Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Perebutan wilayah di Laut Tiongkok Selatan

sengketa atas kedaulatan laut dan pulau Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Perebutan wilayah di Laut Tiongkok Selatan
Remove ads

Perebutan wilayah di Laut Tiongkok Selatan atau lebih dikenal dengan Perebutan wilayah di Laut China Selatan melibatkan klaim-klaim pulau dan wilayah kelautan pada beberapa negara berdaulat di wilayah tersebut, yakni Republik Rakyat Tiongkok (China), Republik Tiongkok (Taiwan), Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Filipina. Terdapat perebutan wilayah yang terjadi pada kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly, serta perbatasan wilayah kelautan di Teluk Tonkin dan tempat-tempat lainnya. Terdapat perebutan tambahan di perairan di dekat Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia.[1] Kepentingan negara-negara yang berbeda meliputi perebutan wilayah perikanan di sekitar dua kepulauan tersebut; pengambilan minyak bumi dan gas alam di bawah perairan berbagai bagian di Laut Tiongkok Selatan; dan kontrol strategis dari jalur-jalur perkapalan penting.

Thumb
Peta yang menampilkan klaim-klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan.
Thumb
Klaim wilayah kelautan di Laut Tiongkok Selatan

Diperkirakan perdagangan global senilai US$3,36 triliun melewati Laut Cina Selatan setiap tahunnya,[2] yang merupakan sepertiga dari perdagangan maritim global.[3] 80 persen impor energi Tiongkok dan 40 persen total perdagangan Tiongkok melewati Laut Cina Selatan.[2] Negara-negara penggugat berkepentingan untuk mempertahankan atau memperoleh hak atas sumber daya perikanan, eksplorasi dan potensi eksploitasi minyak mentah dan gas alam di dasar laut berbagai wilayah Laut Cina Selatan, serta kendali strategis atas jalur pelayaran penting. Keamanan maritim juga menjadi isu penting, karena sengketa yang sedang berlangsung menghadirkan tantangan bagi pelayaran.[4]

Menurut para peneliti, klaim terhadap salah satu fitur tersebut tidak diajukan secara serius hingga abad ke-19 atau awal abad ke-20.[5][6] Kepulauan Paracel yang diduduki Tiongkok sedang diperebutkan oleh Taiwan dan Vietnam. Kepulauan Spratly diklaim oleh ketiga negara, dengan Vietnam menempati sebagian besar fitur wilayahnya, sementara Taiwan menempati pulau terbesar, yaitu Pulau Taiping. Brunei, Malaysia, dan Filipina juga mengklaim beberapa fitur di gugus pulau tersebut.[7] Pada tahun 1970-an, Filipina, Taiwan, dan Vietnam telah menduduki satu atau lebih Kepulauan Spratly secara militer.[8] Pada tahun 2015, Tiongkok telah mendirikan 8 pos terdepan, Malaysia 5, Filipina 8, Taiwan 1, dan Vietnam 48.[9]

Selama beberapa dekade, Filipina dan Vietnam adalah negara yang paling aktif membangun pulau buatan di wilayah tersebut,[10][11] tetapi dari tahun 2014 hingga 2016 aktivitas konstruksi Tiongkok melampaui mereka.[12] Pada tahun 2023, China Tiongkok mereklamasi sekitar lima mil persegi dengan pulau-pulau buatannya, setidaknya satu di antaranya menampung peralatan militer.[7][13]

Tindakan Tiongkok di Laut Cina Selatan telah dikritik sebagai bagian dari strategi “mengiris salami”/“membungkus kubis”.[14][15] Sejak 2015, Amerika Serikat, Britania Raya, Prancis dan negara-negara barat lainnya melaksanakan kegiatan kebebasan navigasi (FONOP) di wilayah tersebut.[16] Pengadilan arbitrase tahun 2016, tanpa menentukan kedaulatan pulau mana pun, menyimpulkan bahwa Tiongkok tidak memiliki hak historis atas wilayah maritim di dalam sembilan garis putus-putus. Putusan ini ditolak oleh RRT maupun Republik Tiongkok.

Remove ads

Perebutan secara khusus

Ringkasan
Perspektif
Penjelasan perebutan
BNKHCNIDMYPHSGTWVN
Wilayah sembilan garis putus
Pesisir Vietnam
Wilayah laut utara pulau Kalimantan
Kepulauan Laut Tiongkok Selatan
Wilayah laut utara Kepulauan Natuna
Wilayah laut barat Palawan dan Luzon
Wilayah Sabah
Selat Luzon
Wilayah Pedra Branca
Taiwan dan Tiongkok Daratan

Perebutan-perebutannnya meliputi perbatasan wilayah kelautan dan kepulauan. Terdapat beberapa perebutan, yang masing-masing melibatkan sejumlah negara yang berbeda:

  1. Wilayah sembilan garis putus yang diklaim oleh Tiongkok yang meliputi kebanyakan wilayah Laut Tiongkok Selatan dan klaim-klaim Zona Ekonomi Eksklusif dari Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.
  2. Perbatasan wilayah kelautan di sepanjang persisir Vietnam antara Brunei, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
  3. Perbatasan wilayah kelautan di utara pulau Kalimantan antara Brunei, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
  4. Pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan, yang meliputi Kepulauan Paracel, Pulau Pratas, Gorong pasir Scarborough dan Kepulauan Spratly antara Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
  5. Perbatasan wilayah kelautan di utara perairan Kepulauan Natuna antara Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.[17]
  6. Perbatasan wilayah kelautan di lepas pesisir Palawan dan Luzon antara Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
  7. Perbatasan wilayah kelautan, wilayah tanah, dan kepulauan Sabah (awalnya Borneo Utara), termasuk Ambalat dan Labuan, antara Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
  8. Perbatasan wilayah kelautan dan kepulauan di Selat Luzon antara Tiongkok, Filipina, dan Taiwan.
  9. Perbatasan wilayah kelautan di Pedra Branca dan pulau-pulau di sekitarnya antara Indonesia, Malaysia, Singapura.
Remove ads

Pandangan pihak tak terkait

Ringkasan
Perspektif

Amerika Serikat

Thumb
SOUTH CHINA SEA: UP FOR GRABS (INR, 1971)

Pada tahun 1974, RRT menerima janji non-keterlibatan dari Amerika Serikat ketika menduduki Pulau Yagong dan Gugus Bulan Sabit dari Vietnam Selatan.[18] Amerika Serikat secara resmi menangani sengketa Laut Cina Selatan untuk pertama kalinya pada tahun 1995, ketika pernyataannya difokuskan pada penyelesaian sengketa secara damai, perdamaian dan stabilitas, kebebasan navigasi, netralitas atas masalah kedaulatan, dan penghormatan terhadap norma-norma maritim. Pernyataan tersebut tidak menyebut satu negara pun.[19]

Kebijakan mereka yang berdasarkan pernyataan dibuat pada 1995 diganti pada 2010, ketika pemerintahan Presiden Obama merasa bahwa meskipun Amerika Serikat tidak dapat memihak dalam perselisihan, mereka tetap harus membuat pernyataan bahwa mereka tidak secara pasif menerima tindakan tegas yang diambil di kawasan tersebut.[20] Dalam acara Forum Regional ASEAN di Hanoi, Sekretaris Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton menyampaikan pidato tentang penyelesaian perselisihan di kawasan tanpa paksaan dan dengan tegas menyatakan bahwa Laut Cina Selatan adalah masalah kepentingan nasional AS.[21][22] Komentarnya ditanggapi oleh Menteri Luar Negeri Tiongkok Yang Jiechi sebagai "serangan terhadap Tiongkok," dan ia memperingatkan Amerika Serikat agar tidak menjadikan Laut Cina Selatan sebagai masalah internasional atau masalah multilateral.[23]

Australia

Thumb
Kapal-kapal Angkatan Laut Malaysia, Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru di Laut Cina Selatan selama Latihan Bersama Lima, 2018

Pada 25 Juli 2020, Australia menolak klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan dan mengajukan pernyataan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan: "Australia menolak klaim apa pun atas perairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen berdasarkan garis dasar tersebut," dan "tidak ada dasar hukum" untuk menarik sembilan garis putus-putus di sekitar kepulauan Empat Sha, Kepulauan Paracel, dan Spratly, atau zona maritim surut. Mereka mendorong para penggugat untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai.[24]

India

India menyatakan bahwa Laut Cina Selatan adalah "bagian dari kepentingan bersama global dan India memiliki kepentingan abadi dalam perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut... Kami dengan teguh mendukung kebebasan navigasi dan penerbangan serta perdagangan sah tanpa hambatan di perairan internasional ini, sesuai dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS."[25]

Indonesia

Thumb
Pesawat F-16 Fighting Falcon milik TNI-AU menyambangi Kapal pengisian ulang tipe 903 Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau

Pada awal mulai sengketa tersebut, Indonesia bukan dianggap sebagai pihak aktif dan pemerintah Indonesia menegaskan bahwa Indonesia memosisikan diri bukan sebagai pihak sengketa[26] dan kerap menyatakan bahwa Indonesia adalah "broker jujur".[27] Namun, sebagian klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok menyentuh sebagian zona ekonomi eksklusif Indonesia yang berada di Laut Natuna.[28] Walaupun Tiongkok menyatakan bahwa mereka mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna,[29] RRT berargumen bahwa perairan di sekitar Kepulauan Natuna merupakan "wilayah penangkapan ikan tradisional" Tiongkok. Indonesia dengan cepat menepis klaim Tiongkok tersebut, dengan menyatakan bahwa klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok atas sebagian Kepulauan Natuna tidak memiliki dasar hukum.[30] Pada 2015, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa Indonesia bisa menuntut Tiongkok ke makhamah internasional.[31] Dalam Filipina v. Tiongkok, Indonesia memberikan sebuah komentar kepada Makhamah Arbitrase Antarbangsa terkait klaim Tiongkok dan strategi Indonesia dapat dideskripsikan dalam bahasa Jawa sebagai menang tanpa ngasorake ('menang tanpa mempermalukan musuh').[32]

Thumb
KRI Sutedi Senoputra (378), KRI Tjiptadi (381) dan KRI Teuku Umar (385). Kapal-kapal ini kerap ditugaskan di Laut Natuna untuk melindungi ZEE Indonesia.

Kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok – yang seringkali dikawal oleh kapal penjaga pantai Tiongkok – telah berulang kali dilaporkan melanggar perairan Indonesia di dekat Kepulauan Natuna. Pada 19 Maret 2016, misalnya, pihak berwenang Indonesia mencoba menangkap sebuah kapal pukat Tiongkok yang dituduh melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia, dan menangkap awak kapalnya. Mereka dicegah menarik kapal ke pelabuhan oleh kapal penjaga pantai Tiongkok yang dilaporkan "menabrak" kapal pukat tersebut di perairan Indonesia. "Untuk mencegah hal lain terjadi, pihak berwenang Indonesia melepaskan kapal Tiongkok tersebut dan kemudian berlayar menuju Natuna, masih dengan delapan nelayan dan kapten di dalamnya." Pada 21 Maret, Arrmanatha Nasir, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia masih menahan awak kapal Tiongkok tersebut, dan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa ia akan memanggil Duta Besar Tiongkok, Xie Feng, untuk membahas masalah ini.[33] Indonesia bersikeras bahwa mereka berhak menuntut awak kapal pukat harimau Tiongkok, meskipun Beijing menuntut pembebasan delapan nelayan mereka. Arif Havas Oegroseno, pejabat keamanan maritim pemerintah, mengatakan bahwa klaim Tiongkok atas "wilayah penangkapan ikan tradisional" tidak diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Insiden ini mendorong Menteri Keamanan Luhut Pandjaitan untuk mengerahkan lebih banyak pasukan dan kapal patroli, serta memperkuat pangkalan angkatan laut Ranai di wilayah tersebut.[34]

Menyusul bentrokan tersebut, pada 23 Juni 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Kepulauan Natuna dengan kapal perang untuk menunjukkan otoritas Indonesia. Beliau memimpin delegasi tingkat tinggi, yang meliputi Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan para menteri negara. Menteri Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan kunjungan ini dimaksudkan untuk mengirimkan "pesan yang jelas" bahwa Indonesia "sangat serius dalam upayanya melindungi kedaulatannya".[35] Menyusul keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada 12 Juli 2016, Indonesia meminta semua pihak yang terlibat dalam sengketa wilayah untuk menahan diri dan menghormati hukum internasional yang berlaku.[36]

Indonesia menantang klaim sejarah sembilan garis putus-putus Tiongkok dengan menyatakan bahwa jika klaim sejarah tersebut dapat digunakan untuk mengajukan klaim teritorial maritim, Indonesia juga dapat menggunakan klaim sejarahnya di Laut Cina Selatan dengan merujuk pada pengaruh kuno dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.[37] Tiongkok sendiri menggunakan pengaruh kuno Dinasti Tang dan Dinasti Ming dalam meneggakkan klaim mereka.[38]

Kamboja

Kamboja kerap mendukung posisi Tiongkok dalam sengketa ini di pertemuan ASEAN, mencegah konsensus atas tindakan ASEAN yang terpadu.[39] Ini karena sentimen anti-Vietnam yang besar akibat sejarah penaklukkan Vietnam terhadap wilayah yang dulunya milik Kamboja, pemberian status istimewa terhadap orang Vietnam pada masa penjajahan Prancis, serta pendudukan Kamboja setelah penggulingan Khmer Merah telah menyebabkan sentimen anti-Vietnam terhadap etnis Vietnam di Kamboja dan terhadap Vietnam, dan pada gilirannya telah menyebabkan sentimen pro-Tiongkok di kalangan pemerintah Kamboja dan oposisi Kamboja, termasuk di Laut Cina Selatan.[40]

Singapura

Singapura telah menegaskan kembali bahwa pihaknya bukanlah negara penggugat dalam sengketa Laut Cina Selatan dan telah menawarkan untuk memainkan peran netral dalam menjadi saluran dialog yang konstruktif di antara negara-negara penggugat.[41] Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan dalam kunjungan resminya ke AS bahwa ia berharap semua negara akan menghormati hukum internasional dan hasil arbitrase.[42] Juru bicara Tiongkok, Hua Chunying, menanggapi dalam konferensi pers dengan mengatakan bahwa putusan Pengadilan Arbitrase tersebut "ilegal" dan "tidak sah", sehingga tidak mengikat sama sekali. Ia mendesak Singapura untuk menghormati posisi Tiongkok, tetap objektif, dan tidak memihak.[43]

Yaman

Pada 2016, Yaman mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan mendukung klaim Tiongkok dalam sengketa tersebut.[44]

Remove ads

Lihat pula

Referensi

Bacaan tambahan

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads