Pendidikan di Taiwan
From Wikipedia, the free encyclopedia
Sistem pendidikan di Taiwan merupakan tanggung jawab Kementerian Pendidikan. Pemberlakuan sistem ini menghasilkan para siswa dengan nilai ujian tertinggi di dunia, terutama dalam mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan.[2][3] Presiden sebelumnya, Ma Ying-jeou mengumumkan pada bulan Januari 2011 bahwa pemerintah akan memulai implementasi program wajib belajar 12 tahun secara bertahap pada tahun 2014.[4]
Menteri | Pan Wen-chung |
---|---|
Biaya | NT$ 608.6 billion (US$ 20 billion) |
Bahasa utama | Mandarin, sebagian mata pelajaran dan program dalam Bahasa Hokkien Taiwan, Bahasa Hakka Taiwan, bahasa-bahasa Formosa atau bahasa Inggris |
Jenis sistem | Nasional |
Pendidikan Nasional 12 tahun | September 2019 |
Total | 98.87%[1] |
Laki-Laki | 99.73% |
Perempuan | 97.69% |
Total | 2,153,7172 |
Dasar | 1,676,970 |
Menengah | 1,270,1943 |
Pasca menengah | ā |
Di tahun 2015, para siswa di Taiwan meraih salah satu hasil terbaik di dunia dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan dan literasi, yang diuji oleh Programme for International Student Assessment (PISA), suatu penilaian dunia untuk prestasi siswa berusia 15 tahun berkenaan dengan pendidikannya. Taiwan merupakan salah satu negara OECD yang memiliki prestasi tertinggi dalam kecakapan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan, dengan nilai rata-rata siswa 523,7, dibandingkan dengan rata-rata OECD setinggi 493, yang menempatkannya di peringkat ketujuh di dunia dan memiliki tenaga kerja berpendidikan tertinggi di antara negara-negara OECD.[5][6][7] Meskipun undang-undang saat ini hanya memandatkan sembilan tahun bersekolah, 95 persen lulusan siswa sekolah menengah pertama memasuki sekolah menengah kejuruan, sekolah perdagangan, pendidikan tinggi junior, atau universitas.[8][9]
Di Taiwan, mengikuti paradigma Konfusianisme untuk pendidikan, para orang tua meyakini bahwa menerima pendidikan yang baik merupakan prioritas sangat tinggi bagi keluarga Taiwan dan merupakan tujuan penting dalam kehidupan anak-anak mereka.[10] Banyak orang tua di Taiwan meyakini upaya dan kegigihan lebih berarti daripada bakat bawaan, jika anak-anak mereka ingin menerima nilai lebih baik di sekolah.[11][12] Keyakinan ini juga dipegang oleh para guru dan konselor pembimbing serta sekolah dengan secara rutin memberitahukan prestasi akademik putra-putri mereka secara keseluruhan di sekolah. Banyak orang tua menaruh pengharapan tinggi pada anak-anak mereka, dengan menekankan pencapaian akademik dan secara aktif terlibat dalam kemajuan akademik anak-anak mereka, memastikan anak-anak mereka mencapai nilai tertinggi, dan bersedia melakukan pengorbanan besar, termasuk meminjam uang untuk memasukkan anak mereka hingga universitas.
Karena peranannya dalam mendorong pembangunan ekonomi Taiwan, hasil ujian yang tinggi, dan angka memasuki universtas yang tinggi, sistem pendidikan Taiwan dipuji. Empat puluh lima persen warga negara Taiwan berusia 25 hingga 64 tahun memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi.[13][14] Lebih jauh lagi, sistem pendidikan ini dikritik karena penekanan berlebihan atas hafalan dan tekanan akademik yang berlebihan terhadap siswa. Para siswa di Taiwan menghadapi tekanan sangat besar untuk berhasil secara akademik dari orang tua, guru, kawan sebaya, maupun masyarakat mereka agar dapat menjamin posisi kerja kerah putih yang bergengsi sambil menghindari pendidikan kejuruan, berpikir kritis, dan kreativitas. Dengan sempitnya posisi pekerjaan bergengsi dibanding jumlah lulusan universitas yang jauh lebih besar angkanya, banyak yang dipekerjakan dalam posisi lebih rendah dengan gaji jauh di bawah harapan mereka.[15] Universitas-universitas di Taiwan juga telah dikritik karena tidak mengikuti kecenderungan teknologi dan tuntutan pekerjaan dalam pasar kerja yang bergerak cepat mengacu pada kesenjangan kecakapan yang dikutip oleh sejumlah lulusan universitas yang menilai diri sendiri berpendidikan terlalu tinggi.[16] Sebagai tambahan, pemerintah Taiwan telah dikritik karena merusak perekonomian yang tidak dapat menciptakan lowongan pekerjaan yang cukup untuk mendukung tuntutan sejumlah besar lulusan universitas yang menganggur.[17][18]