Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Amr bin al-Jamuh

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Remove ads

Amru bin al-Jamuh (Arab: عمرو بن الجموح) (lahir 540 M) adalah sahabat Nabi Muhammad, ia meninggal 3 H pada saat Perang Uhud.[1] Ia seorang dermawan dan berkulit hitam.[2]

Biografi

Ringkasan
Perspektif

Amru bin al-Jamuh adalah seorang pemimpin terkemuka di Madinah dan tokoh terpandang yang berasal dari Bani Salamah, dari kaum Anshar dan dikenal sebagai salah seorang pemimpin dalam kaumnya.[2] Ia merupakan saudara ipar dari Abdullah bin Amru bin Haram karena menikahi Hindun binti Amru, saudari Abdullah.[3]

Pada awalnya ia tidak memeluk agama Islam, ia sangat mempercayai berhala-berhala yang disembahnya. Sejak kedatangan Mus'ab bin Umair banyak dari orang Madinah memeluk Islam tak terkecuali tiga orang anaknya, Mu'awadz, Muadz dan Khalid, serta sahabat sebaya mereka yang bernama Muadz bin Jabal. Mereka Anshar yang mengikuti Bai'at Aqabah.[3]

Ibu mereka pun yang bernama Hindun, turut serta memeluk Islam atas ajakan Mus'ab. Meski demikian, Amru tidak mengetahui tentang keimanan yang telah dianut oleh mereka. Ketiga anak-anaknya sangat menginginkan ayahnya untuk segera memeluk Islam, maka dibuat rencana untuk membuat Amr bin Jamuh memeluk Islam.[2]

Anak-anak dari Amr bin Jamuh bersama teman sebayanya Muadz bin Jabal pada suatu malam memindahkan berhala yang disembahnya ke tempat sampah. Keesokan harinya, Amru sangat marah ketika mendapati patung tersebut hilang. Setelah mencarinya, ia menemukan Manaf teronggok di dalam tempat sampah. Dia pun marah besar dan berkata: "celaka kalian siapa yang menyerang Tuhan Tuhan kita tadi malam".[3]

Ia kemudian mengambil patung itu dan memandikannya, membersihkannya, bahkan meminyakinya dengan wangi-wangian. Namun, kejadian ini terus berulang selama beberapa malam. Amru tetap mengangkat dan membersihkan patung itu setiap kali ditemukan di tempat yang hina.

Kejadian ini pemindahan berhala terjadi berulang-ulang, hingga membuat Amr bin Jamuh kesal. Ia pun akhirnya ia mengambil pedangnya dan mengalungkan di leher Manaf dan bertanya kepada berhalanya.

Thumb
Pemakaman Uhud di depan Bukit Uhud

"Apabila kamu memang berkuasa maka belalah dirimu sendiri, akan Aku persenjatai dengan pedang?"

Hingga pada suatu malam, patung Manaf ditemukan dalam keadaan lebih mengenaskan—terikat bersama bangkai seekor anjing. Saat itulah kemarahan dan kegalauan Amru mencapai puncaknya. Beberapa tokoh Madinah yang telah masuk Islam pun datang menemuinya. Mereka mengajak Amru berpikir secara logis dan membimbingnya untuk merenungi bahwa Ilah (Tuhan) yang sejati bukanlah patung mati yang bahkan tak bisa membela dirinya sendiri.

Mereka juga mengingatkan tentang Nabi Muhammad ﷺ yang dikenal karena kejujurannya, serta tentang Islam yang datang sebagai petunjuk untuk membebaskan manusia dari belenggu syirik dan kebodohan. Kata-kata mereka menembus hati Amru. Ia pun segera membersihkan diri, berdandan rapi, dan datang menghadap Rasulullah ﷺ untuk menyatakan keislamannya.

Remove ads

Setelah Masuk Islam

Ringkasan
Perspektif

Setelah memeluk Islam, sifat dermawan dan pemurah Amru semakin bersinar. Ia membaktikan seluruh hartanya demi kemajuan Islam dan kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada kaum Bani Salamah, "Siapa pemuka kalian, wahai Bani Salamah?" Mereka menjawab, “Al-Jadd bin Qais, tetapi dia pelit.” Maka Nabi bersabda, “Penyakit apa yang lebih buruk daripada pelit! Pemuka kalian yang sebenarnya adalah Al-Jadd Al-Abyadh: Amru bin Al-Jamuh.”

Kesaksian dari Rasulullah ini merupakan penghargaan luar biasa bagi Amru. Seorang penyair Anshar pernah berkata:

"Beliau angkat Amru bin Al-Jamuh sebagai pemimpin karena kedermawanannya,

Dan pantaslah ia menjadi pemimpin dengan segala kebaikannya.

Jika ada yang meminta kepadanya, ia habiskan hartanya,

Sambil berkata, ‘Ambillah, karena ia akan kembali esok hari.’”

Namun, pengabdian Amru tidak hanya terbatas pada harta. Ia juga sangat ingin mempersembahkan jiwanya di jalan Allah. Meski ia memiliki cacat pada kakinya, semangat jihad dalam dirinya membara. Ia memiliki empat orang putra yang semuanya turut serta dalam jihad bersama Rasulullah ﷺ. Ketika Perang Badar hendak dimulai, ia memohon izin untuk ikut, tetapi Rasulullah ﷺ, atas permintaan anak-anaknya, menyarankan agar ia tetap tinggal karena ketidakmampuannya secara fisik.

Remove ads

Kematian

Ringkasan
Perspektif

Dalam Pertempuran Uhud, ia ia kembali memohon kepada Nabi Muhammad agar diizinkan ikut berperang seraya berkata, “Wahai Rasulullah, anak-anakku berusaha menahanku untuk tidak ikut berperang bersamamu. Demi Allah, aku berharap dapat menginjakkan kaki pincangku ini di surga.” Mendengar keikhlasannya, Nabi ﷺ pun akhirnya mengizinkannya.[3]

Dalam pertempuran ini, ia diizinkan berperang untuk keinginannya memperoleh mati syahid. Sebelumnya ia memang berdoa agar dalam pertempuran ini ia dapat memperoleh mati syahid dan tidak dikembalikan kepada keluarganya. “Ya Allah, karuniakanlah kesyahidan kepadaku, jangan Engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan sia-sia."[2]

Dalam pertempuran yang sengit di Uhud, Amru bin Al-Jamuh bertempur bersama anak-anaknya. Ia maju ke medan laga dengan tertatih, tetapi setiap langkah pincangnya seolah diiringi satu tebasan yang menjatuhkan musuh.[3] Diakhir pertempuran, ia memperoleh mati syahid. Ia dimakamkan dalam satu kuburan dengan Abdullah bin Amr bin Haram, karena keduanya adalah sahabat dekat.

Istrinya, Hindun bint Amr (bibi Jabir ibn Abdullah) datang untuk mengambil jenazah suaminya dan jenazah saudaranya, Abdullah bin Amr bin Haram. Atas perintah Nabi jenazah Amr bin al-Jamuh dan jenazah Abdullah bin Amr dimakamkan dalam satu liang lahat. Beliau berkata, “Kuburlah mereka berdua dalam satu kuburan! Sungguh keduanya saling mencintai dan bersahabat di dunia. Demi Zat yang menguasai jiwaku,sungguh aku telah melihatnya menjejakkan kaki pincangnya disurga."[2]

Jasadnya Utuh

Empat puluh enam tahun kemudian, ketika terjadi banjir besar yang merusak lokasi pemakaman para syuhada Uhud, jasad keduanya digali untuk dipindahkan. Betapa terkejutnya para sahabat saat menyaksikan tubuh mereka masih utuh, seperti orang yang sedang tidur, tidak berubah sedikit pun meski telah terkubur puluhan tahun.[3] Jabir bin Abdullah, putra dari Abdullah bin Amru, menyaksikan langsung jasad ayahnya dan jasad Amru bin Al-Jamuh, suami dari bibinya. Keduanya masih dalam keadaan tersenyum, seakan baru saja dipanggil Allah dalam keadaan ridha dan diridhai.[3]

Kisah Amru bin Al-Jamuh menjadi bukti bahwa petunjuk Allah dapat menyinari siapa saja, kapan saja. Meski semula tenggelam dalam tradisi syirik, ia bangkit menjadi sahabat mulia yang mewakafkan seluruh hidupnya untuk Islam. Dari tangan, harta, hingga nyawanya—semua ia persembahkan untuk Rabbul ‘Alamin.[3]

Remove ads

Lihat pula

Referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads