Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Teuku Ben Mahmud
pahlawan nasional Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Teuku Bentara Mahmud Setia Raja, lebih dikenal sebagai Teuku Ben Mahmud atau Teuku Ben Blangpidie, adalah seorang panglima perang dan ulèëbalang dari Aceh yang memimpin perlawanan gerilya besar terhadap kolonialisme Belanda selama lebih dari satu dasawarsa. Lahir sekitar tahun 1860 di Blangpidie, ia diangkat langsung oleh Sultan Aceh sebagai Wakil Sultan Aceh di Blangpidie, dengan gelar resmi “Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja, berkuasa memegang hukum dengan adat dan wali dan lain-lain.”[1]
Ia dikenal sebagai tokoh yang menolak keras Korte Verklaring dan jabatan Zelfbestuurder, serta memimpin perlawanan di wilayah pesisir barat Aceh hingga ke dataran tinggi Gayo, Tanah Alas, dan perbatasan Tanah Batak. Teuku Ben Mahmud juga menjalin aliansi strategis dengan pejuang Batak, Sisingamangaraja XII, sebagai simbol solidaritas antaretnis dalam perjuangan melawan penjajahan.
Karena pengaruhnya yang luas, ia akhirnya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Maluku Utara. Di sana, ia tetap menjadi pemimpin moral dan dikenal oleh masyarakat setempat sebagai "Tete Aceh". Ia wafat pada 28 Maret 1974 dalam usia sekitar 114 tahun, dan dimakamkan di Bukit Rahmat, Saramaake, Wasile Selatan, Halmahera Timur.[2]
Remove ads
Kehidupan awal
Ringkasan
Perspektif
Teuku Bentara Mahmud lahir di Kuta Tuha, Blangpidie, Aceh Barat Daya sekitar tahun 1860. Ayahnya bernama Teuku Bentara Nyak Abbas (juga disebut Teuku Ben Abbas) bin Teuku Bentara Nyak Seri Agam (juga disebut Teuku Ben Agam atau Nyak Ben, pendiri Kota Blangpidie)[3] yang berasal dari Mukim Gampong Lhang, Pidie.
Saat masih muda, Teuku Ben Mahmud digelari oleh Datuk Susoh dengan sebutan Anak Bergumbak. Gelar ini kerap digunakan oleh para pangeran Minangkabau. Datuk Susoh yang berjumlah lima orang yaitu Datuk Tuha, Datuk Baginda, Datuk Kabong (Datuk Baru), Datuk Rawa dan Datuk Pawoh[4] seterusnya menyampaikan Datuk Balimo Taraso Baranam dengan Anak Bergumbak.[1] Pada tahun 1882, Teuku Ben Mahmud diangkat oleh Sultan Aceh menjadi uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja.
Pada awal abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Kuta Batee antara beberapa pemimpin koloni dari Pidie dengan Aceh Besar. Hingga kemudian Tuanku Pangeran Husein bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1836-1869) dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai sekaligus memberikan cap seuteungoh kepada Teuku Ben Abbas dari trah Pidie sebagai uleebalang Kuta Batee yang selanjutnya disebut Blangpidie yang merdeka dari Kenegerian Susoh.
Setelah Teuku Ben Abbas meninggal dunia, kepemimpinan kenegerian Blangpidie dilanjutkan oleh Teuku Ben Mahmud. Namun dikarenakan Teuku Ben Mahmud masih kecil. Pemerintahan dkendalikan oleh pamannya bernama Teuku Nyak Sawang gelar Raja Muda Blang Pedir yang bertindak sebagai pemangku raja Blangpidie sekaligus uleebalang Pulau Kayu.
Teuku Nyak Sawang mendapuk dirinya sebagai Zelfbestuur Landschappen Pulau Kayu-Blangpidie setelah menandatangani korte verklaring pada tanggal 9 Maret 1874 dan dikukuhkan pada tanggal 27 Juli 1874. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang, uleebalang Pulau Kayu dijabat oleh anaknya; Teuku Raja Cut.
Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulau Kayu bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulau Kayu yang bernama Teuku Nyak Seh yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Tok Gam. Pulau Kayu kala itu menjadi pelabuhan satu-satunya Blangpidie yang bersebelahan langsung dengan Bandar Susoh.
Saat Teuku Ben Mahmud menunjukkan sikap perlawanan terhadap Belanda pada saat mereka memasuki Aceh pada tahun 1873, Teuku Nyak Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tahun 1874 di saat kunjungan Divisi Laut Belanda ke Pantai Barat Aceh yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang, Teuku Ben Mahmud menikah dengan janda Teuku Nyak Sawang bernama Cut Meurah binti Teuku Pang Chik. Cut Meurah yang merupakan uleebalang cut Kuta Tuha adalah sosok yang mengubah nama Kuta Batee menjadi Blangpidie.
Teuku Ben Mahmud memiliki empat orang istri di Aceh yaitu Cut Meurah, Cut Halimah Mata Ie, Cut Gadih dan Cut Linggam. Putra pertamanya bersama Cut Meurah, istri pertama lahir pada tahun 1884 dan diberi nama Teuku Banta Sulaiman, putra mahkota Blangpidie.
Pada tahun 1882, Teuku Ben Mahmud ditunjuk oleh Sultan Muhammad Daud Syah sebagai uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Namun, Belanda baru mengakuinya setelah ia turun gunung pada tahun 1908. Meskipun demikian, Teuku Ben Mahmud menolak menjadi Zelfbestuurder van Blangpidie. Jabatan itu ia serahkan kepada putranya; Teuku Banta Sulaiman. Adapun Teuku Umar bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Pulau Kayu dan Teuku Muhammad Daud bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Guhang dengan gaji 25 Gulden. Gaji ini lebih tinggi daripada gaji uleebalang cut lainnya di Pantai Barat Selatan Aceh
Keluarga mendiang Teuku Nyak Sawang pernah mengajukan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar negeri Pulau Kayu menjadi negeri otonom yang terpisah dari Blangpidie. Pada tanggal 12 Oktober 1880 dibuatlah sebuah pernyataan bahwa negeri Pulau Kayu akan dipisahkan dari Blangpidie, pernyataan tersebut disetujui oleh Belanda dan diratifikasi ke dalam Akta Nomor 24 Tanggal 26 Maret 1881. Kemudian berlanjut pada masa Teuku Raja Cut yang dideklarasi pada tanggal 8 November 1900 dan Akta pengukuhan tanggal 22 April 1901 yang disetujui dan diratifikasi dalam Akta Nomor 10 Tanggal 15 Juni 1901.
Namun akta persetujuan dan pengesahan tersebut tidak jadi diterbitkan karena Teuku Nyak Cut (pemangku dari Teuku Umar bin Teuku Raja Cut) meninggal dunia, sehingga wilayah Pulau Kayu secara bertahap kembali menjadi bagian dari Blangpidie dan seterusnya keturunan Teuku Ben Mahmud dianggap sebagai penguasa wilayah tersebut atau Zelfbestuurder Blangpidie.[5]
Remove ads
Perjuangan Melawan Kolonialisme
Ringkasan
Perspektif
Sejak Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada 26 Maret 1873, Teuku Ben Mahmud terus menunjukkan sikap perlawanan menentang keberadaan Belanda di Aceh. Teuku Ben sejak muda selalu mendukung dan membantu upaya perlawanan terhadap Belanda. Bahkan saat remaja, ia secara tegas juga tidak mengakui kekuasaan Belanda di Aceh serta menolak bekerjasama dengan Belanda.[6]
Ia dikenal sebagai panglima yang menolak keras Korte Verklaring, sebuah perjanjian kolonial, serta menolak jabatan Zelfbestuurder (penguasa lokal di bawah Belanda). Penolakannya menjadi pernyataan perang terbuka terhadap kolonialisme. Selama periode 1899–1908, ia memimpin perang gerilya paling strategis dan masif di wilayah-wilayah seperti Trumon, Kluet, Tapaktuan, Meukek, Labuhan Haji, Manggeng, Tangan-Tangan, Blangpidie, Kuala Batee, Tripa dan Seunagan. Bahkan pergerakannya menjangkau Dataran Tinggi Gayo, Tanah Alas, hingga Tanah Batak.
Pasukannya dijuluki "pasukan klewang", dan taktiknya oleh Belanda disebut sebagai "serangan bayangan". Selama 1899–1908, Belanda kehilangan 760 pucuk senjata api dan meriam dalam serangan-serangannya. Dalam laporan militer kolonial, ia disebut sebagai "gerilyawan paling berbahaya di pantai barat, tak dapat dilacak, tak dapat didamaikan".[2]
Pada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Teuku Larat uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda. Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan Teuku Banta Sulaiman putra Teuku Ben Mahmud. Penyerangan itu dikenal dengan nama Perang Jambo Awe, dikarenakan penyerangan itu dipimpin panglima Teuku Ben Mahmud bernama Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan.
Pada Tahun 1900, pasukan marsose Belanda berhasil memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi (bivak) marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya dari hulu Tripa hingga hulu Singkil.Teuku Ben Mahmud memimpin gerilya di barat selatan Aceh dan menghadapi marsose Belanda dibantu juga oleh pasukan khusus Kesultanan Aceh dari Gayo dan Alas.
Pada periode 1900–1907, Teuku Ben Mahmud memimpin perlawanan gerilya di wilayah Blangpidie, Gayo Lues, dan Tapaktuan dengan strategi militer yang dikenal sangat efektif. Ia merekrut prajurit dari kalangan masyarakat Gayo dan Alas yang memahami medan pegunungan dan hutan rimba. Pasukannya memanfaatkan rawa, gua, dan tebing untuk membangun pertahanan alami (disebut kurok-kurok), serta melancarkan serangan mendadak pada malam hari.
Salah satu serangan besar terjadi pada tanggal 7 April 1901 di Blangpidie, saat sekitar 500 pejuang yang dipimpinnya mengepung bivak Belanda. Serangan ini membuat pasukan kolonial di bawah Letnan Helb kocar kacir.[7] Pasukan yang membantu Teuku Ben Mahmud terdiri atas beberapa orang Gayo yang terkenal dan gagah berani antara lain Ang Bali dari Cane Toa, Raja Chik Padang, dan Raja Chik Pasir.
Pada tahun 1905, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 pejuang menyerbu markas Belanda di Tapaktuan. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Ben Mahmud dibantu oleh panglima-panglima yang gigih dan tangguh antara lain Haji Yahya dari Aluepaku, Sawang, Said Abbdurrahman dari Pasie Raja dan Teuku Cut Ali dari Trumon. Serangan tersebut menyebabkan kerugian besar di pihak Belanda, termasuk tewasnya beberapa perwira dan sersan. Taktik yang digunakan meliputi penyerbuan klewang, penggelindingan batu dari ketinggian, serta pembakaran bivak lawan.[8]
Di tahun yang sama, pasukan Teuku Ben yang dipimpin Tengku Idris dari Nagan Raya juga menyerang rombongan kontrolil Belanda yang sedang mengutip blestenk (pajak rakyat) di Kuta Buloh, Meukek. Penyerangan ini menewaskan beberapa serdadu Belanda. Aksi tersebut membuat Belanda melakukan sweeping secara ketat, sehingga membuat Tengku Idris dan beberapa pasukan Teuku Ben lainnya tertangkap dan dibuang ke Ternate, Maluku Utara. Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia 1978-1988 dr. H. Abdul Gafur bin H. Abdul Hamid Tengku Idris, adalah cucu Tengku Idris, panglima Teuku Ben Mahmud.
Selain itu, Teuku Ben Mahmud juga menjalin hubungan strategis dengan pemimpin perlawanan rakyat Batak, Sisingamangaraja XII, yang tengah memimpin gerilya melawan Belanda di wilayah Tapanuli. Teuku Ben Mahmud ini tidak hanya memberikan dukungan moral dan politik, tetapi juga mengirimkan bantuan militer dari Aceh ke wilayah Dairi dan sekitar perbatasan Singkil–Pakpak Bharat, untuk memperkuat barisan pejuang Batak.
Pada awal tahun 1907, Teuku Ben Mahmud bersama sekitar 150 pejuang Gayo dan Alas berangkat dari Tapaktuan untuk membantu perjuangan Sisingamangaraja XII di wilayah Dairi dan Pakpak Bharat. Aliansi ini merupakan lanjutan dari hubungan persahabatan lama, sejak Si Singamangaraja XII berlatih strategi perang di Keumala, Pidie, bersama Tuwanku Hasyim Banta Muda. Pasukan Aceh yang dipimpin Teuku Ben Mahmud bergabung menjaga markas gerilya, melatih laskar Batak, menyerang bivak Belanda, serta menghancurkan fasilitas kolonial di sekitar Sungai Cenendang dan Simsim.
Kolaborasi ini menjadi simbol persatuan perlawanan lintas wilayah dan etnis. Namun, pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran di hulu Sungai Sibulbulon. Pasukan Aceh tetap mendampingi hingga akhir dan sebagian berhasil menyelamatkan anggota keluarganya.
Langkah ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme tidak bersifat sektoral, melainkan melibatkan kerja sama lintas wilayah antara Aceh dan Tapanuli. Kolaborasi tersebut juga melahirkan jaringan logistik dan komunikasi antara dua wilayah yang sama-sama sedang berada dalam tekanan militer dari Hindia Belanda. Sejumlah arsip Belanda dan sumber lokal mencatat bahwa pasukan Aceh berada di kawasan Cenendang dan turut serta dalam aksi pengepungan atau pelolosan pasukan Batak dari kejaran kolonial.
Kerja sama ini dipandang sebagai simbol persaudaraan perjuangan antaretnis dan antarkerajaan di Nusantara, yang memperkuat semangat perlawanan nasional sebelum lahirnya organisasi kebangsaan modern.[9]
Belanda menghadapi kesulitan besar melacak keberadaan pasukan Ben Mahmud, karena ia kerap berpindah ke wilayah Gayo Lues, lalu muncul kembali secara tiba-tiba untuk menyerang. Ia dikenal sebagai ahli strategi gerilya yang menghindari konfrontasi terbuka, namun konsisten menimbulkan kerugian besar di pihak musuh.
Pada Juni 1908, Belanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben termasuk istri Teuku Ben, putra mahkota Teuku Banta Sulaiman beserta 100 orang pengikutnya. Atas bujukan Kapitein W.B.J.A. Scheepens dan Kapitein H. Colijn, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya pada Juli 1908 akhirnya terpaksa turun gunung dengan membawa 17 pucuk senjata dan menghentikan gerilyanya dengan syarat Belanda harus melepaskan sandera dan mengembalikan pejuang Aceh yang mereka buang ke luar Aceh. Namun, sejumlah pasukan bekas anak buahnya tetap melanjutkan perlawanan secara sporadis setelah itu.
Meskipun telah turun gunung, Teuku Ben Mahmud tetap diawasi oleh Belanda. Ia menolak tawaran jabatan dari Belanda dan menetap di Blangpidie, membina generasi muda secara spiritual dan kultural. Meski tidak lagi berperang, ia menjadi simbol moral para mantan pejuang.[2] Secara diam-diam Teuku Ben masih terus menyemangati pejuang Aceh bahkan sempat memerintahkan untuk membunuh seorang mata-mata Belanda bernama Keurani Hamid. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud dan beberapa keluarganya akhirnya dibuang ke Halmahera, Maluku menggunakan kapal Van Doorn antara tahun 1911-1914.[10]
Meskipun Teuku Ben Mahmud diasingkan, namun perjuangannya tetap diteruskan oleh putranya bernama Teuku Karim bin Teuku Bentara Mahmud dan mantan panglima Teuku Ben Mahmud: Cut Ali dan pejuang-pejuang lain. Begitupun peristiwa 11 September 1926 atau penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie oleh pasukan Teungku Peukan juga dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh semangat perjuangan Teuku Ben Mahmud.
Putra sulung Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman juga diasingkan oleh Belanda dan dibuang ke Peureulak, Aceh Timur antara tahun 1916-1919 lalu dipindahkan ke Kutaraja hingga masuknya Jepang ke Aceh baru ia bisa kembali pulang ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan melawan Belanda hingga masuknya Jepang pada tahun 1942
Sepeninggal Teuku Banta Sulaiman, pada 30 Oktober 1917 kepemimpinan kenegerian Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada 11 Oktober 1929, Zelfbestuurder van Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya revolusi sosial pasca kemerdekaan Indonesia. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (Zelfbestuurder van Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam rumah Haji Chek Ahmad yang berdekatan dengan kediaman Teuku Sabi di Keude Siblah.[11] Saat kematian Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi terjadi perdebatan terkait hukum samadiah atau tahlilan. Peristiwa ini berujung pada perdebatan antara murid-murid Abu Syekh Mud termasuk Abuya Muda Waly dengan Teungku Sufi Gle Karong.[12]
Remove ads
Pengasingan dan Akhir Hayat
Ringkasan
Perspektif
Pada tahun 1911, karena pengaruhnya yang tetap besar dan dugaan perlindungan terhadap jaringan gerilya yang masih aktif, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman internering kepada Teuku Ben Mahmud — yakni pengasingan tanpa pengadilan. Ia dikirim ke wilayah yang sangat jauh dari kampung halamannya yaitu ke Maluku Utara. Ia diangkut menggunakan kapal Van Doorn, tanpa ditemani keluarga.
Di tanah pengasingan, Teuku Ben Mahmud dikenal dengan nama Tengku Rahmat. Meski secara resmi dianggap sebagai tahanan politik, ia justru menjadi pemimpin spiritual dan moral bagi masyarakat lokal. Ia mendirikan semacam lembaga keadilan rakyat, membantu distribusi pangan selama masa-masa sulit, dan memberi bimbingan kepada pemuda-pemudi di wilayah tersebut.
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Teuku Ben Mahmud ikut berperan membantu rakyat Maluku Utara bertahan dari tekanan dan kekejaman militer Jepang. Ia tidak pernah meninggalkan nilai-nilai perjuangan dan tetap hidup sederhana serta dihormati oleh penduduk setempat.
Teuku Ben Mahmud wafat pada 28 Maret 1974 dalam usia sekitar 114 tahun. Ia dimakamkan di sebuah bukit di Saramaake, Wasile Selatan, Halmahera Timur yang kini dikenal dengan nama Bukit Rahmat. Masyarakat setempat mengenangnya sebagai "Tete Aceh" — sosok tua bijak yang menjaga nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Meski jauh dari tanah kelahiran, pengaruhnya tetap hidup dalam memori rakyat yang pernah dibelanya.
Warisan perjuangannya hidup dalam para penerus seperti Teuku Cut Ali, Teuku Angkasah, Panglima Raja Lelo, Teungku Peukan, dan putranya sendiri, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud. Meski tidak tercatat sebagai pahlawan secara resmi, ia tetap menjadi simbol keberanian dan ketulusan perjuangan Aceh.[2]
Penghargaan
Atas pengabdian dan perjuangannya untuk semasa perang Aceh, nama Teuku Ben Mahmud diabadikan sebagai nama jalan di Tapaktuan dan Blangpidie. Nama Teuku Ben Mahmud juga dijadikan sebagai nama yayasan yang mengelola asrama mahasiswa Blangpidie di Banda Aceh. Selain itu, nama Teuku Ben Mahmud juga dijadikan nama Aula Kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Aceh Barat Daya serta nama Perpustakaan Sekolah Islam Terpadu Insan Madani Susoh.
Penjabat Bupati Aceh Barat Daya, Darmansah memberikan penghargaan kepada Teuku Ben Mahmud sebagai Tokoh dan Pahlawan Perang Aceh asal Aceh Barat Daya.[13] Selain itu, Kepala Kantor Kementerian Agama Republik Indonesia Kabupaten Aceh Barat Daya juga memberikan penghargaan kepada Teuku Ben Mahmud sebagai Tokoh Gerilya dan Pahlawan Perang Aceh.[14] Pemberian penghargaan ini merupakan bentuk dukungan atas usaha pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Teuku Ben Mahmud[15] yang dilakukan oleh Aceh Culture and Education dan Museum Susoh.[16]
Remove ads
Rujukan
Lihat pula
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads