Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Operasi Damai Cartenz
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Operasi Damai Cartenz (sebelumnya Operasi Nemangkawi) adalah operasi gabungan yang diluncurkan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Papua. Berdasarkan pernyataan resmi Polri, operasi ini dimulai pada 17 Januari 2022 dan berlangsung hingga akhir Desember 2022, menggantikan Satgas Nemangkawi yang masa tugasnya berakhir pada 25 Januari 2022.[14] Kegiatan ini dijalankan di bawah koordinasi Polda Papua, dengan dukungan 1.824 personel Polri (termasuk 524 dari Polda Papua dan 1.296 dari Mabes Polri) serta 101 personel TNI, dengan tujuan utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat lewat pendekatan preventif dan preemtif, serta penguatan intelijen dan hubungan masyarakat lewat Binmas Noken.[15]
Fokus utama operasi adalah penerapan strategi yang menekankan pendekatan humanis. Menurut Kapolda Papua Irjen Pol. Mathius Fakhiri, tindakan aparat lebih banyak bersifat defensif, bukan ofensif, untuk meminimalkan bentrokan langsung dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).[16] Operasi ini juga mendukung pembinaan sosial, di mana personel dilibatkan dalam kegiatan masyarakat seperti penyuluhan, pelatihan sektor pertanian, peternakan, dan pendidikan, serta melibatkan tokoh agama, adat, dan masyarakat dalam upaya mendeteksi dini dan menjaga hubungan yang kondusif.[14]
Sepanjang tahun 2024, Operasi Damai Cartenz berlanjut dengan penambahan wilayah operasi dan penegakan hukum terhadap jaringan pemasok senjata. Data Satgas Damai Cartenz mengklaim bahwa dalam periode tersebut, setidaknya 27 anggota KKB tewas dan 18 anggota TNI/Polri serta warga sipil menjadi korban dalam konflik bersenjata.[17][18] Satgas juga berhasil menggagalkan berbagai penyelundupan senjata dan amunisi ke kelompok bersenjata, termasuk pengungkapan terhadap pemasok dari oknum aparat.[19]
Remove ads
Latar belakang
Ringkasan
Perspektif
Konflik Papua
Pemberontakan Papua berakar dari proses dekolonisasi yang tidak mulus: pada masa Belanda, zona Nugini Belanda (Papua) sempat dijanjikan kemerdekaan, bahkan pada 1 Desember 1961 bendera Bintang Kejora dan lagu “Hai Tanahku Papua” dikibarkan, tetapi kemudian alih status menuju Indonesia via Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan pelaksanaan Pepera pada 1969, yang hasilnya dipahami kontroversial oleh kelompok Papua pro-kemerdekaan.[20] Rasa ketidakpuasan atas proses ini memicu lahirnya perlawanan. Pada Desember 1963 muncul kelompok spiritual anti-pembangunan dan pro-kemerdekaan, dipelopori Aser Demotekay di Demta, lalu difragmentasi oleh faksi Manokwari pimpinan Terianus Aronggear pada 1964 yang secara resmi menamakan diri “Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat” yang kemudian dikenal sebagai OPM.[21]
Dalam perkembangannya, OPM mengalami transformasi dari gerakan spiritual (kargokultus) menuju perjuangan bersenjata. Faksi Aser Demotekay awalnya menolak kekerasan, tetapi Jacob Prai yang merupakan anggota Aser melakukan pendekatan lebih radikal termasuk jalur perlawanan bersenjata.[20] Sementara itu, faksi Terianus di Manokwari fokus pada tindakan militer dan politik: mereka sempat mengirimkan dokumen ke PBB menolak status integrasi melalui Perjanjian New York dan merancang kabinet Papua Barat.[22] Konflik langsung pun meletus: insiden penyerangan barak militer di Manokwari pada Juli 1965 tercatat sebagai aksi bersenjata pertama OPM, diikuti operasi militer besar dari pemerintah Indonesia, seperti Operasi Bharatayudha (1966–67) dan Operasi Wibawa (1969).[23][24]
OPM kemudian berkembang menjadi jaringan militan tersebar (TPNPB-OPM), melakukan aksi gerilya sporadis, pembakaran, dan ancaman terhadap infrastruktur seperti tambang dan fasilitas publik.[25]
Pendahuluan langsung
Pada awal 2010-an, situasi keamanan di Papua kembali memanas setelah sempat relatif tenang pada akhir dekade 1990‑an. Terjadi beberapa insiden penyerangan terhadap personel TNI/Polri dan pekerja proyek, terutama di kawasan pertambangan dan konstruksi. Misalnya, pada Januari dan Juli 2010 terjadi serangkaian penembakan di sekitar tambang Grasberg yang menyebabkan beberapa korban pada pekerja Freeport,[26] meski OPM membantah bertanggung jawab, diikuti oleh bentrokan, pembakaran rumah, dan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat militer yang menggelar operasi balasan di desa-desa sekitar Mulia dan Goliath Tabuni.[27]
OPM dan sayap militernya TPNPB mempertahankan pola gerilya jangka panjang melalui struktur komando yang terfragmentasi, yang memungkinkan adanya beberapa pemimpin lokal seperti Goliath Tabuni dan Egianus Kogoya.[28] Hingga 2015, konflik diliputi oleh motif ideologis sekaligus menolak berbagai proyek infrastruktur dan tambang, termasuk demonstrasi terhadap jalan Trans-Papua dan pembatasan akses media asing, seiring dengan kebijakan pemerintah era Jokowi sejak 2014 yang mendorong kebijakan membangun konektivitas Papua tapi memicu resistensi bersenjata.[29]
Pada 2 Desember 2018, menyusul tragedi Pembantaian Nduga terhadap para pekerja PT Istaka Karya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Presiden Joko Widodo menerbitkan instruksi langsung kepada Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Tito Karnavian untuk membentuk dan menindaklanjuti operasi yang kelak dikenal sebagai Satgas Nemangkawi.[30]

Remove ads
Referensi
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads