Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Muhammad bin al-Hanafiyah

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Muhammad bin al-Hanafiyah
Remove ads

Abul Qasim Muhammad bin al-Hanafiyah (bahasa Arab: أبو القاسم محمد بن الحنفية), atau nama aslinya Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,[1] adalah salah seorang anak dari Ali bin Abi Thalib.[2] Ibunya adalah Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah, wanita berkulit hitam, sebagai tawanan dari Pertempuran Yamamah[3], yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah az-Zahra putri Nabi Muhammad.[2]

Fakta Singkat al-Imam as-SayyidMuhammad bin al-Hanafiyah, Nama asal ...

Muhammad bin Ali lahir sekitar tahun 642 di Madinah, yaitu pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.[1] Muhammad bin al-Hanafiyah juga dikenal dengan nama Muhammad al-Akbar.[4]

Remove ads

Biografi

Ringkasan
Perspektif

Abu Ashim An-Nabil berkata,"Muhammad bin Ali menyerang Marwan bin Hakam pada waktu perang Jamal dan dia duduk di atas dadannya."[3]

Ketika sampai berita kematian Mu'awiyah ke Madinah saat itu Al Husain, Ibnu Al Hanafiyah dan Ibnu Az-Zubair berada di Madinah, sedangkan Ibnu Abbas saat itu berada di Makkah. Maka Al Husain dan Ibnu Az-Zubair pergi ke Makkah, sedangkan Ibnu Al Hanafiyah tetap tinggal di Madinah. Ketika dia mendengar bala tentara sudah dekat -saat perang Al Harrah-, dia segera pergi ke Madinah dan tinggal di sana bersama Ibnu Abbas. Pada saat Yazid meninggal, Ibnu Az-Zubair dibai'at dan dia mengajak keduanya (lbnu Yazid dan lbnu AI Hanafiyyah) untuk membai'atrya, sehingga keduanya berkata, 'Tidak, sampai kamu dapat menyatukan negaramu'. Oleh karena itu, Ibnu Az-Zuban kadang keras dan kadang lunak kepada mereka berdua.[3]

Kepemimpinannya dalam Bani Hasyim

Setelah terbunuhnya Husain bin Ali dalam Peristiwa Karbala, Muhammad bin al-Hanafiyah muncul sebagai tokoh utama kelompok keluarga Ali dalam memperjuangkan Klaim Kepemimpinan atas Umat Islam. Ibnu al-Hanafiyah didukung oleh Al-Mukhtar ats-Tsaqafi dan para pengikutnya, yang terutama berada di Kufah, Irak, dalam menghadapi kelompok-kelompok Khawarij (di Yaman), Bani Umayyah (di Syam dan Mesir), serta Abdullah bin Zubair (di Hijaz dan Irak).

Ketika Bani Umayyah akhirnya dapat mengatasi perlawanan kelompok-kelompok lainnya, termasuk Al-Mukhtar ats-Tsaqafi yang terbunuh pada tahun 687 kelompok Kaisaniyah secara teknis melemah. Akhirnya Ibnu al-Hanafiyah mengakui kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah pada tahun 692. "Ketika Muhammad bin Ali menghadap Khalifah Abdul Malik bin Mawran, dia berkata kepadanya, 'lngatkah hari ketika kamu duduk di atas dada Marwan?' Dia menjawab, 'Maaf wahai Amirul Mukminin'. Abdul Malik berkata, 'Demi Allah, aku mengingatkannya kepadamu bukan berarti aku ingin menuntutnya kepadamu, tetapi aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku mengetahuinya'."[3] Selanjutnya ia menjauhi politik hingga wafatnya di Madinah sekitar tahun 700 M.

Setelah Abdullah bin Zubair terbunuh oleh Hajjaj, lalu Muhammad bin al-Hanafiyah melakukan perjalanan ke Kufah dan ke Madinah jatuh sakit lalu wafat pada 80/81 H. Setelah wafatnya ia dianggap sebagai Imam Mahdi oleh kelompok Kaisaniyyah,[5][6] salah suatu aliran Syiah awal yang kemudian menghilang pada akhir abad ke-8 M seiring bangkitnya kekuasaan Bani Abbasiyah.[6] Muhammad bin Ali al-Abbasi telah mengklaim mengambil alih hak kepemimpinan kelompok ini melalui pemberian hak itu dari putra sulung Ibnu al-Hanafiyah padanya di Hamimah dan mengembangkannya menjadi gerakan revolusi yang menjatuhkan Marwan al-Himar.

Keluarga

Muhammad bin al-Hanafiyah mempunyai dua anak, yaitu Abu Hasyim dan al-Hasan.[7] Abu Hasyim diangkat sebagai penerus kepemimpinan ayahnya oleh kelompok Syi'ah Kaisaniyah, sedangkan Al-Hasan bersikap sebagaimana aliran Murji'ah yang tidak berpihak pada kelompok manapun.[8]

Remove ads

Lihat pula

Referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads