Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Daftar bangunan dan struktur kolonial di Jakarta

artikel daftar Wikimedia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Daftar bangunan dan struktur kolonial di Jakarta
Remove ads

Bangunan dan struktur kolonial di Jakarta mencakup bangunan-bangunan yang didirikan selama masa kolonial Belanda di Indonesia. Periode (dan gayanya) yang menggantikan periode sebelumnya ketika Jayakarta/Jacatra, yang dikuasai Kesultanan Banten, dihancurkan sepenuhnya dan digantikan oleh kota dinding Batavia.[1] Gaya yang mendominasi masa kolonial dapat dibagi menjadi tiga periode: Zaman Keemasan Belanda (abad ke-17—akhir abad ke-18), periode gaya transisi (akhir abad ke-18—abad ke-19), dan modernisme Belanda (abad ke-20). Arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dapat ditemui di gedung-gedung seperti rumah atau villa, gereja, gedung pemerintahan, dan perkantoran di kota administratif Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Thumb
Jayakarta sekitar 1605–8, sebelum dihancurkan oleh Belanda, menampilkan struktur-struktur awal pra-kolonial sebelum Batavia didirikan.

Berikut adalah daftar bangunan dan struktur kolonial yang ditemukan di Jakarta. Daftar ini diurut berdasarkan abjat sesuai nama resminya. Bangunan yang direnovasi habis sampai mengalami perubahan bentuk dimasukkan ke daftar terpisah agar mudah dibedakan.

Sejumlah bangunan bergaya Cina dan masjid yang dibangun sepanjang periode ini turut dimasukkan sebagai perbandingan.

Remove ads

VOC (abad ke-17—akhir abad ke-18)

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Peta Batavia menunjukkan transformasi perlahan dari Jayakarta ke Batavia.

Jenis arsitektur kolonial pertama berkembang dari permukiman-permukiman pertama Belanda pada abad ke-17, masa ketika permukiman umumnya dikelilingi dinding yang melindunginya dari serangan saingan dagang Eropa atau pemberontakan pribumi. Setelah Jayakarta (sebelumnya bernama Sunda Kelapa) dikepung dan dihancurkan oleh Belanda tahun 1619, Belanda memutuskan agar kantor pusat Vereenigde Oostindische Compagnie dibangun di sini. Simon Stevin ditugaskan untuk merancang tata permukiman masa depan berdasarkan konsep 'kota ideal'-nya. Hasilnya adalah kota persegi berdinding yang dibelah Sungai Ciliwung. Sungai tersebut dialihkan ke sebuah kanal lurus (kelak disebut Grote Rivier atau Kali Besar). Kota baru ini diberi nama Batavia (sekarang Jakarta). Sesuai model Stevin, benteng Batavia adalah bangunan paling mencolok di kota ini dan melambangkan pusat kekuatan, sedangkan balai kota, pasar, dan bangunan umum lainnya tersebar-sebar. Tata kota Jakarta yang ini bisa dilihat di Kota Tua Jakarta melalui penataan jalanan dan kanal-kanalnya, meski banyak struktur asli abad ke-17 sudah dihancurkan atau digantikan oleh struktur baru abad ke-20.[2]

Gaya arsitektur periode ini adalah versi tropis dari arsitektur Belanda abad ke-17. Fitur-fitur yang lazim ditemukan adalah jendela sash tinggi Belanda dengan penutup ganda,[2] atap gabel,[2] dan dinding berwarna putih koral (berbeda dengan arsitektur bata terbuka di Belanda). Jakarta pada periode awal ini memiliki bangunan-bangunan yang dibangun dengan struktur tertutup, struktur yang sangat tidak ramah iklim tropis dibandingkan dengan arsitektur periode selanjutnya di Jakarta.[2] Contoh bangunannya terdapat di sepanjang Tygersgracht (sekarang Jalan Muka Timur); semuanya sudah dihancurkan.[2] Contoh terbaik yang masih ada adalah Toko Merah.

Sejumlah arsitektur kolonial Portugal juga berdiri, biasanya di luar dinding kota Batavia. Gereja Tugu dan Gereja Sion, dengan fasada polos dan jendela kubahnya, adalah contoh bangunan yang tersisa.

Pada tahun 1808, Daendels secara resmi memindahkan pusat kota ke selatan karena kondisi kota terdalam yang memburuk dan wabah malaria. Akibatnya, banyak bangunan dan struktur dari periode ini terbengkalai. Karena masalah keuangan, banyak bangunan dirobohkan pada abad ke-19 dan reruntuhannya dipakai untuk membangun struktur baru di selatan, seperti Istana Gubernur Jenderal Daendels (sekarang Departemen Keuangan Indonesia) dari reruntuhan Kastil Batavia, dan Batavia Theatre (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dari reruntuhan Spinhuis.

Selanjutnya, tanah-tanah kosong di Kota Tua dimanfaatkan oleh struktur-struktur baru abad ke-20. Struktur abad ke-17-18 yang tersisa dijadikan warisan budaya Jakarta, misalnya Toko Merah, Gereja Sion, dan Museum Sejarah Jakarta.

Gaya arsitektur dominan lainnya pada masa ini adalah rumah-rumah pedagang Cina yang kebanyakan dibangun pada abad ke-18. Sebagian besar struktur tersebut dipengaruhi gaya Belanda dan Cina.[2]

Informasi lebih lanjut Nama resmi terakhir, Nama sebelumnya ...
Remove ads

Kolonialisme (akhir abad ke-18—1870

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Peta Batavia tahun 1840. Banyak villa berdiri di selatan Batavia tua.

Setelah VOC resmi dibubarkan tahun 1800, Republik Batavia menyatukan semua klaim wilayah VOC menjadi satu koloni terpadu bernama Hindia Belanda. Dari markas regional perusahaan, Batavia berubah menjadi ibu kota koloni ini. Pada tahun 1808, Daendels memindahkan pusat Kota Tua ke dataran tinggi di selatan dan mengurbanisasi wilayah Weltevreden. Selama periode interregnum di Britania Raya, Daendels digantikan oleh Raffles yang berkuasa sampai 1816.

Setelah Belanda memperkuat keberadaannya di kawasan ini, kota-kota berdiri di luar dinding benteng.[2] Batavia, bersama Semarang dan Ujung Pandang, menjadi pusat-pusat kota terpenting.[2] Saat itu, Batavia menjadi padat dan pedagang-pedagang kaya dan pejabat penguasa mulai membangun tempat tinggal di pinggir kota dan pedesaan sekitarnya.[2]

Pada periode ini, adaptasi iklim tropis secara perlahan memengaruhi sebagian arsitektur kolonial Belanda. Bentuk arsitektur baru ini disebut the Indies. Gaya yang lazim dijumpai pada masa ini adalah atap menjorok besar, atap dan loteng tinggi, dan teras depan-belakang terbuka menghadap kebun. Gaya Indies dideskripsikan sebagai campuran pengaruh Indonesia, Cina, dan Eropa. Gaya atap limasan Jawa sering dipakai dan ditambahi elemen-elemen arsitektur Eropa abad ke-19 seperti kolom Tuscan, pintu, jendela, dan tiga atau empat anak tangga ke beranda yang mengelilingi rumah.[2]

Neoklasikisme adalah gaya bangunan populer di Jakarta pada masa ini dan dianggap berhasil mewakili besarnya kekuasaan Belanda.[26]

Informasi lebih lanjut Nama resmi terakhir, Nama sebelumnya ...
Remove ads

Pasca penghapusan Cultuurstelsel (1870—pertengahan abad ke-20)

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Peta Batavia tahun 1897

Penghapusan Cultuurstelsel tahun 1870 mengawali perkembangan cepat perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda. Sejumlah perusahaan dagang dan institusi keuangan didirikan di Jawa, kebanyakan di Batavia. Struktur-struktur Kota Tua yang memburuk, biasanya di pinggir Kali Besar, digantikan oleh perkantoran. Perusahaan-perusahaan swasta ni memiliki atau mengelola perkebunan, ladang minyak, dan tambang. Stasiun kereta api mulai dirancang dengan gaya periode ini..[2]

Secara arsitektur, neoklasikisme digantikan oleh neogothik dan Rasionalisme Belanda. Gaya arsitektur yang tampak adalah Nieuwe Kunst (contohnya Bank Tabungan Negara), Art Deco atau De Stijl, dan Amsterdam School. Gaya-gaya arsitektur ini merupakan versi tropis dari gaya aslinya, sehingga memunculkan gaya baru bernama the Indies.

Dua biro arsitek utama pada masa ini adalah AIA Bureau (Frans Ghijsels) dan AA Fermont and Cuypers Bureau (Eduard Cuypers).[2]

Kolonade wajib dibangun pada masa ini sebagai bentuk perlindungan terhadap hujan monsun dan sinar matahari tropis yang kemudian mengubah tampilan bangunan di pusat kota.[2]

Gaya kolonial di Jakarta menghilang sekian tahun kemudian pasca-pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942 dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Informasi lebih lanjut Nama resmi terakhir, Nama sebelumnya ...
Remove ads

Catatan dan referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads