Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

A Little Life

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Remove ads

A Little Life adalah novel terbitan 2015 karya penulis Amerika Serikat Hanya Yanagihara.[1] Mengupas persoalan sulit dan ditulis secara panjang, novel ini meraih pujian kritis, termasuk dipilih sebagai Man Booker Prize dan National Book Awards, serta laris terjual.[2][3]

Fakta Singkat Pengarang, Perancang sampul ...

Berlatar di New York City, ceritanya berpusat pada kehidupan empat orang sahabat yang bergulat dengan masalah penyalahgunaan obat, kekerasan seksual, dan depresi.

Remove ads

Struktur

Penceritaan A Little Life berjalan secara kronologis degan selingan kilas balik. Sudut pandang naratif novel bergeser seiring cerita mengalir. Selama pembuka novel, sudut pandang orang ketiga digunakaan untuk menceritakan Jude, Willem, JB, dan Malcolm. Ketika cerita perlahan menyorot Jude, penceritaan semakin terbentuk sepenuhnya dari interaksi setiap karakter dengan Jude dan pengalaman Jude sendiri. Penceritaan juga diselingi oleh narasi orang pertama yang diceritakan oleh Harold yang lebih tua, sembilan tahun di masa depan.


Buku ini terbagi atas tujuh bagian:

  1. Lispenard Street
  2. The Postman
  3. Vanities
  4. The Axiom of Equality
  5. The Happy Years
  6. Dear Comrade
  7. Lispenard Street
Remove ads

Ringkasan plot

Ringkasan
Perspektif

Novel ini berkisah tentang kehidupan empat sahabat: Jude St. Francis, seorang jenius pincang dengan masa lalu misterius; Willem Ragnarsson, seorang pria rupawan dan ramah yang ingin menjadi aktor; Malcolm Irvine, seorang arsitek di firma bergengsi; dan Jean-Baptiste "JB" Marion, pelukis cerdas yang ingin karyanya mendunia. Novel ini menceritakan hubungan mereka yang berubah di bawah pengaruh kesuksesan, kekayaan, kecanduan, and harga diri.

Fokus utama novel adalah pengacara misterius, Jude. Dia menderita kelaianan tulang belakang yang melemahkannya dan memberinya rasa sakit silih berganti pada kakinya. Tanpa sepengetahuan teman-temannya, dia juga sering menyakiti diri sendiri; salah staunya dengan menyayat sehingga Willem membawanya ke Andy Contractor, dokter dan teman kepercayaan Jude. Jelas bahwa ia menderita trauma mental yang melemahkan sedari kecil

Terlepas dari kedekatan dengan teman-temannya, Jude merasa dirinya tidak dapat bercerita detail masa lalunya atau yang dia pikiran sekarang kepada mereka yang menjadi teman sekamarnya. Meski demikian, ia meraih kemajuan dalam pekerjaannya sebagai pengacara, dan dia membangun kedekatan ayah-biu dengan mantan profesornya, Harold, dan sang istri Julia, hingga pasangan itu mengadopsi Julia saat berusia 30 tahun. Meskipun bersyukur, Jude selalu dibayangi masa lalunya sebelum diapdopsi sehingga dia kerap menyakiti diri sendiri, karena merasa diririnya idak layak mendapatkan kasih sayang. Sementara itu, tiga sahabatnya berhasil di bidang mereka masing-masing, dengan Willem menjadi bintang di teater dan film. JB berhasil sebagai seniman, tetapi juga kecanduan sabu-sabu. Mereka mulai mengintervensi Jude, diawali dengan olok-olokan kasar JB atas kepincangan Jude. Terlepas dari penanganan yang berhasil, dan JB meminta maaf berkali-kali tapi Jude tidak memaafkan, Willem juga menolak memaafkannya, mereka akhirnya saling bertikai, hanya Malcolm yang tetap berteman dengan mereka bertiga.

Menjadi jelas bahwa Jude menderita trauma seksual pada masa remaja, membuat dia sulit menjalin hubungan romantis. Temannya dan orang yang dicintainya mulai mempertanyakan pengasingan Jude saat dia memasuki usia empat puluhan, terutama Williem yang kebingungan dengan seksualitas Jude. Rasa kesepian yang terus-menerus membuat Jude terjebak dalam hubungan penuh kekerasan dengan eksekutif mode Celeb, yang tidak nyaman dengan kepincangan Jude dan keseringannya menggunakan kursi roda. Jude akhirnya memutuskan hubungan setelah Caleb memperkosanya, dan mereka bertemu terakhir kali ketika Caleb menyusul Jude ke makan malam bersama Harold, mempermalukannya, dan mengikuti Jude ke apartemennya, berlanjut deengan Caleb memukuli dan memperkosanya dengan brutal, meninggalkannya dalam keadaan hampir mati. Jude tetap menolak melaporkan kejadian itu ke polisi, karena ia merasa pantas menerimanya. Selain Harold, hanya Andy – dokter Jude dan teman kepercayaannya – yang mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan mereka yang kandas.

Meskipun tubuh Jude berhasil sembuh, pemerkosaan menyebabkan dia dibayangi oeh masa kecilnya, ketika dia dibesarkan di sebuah biara dan berulang kali diserang secara seksual oleh saudara laki-lakinya. Dia teringat suatu masa ketika salah satu saudaranya, Luke, membawanya kabur, memaksanya terlibat prostitusi anak selama bertahun-tahun. Setelah dia diselamatkan oleh polisi, Jude ditempatkan dalam perawatan negara, tetapi ia tetap dilecehkan oleh para konselor di sana. Trauma masa kecil yang muncuk setelah putus Caleb membuat Jude memutuskan dia bunuh tapi tapi gagal. Setelah kejadian itu, Willem kembali ke rumah dan mulai tinggal bersamanya. Jude tetap menolak terapi tetapi mulai menceritakan kisah-kisah yang paling tidak traumatis—yang tetap saja dianggap Willem mengganggu dan mengerikan. Tak lama kemudian, mereka menjalin hubungan. Sayangnya, Jude tetap kesulitan untuk membuka diri, dan tidak menikmati hubungan seksual dengan Willem..

Hubungan mereka berlanjut, dengan Willem tidur dengan wanita (dan bukan dengan Jude). Keduanya menjalani hidup yang nyaman bersama, yang terguncang ketika kaki Jude makin memburuk, dan ia terpaksa harus diamputasi. Ia berhasil belajar berjalan lagi dengan prostetik baru, dan pasangan ini memasuki masa dalam hidup mereka yang disebut Willem sebagai "Tahun-Tahun Bahagia". Namun, ketika menjemput Malcolm dan istrinya dari stasiun kereta yang datang berkunjung, Willem terlibat dalam kecelakaan mobil dengan pengemudi mabuk, yang menewaskan mereka. Dengan meninggalnya sahabat karib dan kekasihnya, Jude kembali terjerumus ke dalam kebiasaan merusak diri sendiri, kehilangan berat badan yang sangat banyak sehingga orang-orang yang dicintainya yang masih hidup melakukan intervensi lagi. Meskipun mereka mampu membuatnya menambah berat badan dan mengikuti terapi, depresi dan keputusasaan selama bertahun-tahun terus menimpa Jude, dan ia bunuh diri.

Remove ads

Tema

Ringkasan
Perspektif

Hubungan laki-laki

Fokus utama dari novel ini adalah perkembangan hubungan antara Jude, Willem, JB, Malcolm dan ayah angkat Jude, Harold. Kehidupan Jude secara keseluruhan diliputi oleh para pria yang mencintai dan peduli padanya, orang-orang yang mengeksploitasi dan melecehkannya, serta mereka yang berada di antara kedua kategori tersebut. Hal ini ditunjukkan sejak dia mengikuti Luke ke rumah kaca, serta saat-saat dia tahu bahwa apa yang dia lakukan di kamar motel itu salah, tetapi masih merasakan dedikasi dan cinta untuk Luke karena hingga saat-saat itu dalam hidupnya, dia adalah satu-satunya orang yang bersikap baik padanya. Kehidupan sosial dan emosional setiap karakter pria adalah jalinan yang menyatukan novel ini, membangun sebuah ruang naratif yang memberi petunjuk tentang peristiwa penting yang menjadi latar belakang cerit..[4]

Trauma, pemulihan, dan dukungan

Dalam sebuah artikel yang ditulis untuk New York Magazine, Yanagihara menyatakan bahwa “salah satu hal yang [dia] ingin lakukan dengan buku ini adalah menciptakan tokoh utama yang tidak pernah sembuh... [baginya] untuk memulai dengan sehat (atau terlihat sehat) dan berakhir dengan sakit – baik karakter utama maupun plot itu sendiri."[1] 16 tahun pertama kehidupan Jude, yang diliputi pelecehan seksual, fisik, dan psikologis, terus menghantuinya saat ia memasuki masa dewasa. Traumanya secara langsung memengaruhi kesehatan mental dan fisiknya, hubungan, kepercayaan, dan cara dia melihat dunia. Dia berjuang untuk melalui dampak yang ditimbulkan oleh masa lalu pada tubuh dan jiwanya.

Menulis di The New Yorker, Parul Sehgal menyebut Jude sebagai “salah satu karakter paling terkutuk yang pernah menghitamkan halaman buku”. Dia melanjutkan,

Cerita ini dibangun di atas kepedulian dan pengabdian yang ditunjukkan Jude kepada mereka yang mendukungnya yang berjuang melindunginya dari kecenderungan merusak dirinya sendiri; sungguh, ada bayi yang mungkin iri melihat tingkat pengabdian yang dia berikan. Loyalitas ini bisa terasa memalukan bagi pembaca, yang merasa terpanggil untuk ikut serta, menjadi saksi atas penderitaan Jude yang tak berkesudahan. Mampukah kita begitu saja terlibat secara emosional dengan sosok yang seperti garis kapur berjalan, penjelmaan halaman DSM? Dalam logika alur trauma, cukup hadirkan luka—dan kita akan percaya bahwa ada tubuh, ada manusia, yang telah menanggungnya.[5]

Melukai diri sendiri dan bunuh diri

Ada tindakan menyakiti diri sendiri yang nyata dalam novel ini, yang digambarkan dengan sangat eksplisit, termasuk deskripsi tentang bagaimana Jude melakukannya dan bagaimana perasaannya saat itu. Kesadaran Harold akan hal ini terasa amat menyakitkan[butuh klarifikasi]—bahkan lebih menyakitkan dibandingkan kabar bahwa Jude akhirnya benar-benar meninggal karena bunuh diri. Penyangkalan Harold terhadap kenyataan tidak menyelamatkan dirinya maupun Jude dari penderitaan; sebaliknya, justru memperparah keduanya.[6] Yanagihara sendiri menyatakan bahwa ia tidak percaya pada terapi bicara, dan bahwa “setiap spesialisasi medis lain yang menangani pasien sakit parah mengakui bahwa pada titik tertentu, tugas dokter adalah membantu pasien untuk mati; bahwa ada saat-saat kematian lebih diinginkan daripada kehidupan.”[7]

Remove ads

Tanggapan

Ringkasan
Perspektif

Penerimaan kritis

A Little Life was met with very positive reviews from critics.[2] In 2015, the novel received rave reviews from The New Yorker, The Atlantic and The Wall Street Journal.[8][9][10][11][12] According to Book Marks, the book received a "positive" consensus (or a "A-" from twenty-one critic reviews[13]) based on forty-nine critic reviews: 34 "rave", nine "positive", three "mixed" and three "pan".[14] On the May/June 2015 issue of Bookmarks, the book was scored at four out of five stars. The magazine's critical summary reads: "Richly imagined and written with emotional sensitivity and intelligence, A Little Life – little in no sense of the word – masterfully explores the fragility of all of our existences".[15][16]

In The Atlantic, Garth Greenwell suggested that A Little Life is "the long-awaited gay novel", as "it engages with aesthetic modes long coded as queer: melodrama, sentimental fiction, grand opera. By violating the canons of current literary taste, by embracing melodrama and exaggeration and sentiment, it can access emotional truth denied more modest means of expression".[17]

The New Yorker's Jon Michaud found A Little Life to be "a surprisingly subversive novel – one that uses the middle-class trappings of naturalistic fiction to deliver an unsettling meditation on sexual abuse, suffering, and the difficulties of recovery". He praised Yanagihara's rendering of Jude's abuse, saying it "never feels excessive or sensationalist. It is not included for shock value or titillation, as is sometimes the case in works of horror or crime fiction. Jude's suffering is so extensively documented because it is the foundation of his character". He concluded that the book "can also drive you mad, consume you, and take over your life. Like the axiom of equality, A Little Life feels elemental, irreducible – and, dark and disturbing though it is, there is beauty in it".[8]

In The Washington Post, Nicole Lee described Yanagihara's novel as "a witness to human suffering pushed to its limits, drawn in extraordinary detail by incantatory prose". She wrote that "through insightful detail and her decade-by-decade examination of these people's lives, Yanagihara has drawn a deeply realized character study that inspires as much as devastates. It's a life, just like everyone else's, but in Yanagihara's hands, it's also tender and large, affecting and transcendent; not a little life at all".[18]

Jeff Chu of Vox would "give A Little Life all of the awards". He said that no book he previously read had "captured as perfectly the inner life of someone hoarding the unwanted souvenirs of early trauma – the silence, the self-loathing, the chronic and aching pain" as this one, and found Yanagihara's prose to be "occasionally so stunning" that it would push him "back to the beginning of a paragraph for a second read". As he phrased it, "indeed, A Little Life may be the most beautiful, profoundly moving novel I've ever read. But I would never recommend it to anyone". Chu also said that Yanagihara's descriptions embodied his feelings, citing that "Jude's inability to address his wounds" compelled him to begin to address his own: "his struggle to find his peace emboldened me to try to find mine".[19]

Writing in The Wall Street Journal, Sam Sacks called the story "an epic study of trauma and friendship, written with such intelligence and depth of perception that it will be one of the benchmarks against which all other novels that broach those subjects (and they are legion) will be measured". He said, "what's remarkable about this novel, and what sets it apart from so many books centered on damaged protagonists, is the poise and equanimity with which Ms. Yanagihara presents the most shocking aspects of Jude's life. There is empathy in the writing but no judgment, and Jude's suffering, though unfathomably extreme, is never used to extort a cheap emotional response".[9]

The Los Angeles Times's Steph Cha remarks that "A Little Life is not misery porn; if that's what you're looking for, you will be disappointed, denied catharsis. There are truths here that are almost too much to bear – that hope is a qualified thing, that even love, no matter how pure and freely given, is not always enough. This book made me realize how merciful most fiction really is, even at its darkest, and it's a testament to Yanagihara's ability that she can take such ugly material and make it beautiful".[12]

To NPR contributor John Powers, A Little Life is "shot through with pain", but "far from being all dark"; in fact, it is "an unforgettable novel about the enduring grace of friendship", he concluded.[11] Similarly, in Bustle, Ilana Masad wrote that Yanagihara explored "just what the title implies", which is, "the little bits of the little lives, so big when looked at close up, of four characters who live together in college and keep alive their friendship for decades after", and dubbed the novel "a remarkable feat, far from little in size, but worth every single page".[20]

A notable negative opinion appeared in The New York Review of Books. Daniel Mendelsohn sharply critiqued A Little Life for its technical execution, its depictions of violence, which he found ethically and aesthetically gratuitous, and its position with respect to the representation of queer life or issues by a presumed-heterosexual author.[21] Mendelsohn's review prompted a response from Gerald Howard, the book's editor, taking issue not with Mendelsohn's dislike of the novel but "his implication that my author has somehow, to use his word, 'duped' readers into feeling the emotions of pity and terror and sadness and compassion".[22]

Christian Lorentzen, writing in the London Review of Books, referred to the characters as "stereotypical middle-class strivers plucked out of 1950s cinema".[23] The New York Times book reviewer Janet Maslin also wrote critically of the novel, saying Yanagihara introduces "great shock value into her story to override its predictability".[24] Andrea Long Chu of New York criticized "the masochism [of the book] and its authorial intent", articulating: "Reading A Little Life, one can get the impression that Yanagihara is somewhere high above with a magnifying glass, burning her beautiful boys like ants".[25] Chu later received the Pulitzer Prize for Criticism in 2023 for her article.[26]

Yanagihara appeared on Late Night with Seth Meyers in July 2015 to discuss the book.[27] In 2019, the novel was ranked 96th on The Guardian's list of the 100 best books of the 21st century.[28] In a 2022 review of A Little Life's theatrical adaptation, Naveen Kumar of The New York Times stated that the novel's reputation "has since become more divisive".[29]

Penghargaan

In July 2015, the novel was longlisted for the Man Booker Prize[30] and made the shortlist of six books in September 2015.[31]

Informasi lebih lanjut Year, Award ...
Remove ads

Adaptasi

Ringkasan
Perspektif

The theatre company Toneelgroep Amsterdam debuted Koen Tachelet's adaptation of A Little Life on 23 September 2018 in Amsterdam, Netherlands. Ivo van Hove directed the adaptation, which had a run time of over four hours.[38] Van Hove collaborated with Yanagihara on the script after being given copies of the novel by two friends.[39] Ramsey Nasr played the lead Jude St. Francis in the adaptation, which received generally positive reviews.[40] Theatre critic Matt Trueman wrote that, despite the play's sometime suffocating trauma and violence, it "is van Hove at his best, theatre that leaves an ineradicable mark".[41] The Dutch-language production with English subtitles was shown at the 2022 Edinburgh International Festival,[42] in October 2022 at the Brooklyn Academy of Music,[43] and in March 2023 at the Adelaide Festival.[44]

In August 2020, the theatre company Liver & Lung presented an unofficial musical adaptation of A Little Life in Kuala Lumpur, Malaysia.[45] Seven songs from the album were released on Spotify on 7 January 2022, to celebrate the release of Yanagihara's new novel, To Paradise.[46]

An English-language version of Tachelet's stage adaptation premiered on 14 March 2023 at the Richmond Theatre in South West London, followed by a West End run at the Harold Pinter Theatre and the Savoy Theatre.[47][48] This theatre adaptation was filmed while being performed at the Savoy Theatre, and was released to cinema for a limited time on 28 September 2023.[49]

Remove ads

Referensi

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads