Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Kebaikan
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Dalam sebagian besar konteks, konsep tentang kebaikan menandakan perilaku yang hendaknya diutamakan ketika seseorang dihadapkan pada pilihan di antara berbagai kemungkinan tindakan. Kebaikan umumnya dianggap sebagai kebalikan dari kejahatan. Makna spesifik dan etimologi dari istilah ini, beserta terjemahannya dalam bahasa-bahasa kuno maupun kontemporer, menunjukkan keragaman yang mendalam dalam hal infleksi dan pemaknaannya, bergantung pada situasi tempat dan sejarah, ataupun konteks filosofis dan religius.

Remove ads
Sejarah pemikiran Barat
Ringkasan
Perspektif
Setiap bahasa memiliki kata yang mengungkapkan baik dalam pengertian "memiliki kualitas yang benar atau didambakan" (ἀρετή) dan buruk dalam pengertian "tidak diinginkan". Sebuah rasa akan penilaian moral dan pembedaan antara "benar dan salah, baik dan buruk" merupakan universal budaya.[1]
Plato dan Aristoteles

Kendati sejarah mengenai asal usul penggunaan konsep dan makna "baik" sangatlah beragam, diskusi-diskusi terkemuka dari Plato dan Aristoteles mengenai subjek ini telah memberikan dampak historis yang signifikan. Referensi pertama yang terlihat dalam Republik karya Plato mengenai Bentuk Kebaikan terdapat dalam percakapan antara Glaucon dan Sokrates (454c–d). Ketika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit perihal definisi keadilan, Plato menegaskan bahwa kita tidak boleh "memperkenalkan setiap bentuk perbedaan dan persamaan di alam", melainkan kita harus berfokus pada "satu bentuk persamaan dan perbedaan yang relevan dengan cara hidup tertentu itu sendiri", yakni bentuk Kebaikan. Bentuk ini adalah landasan untuk memahami segala bentuk lainnya; inilah yang memungkinkan kita untuk memahami segala sesuatu yang lain. Melalui percakapan antara Sokrates dan Glaucon (508a–c), Plato menganalogikan bentuk Kebaikan dengan matahari, karena mataharilah yang memungkinkan kita melihat benda-benda. Di sini, Plato menjabarkan bagaimana matahari memungkinkan penglihatan. Namun, ia membuat pembedaan yang sangat penting: "matahari bukanlah penglihatan", melainkan "penyebab dari penglihatan itu sendiri". Sebagaimana matahari berada di alam kasat mata, bentuk Kebaikan berada di alam inteligibel (alam yang dapat dipahami akal budi). Ia adalah "apa yang memberikan kebenaran pada hal-hal yang diketahui dan daya untuk mengetahui kepada yang mengetahui". Ia bukan hanya "penyebab pengetahuan dan kebenaran, ia juga merupakan objek pengetahuan". Plato menguraikan bagaimana bentuk Kebaikan memungkinkan kesadaran untuk memahami konsep-konsep rumit seperti keadilan. Ia mengidentifikasi pengetahuan dan kebenaran sebagai hal yang penting, namun melalui Sokrates (508d–e) ia berkata, "kebaikan jauh lebih berharga". Ia kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa "meskipun kebaikan bukanlah keberadaan", ia "lebih unggul darinya dalam pangkat dan kuasa", ialah yang "menyediakan pengetahuan dan kebenaran" (508e).[2]
Berbeda dengan Plato, Aristoteles membahas Bentuk Kebaikan dengan nada kritis beberapa kali dalam kedua karya etika utamanya yang masih bertahan, Eudemia dan Etika Nikomakea. Aristoteles berargumen bahwa Bentuk Kebaikan Plato tidak berlaku pada dunia fisik, sebab Plato tidak menyematkan "kebaikan" pada apa pun di dunia yang ada ini. Karena Bentuk Kebaikan Plato tidak menjelaskan peristiwa di dunia fisik, manusia tidak memiliki alasan untuk percaya bahwa Bentuk Kebaikan itu ada, dan dengan demikian Bentuk Kebaikan menjadi tidak relevan bagi etika manusia.[3]
Plato dan Aristoteles bukanlah penyumbang pertama di Yunani kuno dalam studi tentang "kebaikan", dan diskusi yang mendahului mereka dapat ditemukan di antara para filsuf pra-Sokrates. Dalam peradaban Barat, makna dasar dari κακός dan ἀγαθός adalah "buruk, pengecut" dan "baik, berani, cakap", dan makna absolutnya baru muncul sekitar tahun 400 SM, dengan filsafat pra-Sokrates, khususnya Demokritus.[4] Moralitas dalam pengertian absolut ini mengkristal dalam dialog-dialog Plato, bersamaan dengan kemunculan pemikiran monoteistik (terutama dalam Euthyphro, yang merenungkan konsep kesalehan (τὸ ὅσιον) sebagai suatu kemutlakan moral). Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut pada Zaman Kuno Akhir oleh kaum Neoplatonis, Gnostik, dan Bapa Gereja.
Remove ads
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads