Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Kekhalifahan Fathimiyah

Kekhalifahan Islam Arab-Syiah (909-1171) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Kekhalifahan Fathimiyah
Remove ads

Fathimiyah, atau al-Fāthimiyyūn (bahasa Arab: الفاطميون, translit. al-Fāthimiyyūn) adalah kekhalifahan Syiah Isma'iliyah yang berdiri sejak abad kesepuluh hingga kedua belas Masehi. Dinasti ini mencakup wilayah yang luas di Afrika Utara, mulai dari Samudera Atlantik di barat hingga Laut Merah di timur. Dinasti Fathimiyah, sebuah dinasti asal Arab, menelusuri nenek moyang mereka hingga putri Nabi Muhammad, Fatimah dan suaminya, 'Ali bin Abi Thalib. Khalifah Fathimiyah diakui sebagai imam yang sah oleh berbagai komunitas Isma'ili (Ismail bin Ja'far Shadiq) serta oleh denominasi di banyak negeri Muslim lain dan wilayah sekitarnya.[1][2] Berasal pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Fatimiyah menaklukkan Ifriqiyah (Tunisia) dan mendirikan kota al-Mahdiyya. Dinasti Ismaili menguasai wilayah di sepanjang pantai Mediterania Afrika dan akhirnya menjadikan Mesir sebagai pusat kekhalifahan. Pada puncaknya, kekhalifahan mencakup—selain Mesir—berbagai wilayah di Maghreb, Sudan, Sisilia, Levant, dan Hejaz.

Fakta Singkat Kekhalifahan Fatimiyah الخلافة الفاطميةAl-Khilafah al-Fāṭimīyah, Ibu kota ...

Antara tahun 902 dan 909, fondasi negara Fathimiyah terwujud di bawah pimpinan da'i (pendakwah) Abu Abdallah, yang penaklukannya atas Aghlabiyyah Ifriqiyah dengan bantuan pasukan Kutama membuka jalan bagi pembentukan Khilafah.[3][4][5] Setelah penaklukan, Abdullah al-Mahdi Billah diambil kembali dari Sijilmasa dan kemudian diterima sebagai Imam gerakan, menjadi Khalifah pertama dan pendiri dinasti pada 909.[6][7] Pada 921, kota al-Mahdiyya ditetapkan sebagai ibu kota. Pada 948, mereka memindahkan ibu kota mereka ke al-Mansuriyya, dekat Kairouan (Tunisia). Pada 969, pada masa pemerintahan al-Mu'izz, mereka menaklukkan Mesir, dan pada 973, kekhalifahan dipindahkan ke ibu kota Fathimiyah yang baru didirikan di Kairo. Mesir menjadi pusat politik, budaya, dan agama kekaisaran dan mengembangkan budaya Arab baru dan "asli".[8] Setelah penaklukan awalnya, kekhalifahan sering mengizinkan toleransi beragama terhadap sekte Islam non-Syiah, serta terhadap Yahudi dan Kristen.[9] Namun, para pemimpinnya tidak membuat banyak kemajuan dalam membujuk penduduk Mesir untuk mengadopsi kepercayaan agamanya.[10]

Setelah masa pemerintahan al-'Aziz dan al-Hakim, pemerintahan panjang al-Mustansir mengukuhkan rezim di mana khalifah tetap menjauh dari urusan negara dan wazir mengambil kepentingan yang lebih besar.[11] Fraksionalisme politik dan etnis dalam militer menyebabkan perang saudara pada tahun 1060-an, khusuhnya dengan faksi sunni[12], yang mengancam kelangsungan hidup kekaisaran.[13] Setelah masa kebangkitan selama masa jabatan wazir Badr al-Jamali, kekhalifahan Fathimiyah menurun dengan cepat selama akhir abad ke-11 dan kedua belas.[13] Selain kesulitan internal, kekhalifahan tersebut melemah akibat masuknya bangsa Turki Seljuk ke Suriah pada tahun 1070-an dan kedatangan Tentara Salib di Levant pada tahun 1097.[14] Pada tahun 1171, Salahuddin menghapuskan kekuasaan dinasti tersebut dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah, yang memasukkan kembali Mesir ke dalam lingkup otoritas nominal Kekhalifahan Abbasiyah.[15][16]

Remove ads

Nama

Dinasti Fathimiyah mengklaim keturunan dari Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Dinasti ini melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Muhammad melalui putrinya dan suaminya Ali bin Abi Thalib, Imam Syiah pertama, maka nama dinasti ini adalah Fāṭimiyy (bahasa Arab: فَاطِمِيّ), kata sifat relatif bahasa Arab untuk "Fāṭima".[17][18][4][5]

Untuk menekankan garis keturunan Ali, dinasti ini menamakan dirinya sendiri dengan sebutan 'Dinasti Ali' (al-dawla al-alawiyya),[19] namun banyak sumber Sunni yang memusuhi mereka hanya menyebut mereka sebagai Ubaydi (Banu Ubayd), yang diambil dari bentuk kecil Ubayd Allah untuk nama khalifah Fathimiyah pertama.[19]

Remove ads

Kebangkitan Fatimiyah

Ringkasan
Perspektif

Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibu kotanya dipindahkan ke Kairo, setelah tiga kali upaya percobaan gagal karena dikalahkan pasukan Abbasiyah dalam 10 tahun.[20]

Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Pada masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudra Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.

Fatimiyah didirikan pada 909 oleh Abdullah al-Mahdi Billah, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalur Fāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah".

Thumb
Dinar Fatimiyah.

Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibu kota yang dibangun di Tunisia.

Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibu kota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan pada munculnya planet Mars pada periode Khalifah keempat[20] al-Muiz. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.

Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).

Remove ads

Masyarakat

Ringkasan
Perspektif

Komunitas Beragama

Masyarakat Fatimiyah sangat pluralistik. Syi'ah Ismailiyah adalah agama negara dan istana khalifah, namun sebagian besar penduduknya menganut agama atau denominasi yang berbeda. Sebagian besar penduduk Muslim tetap Sunni, dan sebagian besar penduduk tetap beragama Kristen. Orang Yahudi adalah minoritas yang lebih kecil. Seperti dalam masyarakat Islam lainnya pada masa itu, non-Muslim diklasifikasikan sebagai dzimmi, sebuah istilah yang menyiratkan pembatasan dan kebebasan tertentu, meskipun keadaan praktis dari status ini bervariasi dari konteks ke konteks. Para ahli umumnya sepakat bahwa, secara keseluruhan, pemerintahan Fatimiyah sangat toleran dan inklusif terhadap komunitas agama yang berbeda. Tidak seperti pemerintah-pemerintah Eropa Barat pada masa itu, kemajuan dalam jabatan-jabatan negara Fatimiyah lebih bersifat meritokratis daripada turun-temurun. Anggota aliran Islam lainnya, seperti Sunni, mempunyai kemungkinan yang sama untuk diangkat ke jabatan-jabatan pemerintahan seperti halnya kaum Syiah. Toleransi diperluas ke non-Muslim, seperti Kristen dan Yahudi, yang menduduki tingkat tinggi dalam pemerintahan berdasarkan kemampuan, dan kebijakan toleransi ini memastikan aliran uang dari non-Muslim untuk membiayai pasukan besar Mamluk yang dibawa oleh Khalifah. masuk dari Circassia oleh pedagang Genoa.

Ismailiyah

Kekhalifahan Fathimiyah menyebarkan ajaran Syiah dengan aliran Ismailiyah. Ajaran ini mulai disebarkan di Kairo dan wilayah sekitarnya. Proses penyebarannya bersamaan dengan konflik militer dan budaya dengan Kekhalifahan Abbasiyah yang mengikuti aliran Sunni.[21]

Para Ulama Sunni melakukan penentangan sepanjang kekuasaan Fatimiyah. Beberapa di antaranya ulama Abdushomad yang mendoakan keburukan untuk Ubaidillah ketika membacakan doa pengobatan di masyarakat. Para ulama sunni juga memboikot buku karangan ulama Khalaf bin Abul Qahim yang memuji para pemimpin Fatimiyah. Sebagian ulama sunni lainnya seperti Ibnu Tabban dan Abu Ustman Said bin Haddad (302 H) berani mendebat depan umum para pemimpin dan ulama syiah Ismailiyah di Afrika Utara.[12]

Konflik senjata juga terjadi pada 336 H, dimana beberapa ulama sunni seperti Abul Arab Ibnu Tamim, Abu Abdul Maluk Marwan, Abu Ishaq as-Saja'i, Abul Fadhl, Abu Salman Rabi bin Qathani, melakukan perlawanan di medan perang melawan pasukan Fatimiyah, namun mereka berhasil ditumpas.[12] Saat Kekuasaan Fatimiyah berpindah ke Mesir, barulah kekuatan Sunni bisa menumbangkan Fatimiyah di Maroko.

Remove ads

Kejatuhan

Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara pada masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Berawal dari ulama Sunni Al-Allamah Abul Hasan yang berhasil mempengaruhi Muiz bin Shunhaji, penguasa Fatimiyah di Afrika Utara / Maroko sehingga pada 435 H ia mengusir pengikut Syiah Ismailiyah di masa Khalifah Abū Tamīm Ma'add al-Mustanṣir bi-llāh (1036-1094) yang fokus ekspansi ke arah Irak.[12]

Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.

Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya yaitu Salahuddin Ayyubi untuk menaklukkan Mesir. Penaklukan berhasil dilakukan pada tahun 1169 M.[butuh rujukan]Dinasti Ayyubiyah terbentuk pada tahun 1174 M dengan pengangkatan Salahuddin Ayyubi sebagai sultan.[22]

Remove ads

Ibu kota

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Pintu masuk Masjid Agung Mahdiya (abad ke-10)

Al-Mahdiyya

Al-Mahdiyya, ibu kota pertama dinasti Fathimiyah, didirikan oleh khalifah pertamanya, 'Abdullāh al-Mahdī (297–322 H/909–934 M) pada tahun 300 H/912–913 M. Khalifah tersebut sebelumnya tinggal di dekat Raqqada, tetapi memilih lokasi baru yang lebih strategis ini untuk mendirikan dinastinya. Kota al-Mahdiyya terletak di semenanjung sempit di sepanjang pantai Laut Mediterania, di sebelah timur Kairouan dan tepat di sebelah selatan Teluk Hammamet, di wilayah Tunisia modern. Perhatian utama dalam pembangunan dan lokasi kota tersebut adalah pertahanan. Dengan topografi semenanjung dan pembangunan tembok setebal 8,3 m, kota tersebut menjadi tidak dapat ditembus melalui darat. Lokasi strategis ini, bersama dengan angkatan laut yang diwarisi Fathimiyah dari Aghlabiyyah yang ditaklukkan, menjadikan kota Al-Mahdiyya sebagai pangkalan militer yang kuat tempat ʿAbdullāh al-Mahdī mengonsolidasikan kekuasaan dan menumbuhkan bibit kekhalifahan Fathimiyah selama dua generasi. Kota ini mencakup dua istana kerajaan—satu untuk khalifah dan satu untuk putra dan penerusnya al-Qāʾim—serta sebuah masjid, berberapa gedung administrasi, dan gudang senjata.[23]

Al-Mansuriyya

Al-Manṣūriyya (juga dikenal sebagai Ṣabra al-Manṣūriyya) didirikan antara 334 dan 336 H (945 dan 948 M) oleh khalifah Fathimiyah ketiga al-Manṣūr (334–41 H/946–53 M) di sebuah pemukiman yang dikenal sebagai Ṣabra, yang terletak di pinggiran Kairouan di Tunisia modern. Ibu kota baru didirikan untuk memperingati kemenangan al-Manṣūr atas pemberontak Khawarij Abū Yazīd di Ṣabra.[24] Pembangunan kota itu belum sepenuhnya selesai ketika al-Manṣūr meninggal pada tahun 953, tetapi putranya dan penggantinya, al-Mu'izz, menyelesaikannya dan merampungkan masjid kota itu pada tahun yang sama. Seperti Bagdad, rencana kota Al-Manṣūriyya berbentuk bulat, dengan istana khalifah di pusatnya. Karena sumber air yang melimpah, kota itu tumbuh dan berkembang pesat di bawah al-Manṣūr. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ada lebih dari 300 hammam yang dibangun selama periode ini di kota itu serta banyak istana.[24] Ketika penerus al-Manṣūr, al-Mu'izz, memindahkan kekhalifahan ke Kairo, ia meninggalkan wakilnya, Buluggin bin Ziri, sebagai wali penguasa Ifriqiyah, menandai dimulainya periode Zirid kota itu. Pada 1014–15 penguasa Zirid Badis bin al-Mansur memerintahkan para pedagang dan pengrajin Kairouan untuk dipindahkan ke al-Manṣūriyya, yang mungkin telah membantu memprovokasi pemberontakan pada 1016 yang merusak kota itu. Pada tahun 1057, di bawah tekanan invasi Banu Hilal, kaum Zirid meninggalkan al-Manṣūriyya dan pindah ke Mahdiyya, sehingga kota itu hancur. Tidak seperti Kairouan, kota itu tetap menjadi reruntuhan setelahnya dan tidak pernah dibangun kembali. Situs itu dijarah dari waktu ke waktu. Penggalian arkeologi modern di sini dimulai pada tahun 1921.[24]

Kairo

Thumb
Jalan al-Muiz di Kairo.

Kairo didirikan oleh khalifah Fathimiyah keempat, al-Mu'izz, pada tahun 359 H/970 M dan tetap menjadi ibu kota kekhalifahan Fathimiyah selama dinasti tersebut. Kota ini secara resmi bernama al-Qāhirah al-Mu'izziyya (bahasa Arab: القاهرة المعزية), yang dapat diterjemahkan sebagai "Kota Kemenangan al-Mu'izz", yang kemudian dikenal hanya sebagai al-Qāhira dan memberi kita nama modern "Kairo".[25][26] Dengan demikian, Kairo dapat dianggap sebagai ibu kota produksi budaya Fathimiyah. Meskipun kompleks istana Fathimiyah asli, termasuk bangunan administratif dan tempat tinggal kerajaan, tidak ada lagi, para cendekiawan modern dapat memperoleh gambaran yang baik tentang struktur asli berdasarkan catatan al-Maqrīzī dari era Mamluk. Mungkin monumen Fathimiyah terpenting di luar kompleks istana adalah Masjid al-Azhar (359–61 H/970–72 M) yang masih berdiri hingga kini, meskipun bangunannya diperluas dan dimodifikasi secara signifikan pada periode selanjutnya. Demikian pula masjid Fathimiyah penting al-Ḥākim, yang dibangun dari tahun 380 hingga 403 H/990–1012 M di bawah dua khalifah Fathimiyah, dibangun kembali dan direnovasi secara signifikan pada tahun 1980-an. Kairo tetap menjadi ibu kota, termasuk al-Mu'izz, selama sebelas generasi khalifah, setelah itu Kekhalifahan Fathimiyah akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ayyubiyah pada tahun 567 H/1171 M.[27][28]

Remove ads

Dinasti

Ringkasan
Perspektif

Putih adalah warna dinasti Fathimiyah, yang berlawanan dengan warna hitam dinasti Abbasiyah, sedangkan bendera merah dan kuning dikaitkan dengan pribadi khalifah Fathimiyah.[29] Hijau juga disebut sebagai warna dinasti mereka, berdasarkan tradisi bahwa nabi Islam Muhammad mengenakan jubah hijau.[30]

Khalifah

Khalifah Fathimiyah juga sekaligus sebagai "Imām", sebagaimana yang digunakan dalam Islām Shīˤa berarti pemimpin pengganti dalam komunitas muslim dari keturunan langsung ˤAlī ibn-Abī-Tālib.

  1. Abū Muḥammad ˤAbdu l-Lāh (ˤUbaydu l-Lāh) al-Mahdī bi'llāh (910-934) pendiri Fatimiyah[31]
  2. Abū l-Qāsim Muḥammad al-Qā'im bi-Amr Allāh bin al-Mahdi Ubaidillah(934-946)[31]
  3. Abū Ṭāhir Ismā'il al-Manṣūr bi-llāh (946-953)[31]
  4. Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975)[31] Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
  5. Abū Manṣūr Nizār al-'Azīz bi-llāh (975-996)[31]
  6. Abū 'Alī al-Manṣūr al-Ḥākim bi-Amr Allāh (996-1021)[31]
  7. Abū'l-Ḥasan 'Alī al-Ẓāhir li-I'zāz Dīn Allāh (1021-1036)[31]
  8. Abū Tamīm Ma'add al-Mustanṣir bi-llāh (1036-1094)
  9. al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101)[31] pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
  10. al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130)[31] Penguasa Fathimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
  11. 'Abd al-Majīd al-Ḥāfiẓ (1130-1149)[31]
  12. al-Ẓāfir (1149-1154)[31]
  13. al-Fā'iz (1154-1160)[31]
  14. al-'Āḍid (1160-1171)[32][31]

Selir

  1. Rashad, istri khalifah ketujuh Ali al-Zahir dan ibu khalifah kedelapan al-Mustansir bi-llāh.[33]
Remove ads

Referensi

Sumber

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads