Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Sri Aji Kresna Kepakisan

Raja Bali dan Pendiri Wangsa Kepakisan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Sri Aji Kresna Kepakisan
Remove ads

Sri Aji Kresna Kepakisan atau dikenal dengan nama Ida Dalem Wawu Rauh atau Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan adalah raja sekaligus pendiri dari Wangsa Kepakisan di Bali. Beliau menjadi raja vassal dari Majapahit dan memerintah Pulau Bali pada tahun (1352 - 1380 M). Ia adalah putra dari Sri Wang Bang Kepakisan dan cicit dari Mpu Tantular penulis Kitab Sutasoma.[1]

Fakta Singkat Sri Aji Kresna Kepakisan ᬰ᭄ᬭᬶᬳᬚᬶᬓ᭄ᬭᬾᬲ᭄ᬦᬓᬾᬧᬓᬶᬲᬦ᭄, Berkuasa ...
Thumb
Sri Aji Kresna Kepakisan didharmakan pada Pelinggih Meru bertingkat sebelas
Remove ads

Ekspedisi Majapahit ke Bali

Ringkasan
Perspektif

Kedatangan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai penguasa di Bali tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik dan militer yang terjadi pada masa ekspansi Kerajaan Majapahit ke wilayah timur Nusantara. Salah satu sasaran ekspansi tersebut adalah Kerajaan Bali Bedahulu, yang pada saat itu dipimpin oleh Sri Astasura Ratna Bumi Banten, atau yang lebih dikenal dalam tradisi lokal sebagai Ida Dalem Bedahulu atau Ida Dalem Bedamuka.[2] Menurut sumber-sumber tradisional Jawa dan Bali, terutama Negarakertagama, Babad Dalem, Babad Arya Tabanan dan lontar-lontar setempat menyepakati bahwa ekspedisi penaklukan Bali oleh pasukan Majapahit dilaksanakan pada tahun Saka 1265 (1343 Masehi). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Kryan Patih Gajah Mada dengan Arya Damar sebagai wakilnya diikuti oleh banyak Arya lainnya. Namun, sebelum serangan besar dilancarkan, Majapahit terlebih dahulu melumpuhkan Patih Kebo Iwa, tokoh militer paling berpengaruh di Bali saat itu bersama Ki Pasung Grigis, yang dianggap sebagai benteng terakhir pertahanan Kerajaan Bedahulu.

Serangan kemudian dilakukan secara serentak dari berbagai penjuru, dan pihak Bali Bedahulu memberikan perlawanan yang tidak kalah sengit. Pertempuran berlangsung dalam skala besar dan menimbulkan banyak korban jiwa. Pada akhirnya, Dalem Bedahulu gugur, dan tampuk pemerintahan sementara dipegang oleh pamannya, Patih Agung Ki Pasung Grigis. Setelah melalui pertempuran berkepanjangan, Ki Pasung Grigis menyerah di Desa Tengkulak dan kemudian dibawa ke Majapahit.

Setelah kemenangan ini, kondisi politik di Bali belum stabil. Oleh karena itu, para pemimpin pasukan yang diisi oleh para Bangsawan Arya ditugaskan untuk menetap di berbagai wilayah strategis sebagai penjaga keamanan dan representasi sementara kekuasaan Majapahit. Penempatan ini juga menjadi awal mula terbentuknya elite bangsawan baru di Bali. Para tokoh Arya tersebut meliputi:

  • Arya Kenceng di Buahan, (Sekarang Tabanan)
  • Arya Kuthawaringin di Gelgel,
  • Arya Tan Wikan di Kaba-Kaba,
  • Arya Bleteng di Penatih,
  • Arya Kiyayi di Besakih,
  • Arya Punta di Mambal,
  • Arya Jurudeh di Temukti,
  • Arya Kanuruhan di Tangkas,
  • Kyai Malela Cengkrong di Jembrana,
  • dan Arya Sentong di Pacung.[3]
Remove ads

Pemberontakan Bali Aga dan Kedatangan dari Majapahit

Ringkasan
Perspektif

Dalam Babad Bali, Sri Aji Kresna Kepakisan baru ditetapkan menjadi Raja di Bali pada tahun Saka 1274 (1352 Masehi) setelah Majapahit berhasil meredam pemberontakan Suku Bali Aga yang dipimpin oleh Ki Tokawa, Ki Pasung Giri dan Ki Tunjung Tutur (1345 Masehi) serta pemberontakan Ida Dalem Makambika (1347 Masehi) yang masih keturunan dari bangsawan Bedahulu sebelumnya. Akibat pemberontakan ini Majapahit kembali mengirim dua ekspedisi militer ke Bali yang dipimpin langsung oleh Raden Cakradara Krtawardhana, Kryan Gajah Mada dan Arya Damar lalu lebih banyak Arya dikirim dan ditugaskan menjaga keamanan di Bali seperti :

  • Arya Gajah Para di Tianyar,
  • Arya Getas di Tianyar kemudian ditugaskan ke Praya, Lombok,
  • Ki Tan Kawur di Abiansemal,
  • Ki Tan Kober di Pacung,
  • Ki Tan Mundur di Cacaha,

Sebagai tugu kemenangan dan penguasaan Bali secara total maka para Arya mendirikan Meru Bertingkat 11 di Pura Agung Kentel Gumi yang sebelumnya dibangun oleh Mpu Kuturan pada abad ke-9 Masehi. Meskipun demikian, beberapa golongan di Bali masih kurang puas dengan kebijakan ini karena masih belum mendapatkan penguasa yang bisa menyatukan Bangsawan Arya dan Suku Bali Aga. Ki Patih Ulung bersama Ki Padang Subadra, Ki Sangkulputih, Kyai Kepasekan dan Pemacekan akhirnya pergi ke Majapahit untuk meminta seorang Raja yang bisa memimpin Bali.

Akhirnya permintaan mereka dikabulkan dengan penunjukan Sri Aji Kresna Kepakisan yang merupakan putra seorang Brahmana Istana Majapahit bernama Mpu Sri Soma Kepakisan. Pada hari Purnama, Bulan Kartikka Tahun Saka 1274 (4 Oktober 1352 Masehi) Beliau diangkat dan dinobatkan menjadi Raja Adipati bersama para saudaranya :

  • Sri Aji Bima Chili Kepakisan diangkat menjadi Adipati di Blambangan,
  • Sri Aji Bima Sakti Kepakisan diangkat menjadi Adipati di Pasuruan,
  • Sri Dyah Ayu Sukanya Kepakisan di kirim ke Sumbawa dan
  • Sri Aji Kresna Kepakisan diangkat menjadi Adipati di Bali.

Keberangkatan beliau menjadi Raja Adipati diiringi segenap pembesar dari Majapahit seperti para bangsawan Arya yakni Arya Kresna Kepakisan, Arya Bang Pinatih, Arya Demung, Arya Tumenggung, Arya Delancang, Arya Manguri, Arya Pemecut Pemeregan beserta Pendeta Brahmana yakni Dang Hyang Jaya Rembat dan Dang Hyang Subali, menaiki kapal Jong Jawa di nakhodai oleh Bendega Ki Samanjaya lalu rombongan ini berlabuh di Pantai Alas Rangkan (Pantai Lebih, Gianyar) dekat pantai selatan. [4]

Beliau akhirnya mendirikan Istana di Samprangan bekas kamp militer Majapahit (dekat dengan bekas Ibukota Bedahulu) Kerajaannya dikenal sebagai Kerajaan Samprangan dengan ibukota Linggarsapura, beliau kemudian dikenal sebagai Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, atau rakyat Bali menyebutnya sebagai Ida Dalem Wawu Rauh (Raja yang baru datang).

Remove ads

Pemerintahan di Bali

Ringkasan
Perspektif

Setelah diangkat secara resmi oleh Kerajaan Majapahit sebagai penguasa di Bali, Sri Aji Kresna Kepakisan mulai membangun fondasi pemerintahan baru di pulau tersebut. Ia memilih Samprangan sebagai pusat kekuasaan dan mendirikan istananya di sana, yang kelak menjadi simbol awal pemerintahan baru yang berakar pada sejarah ekspedisi Majapahit melawan Bedahulu. Namun, masa-masa awal kepemimpinannya tidak berjalan mulus. Sri Aji Kresna Kepakisan menghadapi tantangan besar berupa penolakan dan perlawanan dari banyak desa Bali Aga, yaitu komunitas-komunitas asli Bali yang memiliki sistem adat dan pemerintahan tersendiri sejak masa pra-Majapahit.

Tercatat lebih dari 40 desa Bali Aga secara terbuka menolak pengaruh dan otoritas pemerintahan baru yang dipimpin oleh Sri Aji Kresna Kepakisan. Penolakan ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga menunjukkan adanya resistensi budaya yang kuat terhadap upaya integrasi Bali ke dalam struktur kekuasaan Majapahit. Tekanan dan isolasi yang dihadapi hampir membuat Sri Aji Kresna Kepakisan kehilangan harapan untuk melanjutkan tugasnya sebagai pemimpin di Bali. Dalam keadaan demikian, ia mengutus seorang duta ke Majapahit untuk menyampaikan keinginannya mundur dari jabatan raja dan kembali ke Jawa.

Mengetahui hal tersebut, Mahapatih Gajah Mada tidak menerima keputusan tersebut begitu saja. Ia memandang bahwa pengangkatan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai raja di Bali sudah melalui keputusan dewa istana dan bagian dari rencana besar penyatuan Nusantara di bawah panji Majapahit. Sebagai bentuk dukungan dan penguatan legitimasi, Gajah Mada menganugerahkan berbagai pusaka kerajaan kepada Sri Aji Kresna Kepakisan. Pusaka-pusaka ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga sarat makna spiritual dan politis, sehingga memperkuat posisi Sri Aji Kresna Kepakisan di mata masyarakat Bali, terutama di kalangan yang masih ragu akan kepemimpinannya.

Kehadiran pusaka-pusaka tersebut memberikan dorongan moral dan meningkatkan rasa percaya diri Sri Aji Kresna Kepakisan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia kemudian melakukan pendekatan yang lebih lembut dan manusiawi kepada masyarakat Bali Aga, dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan dan penghormatan terhadap tradisi lokal. Dari proses inilah Sri Aji Kresna Kepakisan mulai memahami akar persoalan yang dihadapi. Ia menyadari bahwa para bangsawan Jawa yang sebelumnya ditugaskan untuk mengelola pemerintahan di Bali sering kali menunjukkan sikap yang kurang menghargai adat istiadat Bali. Mereka cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal, bahkan dalam beberapa kasus, tidak mengindahkan kesucian pura-pura dan warisan spiritual masyarakat Bali yang telah hidup berabad-abad sebelum kehadiran Majapahit.

Menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kearifan lokal, Sri Aji Kresna Kepakisan menetapkan sejumlah kebijakan yang berpihak pada pelestarian adat istiadat budaya Bali. Ia mengeluarkan peraturan yang ditunjukan kepada para menegaskan perlunya penghormatan terhadap adat istiadat setempat, termasuk pemeliharaan pura-pura sebagai pusat spiritual masyarakat. Kebijakan ini tidak hanya ditujukan kepada para bangsawan dan pejabat dari Jawa, tetapi juga kepada masyarakat Bali sendiri, termasuk komunitas Bali Aga, agar tercipta harmoni antara pemerintahan pusat dan nilai-nilai lokal. Langkah-langkah ini menjadi fondasi penting dalam membangun pemerintahan Bali yang berakar pada penghargaan terhadap budaya dan spiritualitas masyarakatnya. Beberapa kebijakan-kebijakan Sri Aji Kresna Kepakisan diabadikan dalan berbagai Lontar tradisional Bali, seperti Babad Pasek. [5]

Remove ads

Kematian

Sri Aji Kresna Kepakisan raja sekaligus pendiri Wangsa Kepakisan di Bali memerintah Kerajaan Bali dibawah naungan Majapahit selama 28 tahun tercatat sejak penobatannya menjadi raja pada tahun ri pùrnnna ning kàrttika çaka yogan muni kang nètra dè ning bhaskara (4 oktober 1352 Masehi) dan meninggal pada tahun 1380 Masehi tidak ada catatan yang menerangkan penyebab kematiannya, sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa upacara kematiannya berlangsung seperti seorang raja besar mengingat jasa-jasa beliau dalam menjaga dan melestarikan adat budaya bali asli.

Beliau sekarang di Dharmakan pada Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan yang berlokasi di kompleks Pura Agung Besakih pada bangunan Meru beratapkan Batu bertingkat 11, Pura Kawitannya terletak di bekas Istananya dahulu di desa Samprangan, Gianyar saat ini. Tahta kerajaan dilanjutkan oleh anak tersulungnya I Dewa Agung Agra Samprangan yang kemudian bergelar Sri Aji Agra Samprangan Kepakisan atau "Dalem Samprangan"[6]

Remove ads

Keluarga

Dalem Kresna Kepakisan tercatat memiliki 5 orang anak dari permaisurinya 4 diantaranya adalah laki-laki dan 1 perempuan. Beliau juga memiliki putra dari seorang istri keturunan brahmani namun karena suatu peristiwa anak tersebut di adopsi oleh Sira Arya Kenceng adipati pucangan (Tabanan sekarang).

Sebuah teks geografis oleh Manuel Godinho de Erédia dari Portugis (tahun 1600), menegaskan bahwa raja-raja (Bali) ini berasal dari Jawa Timur.[7]

Remove ads

Lihat pula

Referensi

Bacaan lebih lanjut

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads