Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Pemutusan hubungan kerja

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Pemutusan hubungan kerja
Remove ads

Pemutusan hubungan kerja (PHK) atau disebut juga pemecatan adalah pengakhiran hubungan kerja yang disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan.

Thumb
Surat pemutusan hubungan kerja dari manajemen ke karyawan

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Pada bab XII pasal 152 UU ketenagakerjaan disebutkan bahwa permohonan pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan dengan cara melakukan permohonan tertulis yang disertai dengan alasan dan dasar kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menerima dan memberikan penetapan terhadap permohonan tersebut.[1]

Pengusaha/majikan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

  1. Pekerja yang sakit menurut keterangan dokter selama tidak lebih dari 12 bulan secara terus-menerus,
  2. Pekerja sedang memenuhi kewajiban terhadap negara.
  3. Pekerja menjalankan ibadah sesuai agamanya.
  4. Pekerja menikah
  5. Pekerja perempuan yang hamil, melahirkan, menggugurkan kandungan atau menyusui bayi.
  6. Pekerja mempunyai ikatan perkawinan atau pertalian darah dengan pekerja lain di dalam satu perusahaan kecuali disebutlkan dalam peraturan perusahaan.
  7. Pekerja melakukan kegiatan yang terkait dengan serikat buruh di luar jam kerja .
  8. Perbedaanpaham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau satsu perkawinan.
  9. Pekerja sakit atau cacat tetap akibat dari kecelakaan kerja.

Jika pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan alasan-alasan di atas maka pengusaha wajib memperkerjakan kembali karena batal demi hukum.

Bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon sesuai masa kerja.

Remove ads

Prosedur pemutusan hubungan kerja

Ringkasan
Perspektif

Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk menghindari memutuskan hubungan kerja.

Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang sedang dalam masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis, pekerja meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai usia pensiun, dan jika pekerja meninggal dunia.

Pengusaha harus mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata ditemukan tidak adil.

Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan dalam operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka baik pengusaha maupun serikat pekerja dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Remove ads

Aspek hukum dan perlindungan SDM

Peraturan perundang-undangan memberikan batasan substantif dan prosedural terkait PHK (termination of employment) dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Batasan substantif mengatur kondisi di mana PHK dianggap sah atau adil, sedangkan batasan prosedural mengatur kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja saat memulai proses PHK. Karyawan berhak mengetahui alasan PHK dan memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan, yang dapat memengaruhi keputusan akhir. Jika terjadi PHK yang tidak sah, proses hukum dapat berlangsung lama dan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja. Hukum diharapkan memberikan posisi yang setara antara pekerja dan pemberi kerja untuk menciptakan keadilan dalam keputusan PHK[2][3]. Ketentuan dalam kontrak kerja (employment agreement) mengenai PHK sangat penting dan biasanya membedakan antara PHK "beralasan" (for cause) dan PHK tanpa alasan khusus. PHK "beralasan" terjadi jika karyawan melakukan pelanggaran yang cukup berat sehingga pemberi kerja dapat mengakhiri perjanjian kerja[4].

Remove ads

Dampak psikologis dan sosial PHK

PHK merupakan peristiwa yang mendadak, emosional, dan mengubah hidup, yang dapat memicu respons tidak terduga dari karyawan. Kehilangan pekerjaan seringkali menimbulkan stres tinggi, perasaan kehilangan yang mendalam, dan trauma psikologis yang mirip dengan proses berduka. Reaksi psikologis yang umum meliputi depresi, kebingungan, insomnia, kecemasan, isolasi, dan penurunan harga diri, yang juga dapat berdampak pada keluarga karyawan. Pemulihan emosional dan fisiologis sangat penting untuk kesejahteraan individu dan keberhasilan mendapatkan pekerjaan baru[5]. Organisasi harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk memastikan keamanan (security issues) dan kelancaran proses PHK, termasuk wawancara keluar sebagai bagian dari kebijakan keamanan. Hal ini juga mencakup pengelolaan akses email, dokumen, dan sumber daya perusahaan agar tidak disalahgunakan sebelum karyawan meninggalkan perusahaan. Selain itu, perlu dipertimbangkan risiko terhadap keselamatan atau kualitas kerja yang mungkin timbul akibat ketidakpuasan atau kurangnya komitmen dari karyawan yang akan diberhentikan, dan tindakan pencegahan yang sesuai harus diambil[6].

Referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads