Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Pedagang kaki lima

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Pedagang kaki lima
Remove ads

Pedagang kaki lima (disingkat PKL; bahasa Inggris: hawker) dalah pedagang kecil yang menjalankan usaha di tepi jalan, trotoar, atau ruang publik lainnya dengan menggunakan sarana sederhana seperti gerobak dorong, pikulan, atau tenda terpal di bawah naungan lima‑kaki (five‑foot way) yang dibangun pada era kolonial Belanda sekitar tahun 1811–1816, tak jarang di lokasi bekas trotoar selebar sekitar 1,5 meter; istilah "kaki lima" sendiri berasal dari penyebutan “five‑foot way” yang dalam bahasa Melayu diterjemahkan secara literal menjadi kaki lima, bukan merujuk pada jumlah kaki secara harfiah.[1][2][3]

Thumb
Gerobak pedagang kaki lima memenuhi pinggir jalan Jakarta.
Thumb
Pedagang kaki lima di Shanghai, Tiongkok.

Dalam praktiknya, pedagang ini menjual berbagai barang harian, mulai dari makanan ringan seperti gorengan dan siomay hingga hidangan berat seperti bakso, sate, atau nasi goreng dengan harga terjangkau, yang menjadi andalan ekonomi informal dan penyokong kehidupan masyarakat kelas bawah dan menengah.[4]

Pedagang kaki lima — atau hawker — sebenarnya bukan fenomena yang hanya ditemukan di Indonesia; bentuk-bentuk serupa juga hadir secara luas di berbagai negara, terutama di Asia tetapi juga di Amerika Latin, Eropa, dan Afrika. Di Jepang, misalnya, terdapat yatai, yaitu gerobak makanan keliling yang menawarkan ramen, tempura atau gyoza,[5] biasanya berdiri hanya pada malam hari di kota seperti Fukuoka sebagai tradisi yang dimulai sejak zaman Edo dan populer pasca‑Perang Dunia II.[6][7]

Remove ads

Etimologi

Istilah pedagang kaki lima (PKL) berakar dari istilah Inggris kolonial “five‑foot way”, yaitu jalur pejalan kaki tertutup selebar lima kaki (sekitar 1,5 m) yang diwajibkan oleh Thomas Stamford Raffles di Batavia antara tahun 1811–1816 sebagai bagian dari penataan kota kolonial.[8][9] Dari sudut linguistik Melayu, frasa “five-foot way” ini diterjemahkan secara literal dengan struktur keterangan-objek menjadi kaki lima (bukan lima kaki), sesuai ciri tata bahasa Melayu yang membalik urutan modifier dalam bahasa Inggris.[10] Kesalahpahaman ini lalu melekat sebagai sebutan bagi para pedagang yang menjajakan dagangannya di trotoar tersebut. Ada pula versi populer yang menyebut jumlah “lima kaki” sebagai metafora dari dua kaki pedagang ditambah tiga penopang gerobak dorong, namun pandangan ini cenderung merupakan folk etymology dan bukan fakta sejarah utama. Versi ini muncul sebagai mitos modern bahwa “dua kaki pedagang + satu tiang + dua roda = lima kaki.”[10]

Remove ads

Definisi

Pedagang kaki lima secara legal merujuk pada pelaku usaha yang menjalankan kegiatan perdagangan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, pada prasarana kota, fasilitas sosial, dan fasilitas umum milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara dan tidak menetap.[11] Pengertian ini diatur dalam Peraturan Daerah serta pedoman yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang penataan dan pemberdayaan PKL.[12]

Remove ads

Klasifikasi

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Penjual bakso keliling dengan gerobak terpasang di atas motor, termasuk contoh pedagang PKL bergerak

Pedagang kaki lima merujuk pada pelaku usaha informal yang melakukan perdagangan dengan menggunakan sarana bergerak maupun tidak bergerak di ruang publik seperti trotoar, emperan toko, dan fasilitas umum milik pemerintah atau swasta untuk waktu yang bersifat sementara.[13] Berdasarkan metode berdagang, PKL dapat dibagi menjadi PKL bergerak dan PKL menetap. PKL bergerak umumnya menggunakan gerobak dorong, sepeda, pikulan, atau bakul serta berkeliling mencari pelanggan, misalnya penjual bakso keliling atau pedagang kue tradisional menggunakan pikulan atau sangkai di kepala.[14] Sedangkan PKL menetap atau warung tenda adalah pedagang yang membuka lapak sementara di satu lokasi yang strategis, misalnya di pinggir jalan dengan tenda atau kanopi sederhana, seperti warung nasi goreng atau wedang kelapa yang berdiri di satu tempat selama jam tertentu.[15]

Selain berdasarkan mobilitas, PKL juga diklasifikasikan menurut jenis komoditas atau jasa yang ditawarkan. Kelompok terbesar dalah PKL bidang kuliner,[16] yang menjual makanan atau minuman siap santap seperti bakso, sate, martabak, nasi goreng, bubur ayam, serta minuman es cendol dan es doger. Kelompok kedua adalah PKL fesyen dan aksesoris, yang mencakup penjualan pakaian, sandal, tas, dan pernak‑pernik di area padat pejalan kaki seperti trotoar atau alun‑alun, dan jumlahnya cukup signifikan dalam data pendaftaran PKL di kota‑kota besar.[17]

Sejarah di Indonesia

Ringkasan
Perspektif

Era kolonial

Batavia (sekarang Jakarta) menjadi modal Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada awal abad ke-17. Segera setelah Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC menduduki kota pelabuhan Jayakarta, ia memulai konstruksi menggunakan metode Eropa. Pada pertengahan abad ke-17, Johan Nieuhof, menggambarkan bagaimana dua bangunan pasar berjalan sejajar dengan galeri pusat. Nieuhof lebih lanjut menyebutkan bahwa bangunan itu dibagi menjadi 'lima jalan' atau galeri. Telah berspekulasi bahwa 'lima jalan' adalah Kaki Lima, merujuk pada ruang daripada lebar bagian '.[18]

Ketika British East India Company (EIC) memerintah Hindia Belanda selama Perang Napoleon, Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Letnan-Gubernur Hindia Belanda pada tahun 1811–1815. Raffles berada di Batavia pada tahun 1811–1815 sebagai gubernur selama periode Java Inggris dan mungkin telah mengamati beranda, jalan kaki, dan atap terus menerus dari Batavia.[19] Telah diklaim bahwa Raffles memerintahkan pembangunan jalur pejalan kaki selebar sekitar lima kaki di depan pertokoan di Batavia.[20][21]

Thumb
Tentara Belanda membeli minuman pada pedagang kaki lima c. 1948

Raffles mendirikan Singapura modern pada tahun 1819, dan di sanalah jalur lima kaki menjadi ciri arsitektur yang benar-benar mengakar di kawasan tersebut. Ia memasukkan elemen ini beserta rincian lainnya dalam Town Plan 1822, atau Rencana Jackson.[22] Raffles mengeluarkan serangkaian instruksi tentang bagaimana koloni baru tersebut seharusnya diatur dalam rencana untuk Singapura pada tahun 1822. Ia menetapkan bahwa bangunan-bangunan di koloni yang baru didirikan harus seragam dan dibangun menggunakan bata serta genteng untuk mengurangi risiko kebakaran. Ia menambahkan:

"...kenyamanan tambahan akan diberikan kepada publik dengan mewajibkan setiap rumah memiliki veranda dengan kedalaman tertentu, yang selalu terbuka sebagai jalur pejalan kaki yang berkelanjutan dan beratap di setiap sisi jalan."[23]

Fitur ini kemudian dikenal sebagai jalur lima kaki, dan ciri khas rumah toko di Singapura ini sudah dapat diamati sejak tahun 1840-an melalui gambar-gambar buatan juru ukur dan insinyur John Turnbull Thomson. Para pemegang sewa lahan diwajibkan menyediakan jalur pejalan kaki umum dengan lebar tertentu di depan toko dan rumah mereka. Ketika lantai dua dibangun di atas jalur pejalan kaki tersebut, terbentuklah lorong beratap yang berkesinambungan di sepanjang jalan.[24]

Thumb
Pedagang kaki lima di Batavia, c. 1934

Pada awal abad ke‑20, pedagang kaki lima di Batavia telah menjadi fenomena ekonomi perkotaan yang signifikan dan kompleks. Pada masa itu PKL kerap memanfaatkan trotoar selebar lima kaki, yang awalnya dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda atas perintah Raffles, sebagai lokasi berjualan informal. Mereka menjajakan barang kelontong, buku, mainan, dan obat-obatan dengan teriakan khas demi menarik perhatian pembeli, yang kemudian menimbulkan ketegangan dengan pemerintah kota kolonial karena dianggap mencemari citra kota dan mengganggu ketertiban publik. Ketika pemerintah secara rutin melakukan penertiban, termasuk pengusiran massal, tokoh pribumi seperti Abdoel Moeis menyuarakan protes formal di Dewan Kota pada tahun 1918, mencatat bahwa pedagang diusir karena dianggap kotor oleh penduduk Belanda yang tidak ingin melihat mereka di dekat hunian elit. Susan Blackburn mencatat pula bahwa jumlah PKL meningkat tajam pada masa depresi 1930-an, dan pada permulaan era kemerdekaan jumlah mereka semakin meluas, hingga Dewan Perwakilan Kota Sementara pada dekade 1950-an menyebut PKL sebagai sumber utama konflik urban karena keterbatasan ruang, sehingga upaya relokasi yang dicoba gagal akibat kota sulit menyediakan lahan baru yang strategis.[25]

Pasca-kemerdekaan

Thumb
Gerobak kaki lima di Ambon, c. 1986

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, PKL telah menjadi bagian penting dari ekonomi informal kota-kota besar, khususnya Jakarta. Setelah kemerdekaan dan memasuki era Orde Lama, jumlah PKL meningkat tajam sebagai respons terhadap krisis ekonomi dan inflasi tinggi, di mana pemerintah mencoba menertibkan pedagang melalui Dewan Perwakilan Kota Sementara yang bahkan menyebut PKL sebagai sumber konflik urban karena dianggap mengganggu keteraturan kota; upaya relokasi sering gagal karena keterbatasan lahan strategis yang tersedia di kota untuk menampung mereka.[25][26] Memasuki tahun 1960-an, stigma terhadap PKL makin buruk dengan tuduhan bahwa cara berdagang mereka “primitif” dan merusak citra kota, sementara tokoh pers seperti Mayapada menyatakan, “Sebagian dari pedagang-pedagang kita baru mampu berkaki lima” sebagai bentuk empati terhadap kondisi sosial mereka.[25]

Thumb
Pedagang kaki lima di Surabaya, c. 2010

PKL di kota-kota besar Indonesia berkembang pesat sebagai respons terhadap urbanisasi masif dan terbatasnya lapangan kerja formal, sementara pemerintah menekankan pembangunan infrastruktur dan modernisasi. Kebijakan ambivalen diterapkan, PKL dibatasi melalui razia reguler karena dianggap merusak ketertiban kota, tapi tetap dianggap penting sebagai penyokong ekonomi rakyat kecil.[26] PKL digambarkan menjadi objek penertiban dan relokasi, meski pendekatannya seringkali dianggap represif dan tidak inklusif dalam penetapan lokasi atau fasilitas alternatif.[27] PKL telah menjelma sebagai pilar utama ekonomi informal yang menyerap tenaga kerja urban dan menopang ekonomi rumah tangga. Di kota-kota seperti Jakarta dan Depok, PKL menyumbang persentase besar dari tenaga kerja sektor informal, yang BPS laporkan mencapai hingga 58 persen dari total angkatan kerja Indonesia.[28]

Remove ads
Ringkasan
Perspektif

India

Thumb
Pedagang buah di India

Sejak masa kolonial dan terus berkembang hingga era pasca-kemerdekaan, pedagang kaki lima, atau lebih dikenal di India sebagai street vendors, telah menjadi tulang punggung ekonomi informal dan budaya urban India; mereka menyediakan berbagai barang seperti makanan ringan (chaat, kulfi, phuchka), minuman (chai, jus), sayuran, koran, dan kerajinan tangan melalui gerobak dorong, pikulan, atau habitat trotoar yang berpindah-pindah. Ekonominya sangat besar: diperkirakan sekitar 10 juta pedagang yang mempekerjakan diri mereka sendiri, menjadikan vending kaki lima menyumbang sekitar 14% dari total pekerjaan informal perkotaan di India — sebuah kontribusi signifikan terhadap ketahanan hidup urban keluarga migran dan perempuan marjinal.[29][30] Pedagang kaki lima memfasilitasi rantai nilai bagi industri kecil dan rumah tangga dengan memasarkan barang-barang buatan lokal di tingkat akar rumput, menciptakan keterkaitan antara produksi mikro dan konsumsi urban.[31][32]

Studi di Delhi menemukan hanya 3% vendor yang menggunakan sarung tangan, dan sebagian besar tidak mencuci tangan sebelum maupun sesudah menangani makanan; banyak pula yang menggunakan tempat sampah terbuka dan terlihat lalat di 45% lokasi.[33] Di Kolkata, survei di sekitar rumah sakit besar menunjukkan bahwa meskipun pedagang cukup memahami konsep kebersihan dan penyakit bawaan makanan, praktik nyata cenderung buruk, kurang dari sepertiga yang menerapkan tindakan kebersihan yang bisa diterima secara saintifik.[34] Bahkan di Jaipur, studi pada penjual momo mendapati hampir semua vendor menangani makanan dengan tangan kosong tanpa apron, serta 65 % tidak memisahkan bahan mentah dan matang; sekitar 37% lokasi dikerumuni lalat, dan 18% terdapat hama seperti kecoa dan tikus.[35] Praktik buruk lainnya termasuk penyimpanan makanan sisa hingga hari berikutnya, penggunaan minyak goreng yang terlalu sering digunakan ulang, dan pencucian alat dengan air kotor yang dibuang langsung ke jalan, seperti didokumentasikan di Hyderabad dan Kolkata.[36]

Tiongkok

Thumb
Pedagang kaki lima di Tiongkok

Di Tiongkok, pedagang kaki lima pernah menjadi simbol ekonomi informal yang berkembang sejak Dinasti Tang dan mencapai kemajuan signifikan pada era Dinasti Song, ketika malam hari pasar dan pedagang keliling tumbuh pesat di ruas kota besar seperti yang tergambar dalam lukisan Along the River During the Qingming Festival; mereka menjual makanan ringan, sayuran, barang kebutuhan sehari-hari, serta kerajinan tangan secara bergerak dari titik ke titik.[37] Setelah revolusi 1949, aktivitas ini dilarang sebagai “aktivitas kapitalis” dan sebagian besar pedagang dipaksa menghilang dari kehidupan kota hingga reformasi ekonomi 1978, yang membuka kembali ruang informal seperti pasar di Yiwu awal 1980-an, yang dimulai dari seorang pedagang kecil bernama Feng Aiqian dan akhirnya berkembang menjadi Yiwu International Trade City, pasar skala global.[38] Secara ekonomi, jasa kaki lima menyediakan lapangan kerja penting terutama bagi migran perkotaan — diperkirakan setengah pekerja urban bekerja di sektor informal pada awal 2000-an, dan dianggap sebagai motors utama penyedia kebutuhan konsumen lokal, mulai dari makanan, buah, minuman, pakaian murah, hingga elektronik kecil.[39][40] Selama pandemi COVID‑19, pemerintah nasional dan lokal seperti di Chengdu bahkan mendukung pengembangan “street‑stall economy” dengan membuka ribuan lapak kaki lima resmi untuk mengatasi pengangguran, sementara gengsi kembali diangkat oleh pernyataan Perdana Menteri Li Keqiang bahwa hawkers merupakan “sumbi kehidupan” ekonomi pasca‑pandemi.[41]

Malaysia

Thumb
Hawker stall di George Town, Penang c. 2024

Di Malaysia, pedagang kaki lima, terutama dikenal sebagai hawker center, pasar malam, atau mamak stalls telah menjadi bagian integral dari kehidupan kota sejak era kolonial dan berkembang pesat setelah kemerdekaan; mereka menjual makanan lokal murah seperti char kway teow, asam laksa Penang, roti canai, teh tarik, buah-buahan, serta kebutuhan sehari-hari lain di gerobak, tenda malam, atau kios sementara seperti di pasar malam dan pusat hawker center.[42][43] Secara ekonomi, hawker menyumbang lapangan kerja penting di sektor informal perkotaan, terutama bagi mereka dengan modal kecil, dan menjembatani antara produk rumah tangga dan konsumsi warga urban; khususnya di kawasan seperti Penang dan Kuala Lumpur, bisnis ini menjadi pusat interaksi sosial-ekonomi yang mendukung keluarga migran dan perempuan.[44] Pasar malam yang terbuka hingga larut malam dan hawker centre yang difasilitasi oleh pemerintah, seperti pusat di Gurney Drive, George Town menjadi ikon kuliner dan simbol daya tarik wisata Malaysia, memadukan tradisi gastronomi Melayu, Tionghoa, dan India di satu tempat.[45][46] Para hawker merupakan jawaban ekonomi informal yang cepat bagi migran tanpa modal besar, menyediakan makanan murah seperti satay, nasi kandar, char kway teow, roti canai, serta buah segar, dibawa dari tradisi makanan India, Melayu, dan Tionghoa dan disesuaikan secara lokal sejak awal abad ke‑20.[47] Secara ekonomi, pedagang kaki lima kini menyumbang sekitar 15 % dari tenaga kerja informal nasional (tahun 2023), dan informal sector sendiri mewakili hampir 10% total angkatan kerja Malaysia (15,8 juta) — sekitar 73 % dari pedagang berada di kawasan perkotaan.[48]

Singapura

Thumb
Hawker centre di Singapura, c. 1973-1974

Sejak awal abad ke-19, Singapura telah diramaikan oleh pedagang keliling dari imigran Tionghoa, Melayu, India, dan lainnya yang menjajakan makanan seperti satay, roti prata, kopi, dan kue lokal di trotoar dan pasar terbuka; mereka memanfaatkan modal kecil dan menciptakan fondasi cita rasa khas lokal yang kemudian menjadi identitas gastronomi negeri ini.[49] Seiring pertumbuhan kota dan meningkatnya masalah sanitasi serta lalu lintas pada 1950-an dan awal periode kemerdekaan, pemerintah kolonial membentuk komisi dan mulai membangun hawker shelters pada 1922, yang kemudian berkembang menjadi pusat hawker resmi, yaitu pusat makanan terbuka yang terintegrasi dengan pasar basah yang dimulai pada 1971 di Jurong (sekarang Taman Jurong Market & Food Centre) dan hampir seluruh pedagang jalanan dipindahkan ke dalam hawker centres hingga 1985.[50] Keberadaan lebih dari 110 pusat hawker di seluruh pulau saat ini berfungsi sebagai “ruang makan komunitas” yang menyediakan makanan terjangkau, mendorong kohesi sosial antarras, dan memperkaya identitas nasional dengan melestarikan ragam makanan warisan seperti chicken rice, laksa, rojak, dan satay.[51][52] Pada Desember 2020, budaya hawker resmi diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda, menegaskan nilai budaya lintas-etnik ini dan memahami betapa luas dukungan masyarakat terhadap pencalonannya yang memadukan komunitas, makanan, dan ruang publik bersama-sama.[53]

Amerika Serikat

Thumb
Stand hot dog dekat Grand Central Station, New York c. 2022

Sejak masa kolonial — dengan catatan bahwa pada 1707 New York City pernah secara resmi melarang pedagang jalanan karena dianggap mengganggu dan tidak higienis — pedagang kaki lima seperti penjual tiram, jagung bakar, buah, dan kue di Savannah dan New Orleans telah menjadi bagian penting dari ekonomi informal Amerika Serikat.[54] Pada pertengahan abad ke-19, imigran Jerman, Italia, Yahudi Timur-Eropa, dan Latin memperkenalkan inovasi kuliner seperti pretzel, bagel, hot dog, tamales, empanada, dan chop suey lewat pushcarts (translit. gerobak dorong) di New York, Chicago, Los Angeles, dan kota lainnya.[55] Pushcart era menjamur hingga awal abad ke-20: di New York terdapat ribuan pedagang jalanan, 2.500 sekitar 1900, meningkat jadi lebih dari 14.000 di tahun 1930-an yang melayani pekerja industri dan komunitas imigran dengan makanan murah dan mudah diakses.[56] Keberadaan hawker ini telah melahirkan ikon seperti hot dog Nathan’s Famous (dimulai di Coney Island 1916) dan Halal Guys di Manhattan (didirikan 1990 sebagai pushcart yang populer di kalangan sopir taksi Muslim).[57]

Thumb
Pedagang kaki lima di New York menjajakan hot dog dan pretzel, c. 2006

Di New York saja ada sekitar 20.000 pedagang kecil yang menyumbang hampir $293 juta terhadap ekonomi kota dan menyediakan hampir 18.000 pekerjaan, meski banyak yang legalitasnya tidak jelas karena pembatasan izin yang ketat.[54] Dalam dekade terakhir model street food terus berevolusi sejak food truck yang naik daun pada tahun 2000-an hingga tren pasar malam dan festival kuliner, menjadikan street food tidak sekadar bertahan sebagai pilihan murah, tetapi kini identitas budaya, wisata gastronomi, dan perwujudan kreativitas kuliner, meskipun regulasi kesehatan sering menjadi tantangan besar.[55] New York City, khususnya kawasan Elmhurst, Queens, menyelenggarakan Indonesian Food Bazaar bulanan sejak hampir satu dekade, menghadirkan stand seperti Taste of Surabaya yang menawarkan nasi kuning, pempek, bakso, cendol, dan jajanan rumahan lainnya; bazaar ini telah menjadi platform utama bagi komunitas Indonesia-Amerika dan pecinta masakan Nusantara di AS guna memperkenalkan ragam makanan tradisional yang belum banyak dikenal luas.[58]

Remove ads

Galeri

Lihat pula

Referensi

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads