja di istana dan membuat rencana mengunjunginya agar raja pulih kembali. Baru setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke Kusinara dan sampai tujuh hari kemudian.[99]
Pada saat Sang Buddha wafat, orang-orang Malla dari Kuśinagara telah mencoba menyalakan api untuk melakukan kremasi, tapi api tidak dapat menyala.[101] Teks Pali menyatakan bahwa biksu Anuruddha menjelaskan bahwa para dewa yang hadir mencegah api kremasi dinyalakan karena menunggu sampai Mahākassapa hadir.[101][102][103] Teks-teks Buddhisme Tiongkok abad keenam menyatakan bahwa penundaan tersebut disebabkan oleh kekuatan spiritual Buddha.[104] Setelah tiba, Mahākassapa memberikan “hormat yang mendalam dan lembut” di kaki Sang Buddha. Kaki Sang Buddha secara ajaib muncul dari peti mati, di mana tubuh Buddha dibungkus dengan banyak lapisan kain. Segera setelah ia selesai memberikan penghormatan, api tempat kremasi itu menyala dengan sendirinya, meskipun dalam beberapa versi, Mahākassapa sendiri yang menyalakan api pemakaman dalam peran tradisional India sebagai anak sulung.[p]
Ahli Buddhisme André Bareau (1921–1993) menganggap episode Mahākassapa mengetahui parinirvāṇa Buddha dan menyalakan api kremasi sebagai hiasan yang ditambahkan oleh penulis vinaya pada abad kelima, keempat, dan ketiga SM, untuk menonjolkan sosok Mahākassapa. Bareau berargumen bahwa Mahākassapa tidak hadir dalam kremasi Buddha dalam versi asli, dan bahwa Mahākassapa dapat mengambil rute hanya beberapa jam melalui Pāva ke Kuśinagara.[105] Bagaimanapun, kisah penundaan tersebut menunjukkan betapa dihormatinya Mahākassapa,[33][106] karena ia dianggap sebagai pewaris terpenting ajaran Sang Buddha.[90]
Remove ads
Sidang Buddhis Pertama

Ketika Buddha telah mencapai parinibbāna (kematian), dan ketika Mahākassapa dilaporkan berusia 120 tahun, jumlah murid yang pernah bertemu Buddha atau telah mencapai pencerahan semakin berkurang.[q] Beberapa biksu, di antaranya seorang biksu bernama Pali: Subhadda (Sanskerta: Subhadra), merasa senang karena kini mereka dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan, karena guru mereka, Sang Buddha, tidak lagi ada untuk melarang mereka melakukan apa pun.[10][107] Beberapa teks Tiongkok dan Tibet menyatakan bahwa terdapat “keraguan dan kebingungan” di banyak kalangan murid. [108] Teks Sanskerta Aśokavadāna dan teks Tiongkok Mahāprajñāpāramitāśāstra menyebutkan bahwa banyak murid yang telah mencapai pencerahan ingin berhenti mengajar, meninggalkan keduniawian, dan mencapai parinibbāna. Hal ini membuat Mahākāśyapa khawatir, dan ia berhasil mencegah para muridnya meninggalkan keduniawian.[108]
Menurut teks pasca-kanonik
Ringkasan
Perspektif
Sutra Mahayana
Dalam Sutra Teratai Bab VI (Ramalan Tentang Yang Akan Terjadi),[109] Sang Buddha meramalkan pencerahan sempurna dari murid-muridnya: Mahākassapa, Subhuti, Maha Katyayana, dan Mahamoggallana.
Menurut Buddhisme Zen
Menurut legenda, suatu hari Sang Buddha sedang menyampaikan "Khotbah Bunga" di Puncak Burung Hering, ia menaiki tahtanya, memetik setangkai bunga,[r] dan menunjukkan kepada yang hadir. Tidak seorang pun memahami maknanya, kecuali Mahakasyapa, yang menanggapinya dengan tersenyum. Sang Buddha memilihnya sebagai seseorang yang mengerti sepenuhnya dan merupakan seseorang yang pantas menjadi penerusnya. Sang Buddha kemudian berkata:[110]
Aku memiliki mata Dharma dari doktrin yang benar dan pikiran yang indah akan Nirvana. Bentuk sejati sebenarnya adalah kekosongan dan pintu Dharma yang halus. Semua ini telah aku wariskan kepada Mahakasyapa.
— Karakteristik dan Esensi Ajaran Zen, [110]
Peristiwa tersebut menandai awal dari garis silsilah Ch'an (Zen) dan penerusan guru ke murid yang berlanjut sampai kini. Ada dua-puluh delapan generasi penerus sejak Mahakasyapa sampai kepada Bodhidharma - yang dianggap sebagai Patriak pertama Ch'an (Zen) di Cina. Selanjutnya ajaran Ch'an (Zen) diteruskan lewat jalur tunggal selama lima generasi sampai masa Patriak Keenam, Hui Neng (Hanyu:慧能) (638-713).
Remove ads
Catatan
- (Buswell & Lopez 2013, Bhadra-Kapilānī; Mahāpuruṣalakṣaṇa) Ia memiliki tujuh karakteristik, merujuk pada sumber-sumber Pāli; (Kim 2011, hlm. 135–136) merujuk pada sumber-sumber yang menyatakan ia memiliki tiga puluh.
- Untuk kemelakatan, lihat (Clarke 2014, hlm. 112). Untuk gosip, lihat (Karaluvinna 1965, hlm. 436).
- See (Sanvido 2017, hlm. 343). Untuk simbol kelangsungan, lihat (Adamek 2011, Bodhidharma's Robe) dan (Analayo 2015, hlm. 21).
- Untuk istilah Pāli, lihat (Malalasekera 1937, vol. 2, Mahākassapa). Untuk menjadi penghuni hutan, lihat (Kim 2011, hlm. 131).
- (Buswell & Lopez 2013, Mahākāśyapa) mengatakan bahwa dia berada di urutan kedua setelah Sang Buddha dalam hal ini, sementara (Karaluvinna 1965, hlm. 438) and (Ray 1994, hlm. 113) menyatakan bahwa dia setara dengan Sang Buddha.
- Lihat (Mun-keat 2017, hlm. 303–304) dan (Ohnuma 2013, hlm. 48–49). Untuk periode waktu, lihat (Karaluvinna 2002, hlm. 438).
- Ahli Sri Lanka, Karaluvinna, berhipotesis bahwa Mahākassapa melakukan ini untuk menghilangkan keraguan tentang perannya sebagai pemimpin sangha.(Karaluvinna 1965, hlm. 303–304) Sementara Hecker berpendapat Mahākassapa sedang bahwa Mahākassapa melakukan itu untuk mengingatkan Ānanda agar jangan terlalu jauh mengurusi para bhikkhuni sehingga terlalu melekat pada mereka.(Hecker 2012, hlm. 41)
- Silk mengikuti jejak cendekiawan studi Buddhis Gregory Schopen dalam mencatat perbedaan penting antara kedua murid tersebut terkait jubah Buddha. Sementara Mahākassapa menukar jubahnya dengan jubah Buddha, Ānanda justru meminta, ketika ia menjadi pelayan, agar Sang Buddha tidak pernah memberinya jubah, agar ia tidak dituduh melayaninya demi keuntungan pribadi.[74] Lebih lanjut, selama Sidang Pertama, Ānanda dituduh melakukan pelanggaran karena menginjak jubah Buddha.[75]
- kata-kata dari W. R. S. Ralston, “menikmati kehadirannya (her company) setiap hari.”[86]
- Namun, dalam beberapa catatan, ia baru diordain lima tahun setelah bertemu dengan Buddha, setelah ordo bhikṣunī didirikan.[87]
- (Clarke 2014, hlm. 107, 112–113). Kutipan terdapat di halaman 113.
- (Wilson 2003, hlm. 58, 63, 68). Kutipan ada di halaman 63.
- Untuk catatan dalam bahasa Tionghoa, lihat (Lee 2010). Untuk catatan dalam bahasa Pāli, lihat (Karaluvinna 2002). Untuk putra sulung, lihat (Strong 2007, hlm. 115). Untuk kutipan, lihat (Ray 1994, hlm. 107). Lihat juga (Strong 2001, hlm. 138).
- Untuk jumlah orang yang melihat Buddha yang semakin berkurang, lihat (Powers 2016, hlm. 19). Untuk jumlah orang yang tercerahkan yang semakin berkurang, dan usia Mahākāśyapa, lihat (Karaluvinna 1965, hlm. 440).
- Berdasarkan legenda, bunga yang dimaksud adalah Udumbara, bunga langka seperti yang digambarkan dalam Sutra Teratai
Remove ads
Referensi
Daftar Pustaka
Pranala luar
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads