Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Pura Kehen
bangunan kuil di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Pura Kehen (bahasa Bali: ᬧᬸᬭ ᬓᬾᬏᬦ᭄᭟, translit. Pura Kéhén) adalah sebuah pura Hindu yang berlokasi di Kelurahan Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia, sekitar 45 km dari pusat Kota Denpasar, 20 km dari Ubud dan 23 km dari Kintamani serta 3 km dari Desa Wisata Penglipuran.[1][2] Pura ini disebut juga sebagai Pura Hyang Api di mana kehen dalam Bahasa Bali berarti api. Selain itu, lokasi pura ini membelakangi Bukit Bangli.[3]
Selain letaknya yang strategis, pada pintu masuk pura tidak menggunakan candi bentar seperti pada Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pintu masuk Pura Kehen memang agak berbeda dengan menggunakan Kori Agung yang membuatnya berbeda dengan pura lainnya. Di samping itu, keberadaan Bale Kulkul pada batang pohon beringin turut memberi warna lain bagi Pura Kehen yang menjadi salah satu objek pariwisata unggulan Bangli.[5][6]
Remove ads
Sejarah
Ringkasan
Perspektif


Sulit untuk menentukan kapan tepatnya Pura Kehen didirikan. Namun, terdapat tiga prasasti tembaga yang menyangkut keberadaan pura tersebut.[7] Salah satunya yaitu, prasasti ketiga yang memuat mengenai petunjuk-petunjuk untuk para penduduk sekitar saat upacara-upacara besar di Pura Kehen, bertarikh Saka 1126 (1204 Masehi).
- Prasasti Ketiga (Saka 1126 / 1204 Masehi)
- Memuat petunjuk-petunjuk untuk para penduduk sekitar saat upacara-upacara besar di Pura Kehen.
- Nama Raja Sri Dhanadhiraja disebutkan, ia merupakan putra dari Raja Bhatara Parameswara dan cucu dari Bhatara Guru Sri Adhikunti beserta permaisurinya Bhatara Sri Dhanadewi.
- Prasasti Pertama (804-836 Saka / 882-914 Masehi)
- Terdiri dari 18 baris dan berbahasa Bali Kuno.
- Menyebutkan nama “Hyang Karinama” dan Hyang Api di Desa Simpat Bunut (“Wangunan pertapaan di Hyang Karinama jnganangan Hyang Api di Wanua di Simpat Bunut – Hyang Tanda”).
- Prasasti Kedua (938-971 Saka / 1016-1049 Masehi)
- Terdiri dari 10 baris dan berbahasa Jawa Kuno.
- Menyebutkan nama Senapati Kuturan, Sapatha, dan nama-nama pegawai raja.
Berdasarkan isi prasasti Pura Kehen B dari tahun 1049 M, pada saat itu, ketika pemerintahan Raja Anak Wungsu, Pura Kehen memiliki fungsi khusus yaitu tempat suci yang dipergunakan sebagai tempat "penyumpahan" bagi para pejabat kerajaan. Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti hina-papa, hancur keluarga dan seketurunannya, selalu terbelit noda, sengsara dan malapetaka, tidak akan menemukan kebaikan apapun.[8]
Nama Hyang Api yang termuat dalam prasasti pertama menjadi Hyang Kehen dalam prasasti ketiga dan selanjutnya menjadi Pura Kehen. Ini berarti bahwa Pura Kehen telah ada pada tahun Saka antara 804-836 (antara tahun Masehi 882-914 Masehi). Jadi, Pura Kehen sudah ada pada akhir abad IX atau permulaan Abad X Masehi. Keberadaan Pura Kehen yang memiliki keterikatan dengan sejarah Desa Bangli termuat dalam prasasti No. 705 Prasasti Pura Kehen C.
Struktur Sosial dan Administratif

Dalam perjalanan sejarahnya, desa, banjar, atau Pura yang berada di wilayah Desa Bangli bersatu dalam satu kesatuan yang utuh dikenal dengan istilah Gebog Domas. Dalam Gebog Domas ini seluruh banjar atau desa memiliki tanggung jawab terhadap keberadaan Pura Kehen, krama, dan lingkungan di Desa Bangli. Ditambah dengan kuatnya rasa persatuan dari beberapa desa diluar Gebog Domas, dikenal pula istilah bagi desa-desa yang juga menjadi pengemong Pura Kehen sebagai Bebanuan Pura Kehen. Bebanuan Pura Kehen meliputi:
- Banjar Blungbang,
- Banjar Pule,
- Banjar Kawan,
- Banjar Pande,
- Banjar Tegallalang,
- Banjar Geria,
- Banjar Nyalian,
- Banjar Penatahan,
- Banjar Tanggahan Peken,
- Banjar Pukuh, Banjar Demulih,
- Banjar Pengelipuran,
- Banjar Kubu,
- Banjar Bebalang,
- Banjar Tegal,
- Banjar Sedit,
- Banjar Gancan,
- Banjar Sembung,
- Banjar Petak,
- Banjar Gunaksa,
- Banjar Pekuwon,
- Banjar Tegal Suci,
- Banjar Sidembunut.[9]
Wadah Gebog Domas dan Bebanuan Pura Kehen menjadi simbol bahwa banjar-banjar di wilayah Desa Bangli adalah sebuah kesatuan, dia juga menjadi simbol keunikan dan kekhasan Bangli dengan desa-desa di wilayah atau daerah lain. Semangat kebersamaan dan kerukunan secara turun-temurun mewarnai setiap aktivitas yang terkait dengan keberadaan Pura Kehen. Bebanuan menjalankan kewajiban dan mengemban tanggung jawab masing-masing.[10]
Pengayoman
Berdasarkan penuturan Jero Gede Kehen dan penglingsir Puri Agung Bangli, Anak Agung Gede Bagus Ardhana, pada zaman kerajaan, seiring sejalan dengan peran Bebanuan, pihak puri atau raja secara khusus memberi pengayoman, dukungan moral dan material setiap penyelenggaraan upacara di Pura Kehen. Pasca zaman kerajaan, pengayoman dan dukungan itu kemudian diberikan pihak Pemerintah Kabupaten Bangli.
Remove ads
Geografis
Pura Kehen terletak di Banjar Pakuwon, Kelurahan Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, jaraknya sekitar 45 km dari Kota Denpasar. Pura ini letaknya sangat strategis yankni berada dipinggir jalan raya dan menghadap ke selatan, secara geografis Pura Kehen berada pada koordinat 80 26’ 31.36” LS 1150 21’ 36.49” BT, dan pada ketinggian 483 meter di atas permukaan air laut.[11]
Struktur Pura
Ringkasan
Perspektif
Tri Mandala
Seperti umumnya pura di Bali, Pura Kehen dibagi menjadi tiga halaman: halaman dalam (jeroan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman luar (jaba sisi). Masing-masing halaman dibatasi oleh tembok keliling yang dilengkapi pintu keluar-masuk (gapura). Struktur pura dibuat bertingkat-tingkat (teras berundak) yang terbagi menjadi delapan teras. Teras pertama sampai teras kelima adalah halaman luar, teras keenam merupakan halaman tengah pertama, teras ketujuh adalah halaman tengah kedua, dan teras kedelapan adalah halaman dalam (jeroan).
Berbeda dengan pura lain di Bali, gapura Pura Kehen untuk menuju halaman tengah berupa kori agung yang diapit dua candi bentar di sebelah kanan dan kirinya. Untuk menuju halaman tengah kedua maupun halaman dalam, terdapat pintu masuk.[12]

Pohon Beringin
Pohon beringin yang tumbuh sangat besar di areal Pura Kehen sangat disakralkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal percaya bahwa jika batang pohon beringin tersebut patah, itu berarti sebuah musibah (grubug) akan terjadi.[13] Kesimpulan ini diambil dari banyaknya peristiwa yang telah terjadi turun temurun sejak ratusan tahun silam. Bahkan, letak batang yang patah juga diyakini sebagai pertanda bahwa seseorang akan mengalami musibah.[14]
Sebagai contoh, ketika Raja Bangli meninggal dunia, batang pohon yang terletak di Kaja Kangin (timur laut) akan patah. Bila batang pohon sebelah Kaja Kauh (barat laut) yang akan patah, maka yang meninggal adalah seorang pendeta. Pertanda bagi masyarakat umum jika musibah menimpa adalah batang pohon sebelah Kelod Kangin (tenggara) maupun Kelod Kauh (barat daya) yang akan patah.[15]
Upacara
Ringkasan
Perspektif
Pada zaman dahulu, dewa yang dipuja dalam upacara penyumpahan tersebut adalah Hyang Api atau Hyang Kehen, yaitu Dewa Agni sebagai saksi dalam wujud Dewa Api. kemudian disesuaikan dengan keyakinan yang berkembang masa Hindu Bali sekarang ini menjadi Dewa-dewa Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, Siwa).[16]
Fungsi Pura Kehen sebagai tempat suci dalam upacara penyumpahan didukung oleh adanya sebuah bejana yang dibelit empat ekor ular naga, disebut "Bejana Sarpantaka". Bejana ini ditempatkan dalam sebuah bangunan berbentuk gedong yang terletak di sebelah timur dari meru tumpang 11 di jeroan. Bejana Sarpantaka berfungsi sebagai tempat "Tirta Sarpantaka" yaitu Air Suci Sumpah yang diberikan kepada mereka yang disumpah pada saat upacara penyumpahan.
Piodalan
Upacara rutin yang dilaksanakan di Pura Kehen setiap enam bulan (berdasarkan kalender Bali) adalah Piodalan atau Odalan yang jatuh pada setiap Buda Keliwon Wuku Sinta, bertepatan dengan hari raya Pagerwesi. Upacara ini biasanya berlangsung selama lima hari, di mana setiap hari selama upacara, semua Banjar dari desa/kelurahan Cempaga, Kawan, Bebelang, Demulih, Penatahan, Tanggahan, Pukuh, Kubu, dan Penglipuran menghaturkan bakti bergiliran dengan acara Mepeed.
Karya Agung Bhatara Turun Kabeh
Upacara tingkatan utama diselenggarakan tiga tahun sekali, pada sasih kelima dengan sebutan Karya Agung Bhatara Turun Kabeh atau Ngusaba Dewa. Pelaksanaan upacara ini diperkirakan pada bulan Oktober 2015 pada Purnama Kalima yang biasanya berlangsung 9 sampai 11 hari.
Yang paling utama pada upacara ini adalah prosesi upacara Melasti, di mana seluruh Pratima, Tapakan, dan benda sakral se wilayah bebanuan yang terdiri dari sekitar 19 banjar adat ikut bersama melaksanakan upacara Melasti (biasanya ke Pantai Watuklotok, Tirta Sudamala, atau Tamansari) dengan ribuan orang dan puluhan kelompok mengusung Gambelan dengan tetabuhan Baleganjur mengiringi prosesi upacara ini dengan berjalan kaki. Prosesi upacara ini sebagai potret kebersamaan krama (warga adat/pakraman) Bangli, khususnya dari krama Bebanuan Pura Kehen yang disebut Gebog Domas.
Selama upacara berlangsung, secara bergilir desa-desa pemuja akan menghaturkan tarian sakral berupa Baris Dadap, Baris Perasi, Baris Gowak serta tarian Rejang dan Pendet.
Ogoh-ogoh
Setiap tahun, pada upacara pengrupukan yang dilaksanakan satu hari sebelum Hari Raya Nyepi, diadakan parade Ogoh-ogoh yang diikuti oleh seluruh banjar di wewidangan (wilayah) Desa Adat/Pekraman Cempaga.
Remove ads
Pariwisata
Pura Kehen buka setiap hari dari pukul 09.00 hingga 17.00 WITA. Harga tiket masuk ke pura ini adalah Rp10.000 per orang.[17]
Lihat pula

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Pura Kehen.
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads