Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Smart Telecom
perusahaan asal Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
PT Smart Telecom (disingkat Smartel)[3] adalah sebuah perusahaan di Indonesia yang pernah berdiri, dahulu merupakan anak usaha dari operator seluler PT Smartfren Telecom Tbk.[4] Berbasis di Jakarta, perusahaan ini bergerak di beberapa bidang seperti menjadi perusahaan induk dari sejumlah anak usaha dan memegang hak frekuensi yang diselenggarakan jaringan induknya.[5][6][3]
Remove ads
Sebelumnya, perusahaan ini dikenal sebagai operator seluler mandiri dengan merek dagang Smart mulai tahun 2007[3] hingga 2011. Beroperasi di sejumlah kota di pulau Jawa dan Sumatra menggunakan sistem CDMA2000, produknya terdiri dari Smart Prabayar, Smart Pascabayar dan Smart Jump.
Remove ads
Sejarah
Ringkasan
Perspektif
Awal pendirian
PT Smart Telecom awalnya bernama PT Indoprima Mikroselindo (dikenal dengan nama dagang Primasel). Perusahaan ini didirikan pada 16 Agustus 1996 dengan modal Rp 5 miliar, dan dimiliki secara patungan oleh Indosat (20%), PT Yamabri Komunikasindo 35% (terafiliasi dengan bisnis ABRI), PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) 20%, dan sisa 25%-nya dimiliki oleh Primkopparpostel (Primer Koperasi Pegawai Kantor Pusat Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi).[7] Primasel dibentuk untuk mengoperasikan jaringan Personal Handy-phone System (PHS) berfrekuensi 1800 MHz di Jawa Timur, dengan target pasar menengah ke bawah dan bertarif pulsa lokal.[8] Untuk mempersiapkan operasionalnya, Primasel mengadakan uji coba layanan PHS dan kemudian mendapatkan izin dari pemerintah di tahun 1997.[9][10]
Namun dalam perkembangannya, walaupun sudah beberapa kali diundur (dari 1997 ke 2000),[11] hingga 2002 bisnis ini tidak kunjung berjalan (bahkan perusahaan ini hampir ditutup di tahun 2003),[12][13] sehingga Primasel memutuskan untuk pindah ke sistem CDMA berfrekuensi 1980 MHz di tahun 2004.[14][15] Dalam titik ini, pemegang saham hanya menyisakan PT INTI dan sebuah perusahaan lain.[16] Pasca diberi izin dari pemerintah untuk mengubah sistemnya, Primasel sempat merencanakan akan membangun 300.000 sambungan[16] berbasis fixed wireless (FWA) dan teknologi CDMA2000 1x.[17] Namun, belum sempat memulai proyek tersebut, pada tahun 2006 Primasel "digusur" oleh pemerintah untuk tidak menggunakan frekuensinya karena akan dipakai untuk jaringan 3G. Primasel lalu berpindah ke frekuensi 1900 MHz, tetapi dengan tarif penggunaan yang lebih murah dibanding operator GSM yang menggunakan frekuensi serupa karena hanya menggunakan setengah kapasitas.[14][18]
Sementara itu, sebuah perusahaan lain bernama PT Wireless Indonesia (WIN) diketahui sudah mendapatkan izin sebagai penyedia komunikasi non-seluler di jaringan 3G sejak 2001. Perusahaan ini kemudian juga mendapatkan nasib yang sama, yaitu "digusur" pada 2006 karena jaringannya dianggap mengganggu frekuensi 3G GSM.[19] Hal ini membuat frekuensinya yang awalnya ada di 1970-1980 MHz[17] dipindahkan ke frekuensi yang ditujukan untuk layanan time-division duplex (TDD), meskipun akhirnya dikembalikan ke pemerintah.[14] Awalnya, perusahaan ini dimiliki oleh Teddy A. Purwadi, tetapi kemudian beralih ke Grup Sinar Mas (sebenarnya juga ada rumor bahwa ZTE sempat berencana masuk ke perusahaan ini).[20] WIN sebenarnya pada awal 2003 sudah merencanakan untuk meluncurkan produknya yang berbasis FWA[17] dengan teknologi CDMA2000 1980 MHz[17] (menggunakan merek WIN), dan sudah melakukan sejumlah persiapan seperti menyediakan modal US$ 400 juta ditambah kontrak dengan Airvana Inc. bagi menyediakan infrastrukturnya.[21][22] Namun, rencana ini akhirnya tidak terwujud, dan WIN tidak pernah berhasil meluncurkan produknya.[14]
Masuknya Sinar Mas
Mengetahui kondisi Primasel maupun WIN yang kurang menguntungkan, pemerintah menganjurkan keduanya untuk melakukan penggabungan usaha. Sinar Mas kemudian mengambil alih Primasel dan menggabungkan WIN dengannya (dengan Primasel menjadi surviving company) pada Oktober 2006. Merger ini menghasilkan perusahaan telekomunikasi dengan layanan penuh, gabungan dari Primasel (layanan suara) dan WIN (layanan data)[23] yang berlisensi seluler nasional.[24] Sebagai respon positif akan penggabungan tersebut, pemerintah memberikan blok frekuensi (di 1903,75-1910 dan 1983,5-1990 MHz dengan bandwith 15 MHz)[25] sehingga Primasel bisa mulai berencana untuk beroperasi. Kepemilikan saham pasca-merger mayoritas dimiliki oleh beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas, seperti PT Bali Media Telekomunikasi (35%), PT Global Nusa Data (29%), PT Indonesia Mobilindo (2%) dan PT Wahana Inti Nusantara (33%), ditambah PT INTI (0,2%). Walaupun sempat muncul masalah karena pemilik lama WIN mempermasalahkan sahamnya di perusahaan hasil merger ini, tetapi Sinar Mas tetap berancang-ancang memulai operasionalnya.[14]
Setelah izinnya keluar, Primasel sempat menargetkan waktu peluncuran yang beberapa kali berubah, yaitu dari Desember 2006, Februari 2007,[26] Maret 2007,[27] Juni 2007[28] dan Agustus 2007.[29] Beberapa wilayah yang dibidik sebagai target awal adalah Jakarta, Bandung, Surabaya dan Malang, ditambah aneka lokasi bisnis Sinar Mas yang diperkirakan berpotensi meraup 500.000-600.000 pengguna.[30] Perubahan target waktu tersebut disebabkan belum selesainya aneka persiapan, seperti jaringan, BTS, kantor, SDM, dan lain-lain sebagai pemain baru. Seperti dalam BTS, dari target 300-400 unit yang akan digunakan, ternyata baru puluhan saja yang bisa dioperasikan pada Februari 2007. Mayoritas BTS ini dimiliki sendiri dan didanai pembangunannya oleh perusahaan Sinar Mas Group, PT Dian Swastatika Sentosa. Kendala SDM muncul di tengah maraknya aksi "membajak" karyawan antar-operator saat itu, sehingga Sinar Mas mengandalkan sejumlah ekspatriat pada jajaran tertingginya seperti Anastacio Martirez dan Alex O. Caeg (Filipina). Beberapa eksekutif puncak Primasel lain seperti Ubaidilah Fatah (perwakilan INTI), Soetikno Wijaya (eks-WIN) dan Djoko Tata Ibrahim. Perekrutan pun dilakukan secara intensif, meskipun tidak semuanya membuahkan hasil positif. Memasuki Maret 2007, calon kantor pusatnya di Sabang, Jakarta Pusat pun masih dalam tahap penyelesaian.[27]
Dalam masa pra-operasional ini, pemilik Primasel, Sinar Mas sempat diberitakan berencana bekerjasama dengan Altimo (sebuah perusahaan telekomunikasi asal Rusia) lewat tawaran suntikan dana US$ 2 juta,[26] namun kemudian mereka lebih memilih bekerjasama dengan ZTE.[31] Pilihan teknologi yang digunakan jatuh pada CDMA2000 1x dan EV-DO Rev. A, karena dianggap lebih murah dalam hal biaya investasi dan operasional dengan kualitas yang hampir sama atau lebih canggih dibanding teknologi seluler lainnya.[2][32] Merek Primasel kemudian diganti menjadi Smart, begitu juga nama perusahaan dari PT Indoprima Mikroselindo ke PT Smart Telecom. Smart merupakan singkatan dari Sinar Mas Accesible Reliable Telecommunication (Telekomunikasi Sinar Mas yang Mudah Diakses dan Dipercaya). Perubahan nama ini resmi dilakukan pada 11 April 2007[33] dan diumumkan ke publik pada Mei 2007.[29] Menurut pihak Smart, pergantian nama penting dilakukan karena nama Primasel yang sudah ada dirasa "kurang menjual".[34]
Persiapan beroperasinya Smart juga diiringi upaya Grup Sinar Mas mematangkan pendirian divisi telekomunikasinya.[27] Konon, sebagai bukti komitmen mereka untuk terjun ke bisnis ini, pemiliknya, Eka Tjipta Widjaja sampai harus "turun gunung" dengan meresmikan kantor pusat baru Smart Telecom di Sabang, Menteng, Jakarta Pusat pada tanggal 26 April 2007 (yang selanjutnya juga menjadi kantor pusat penerus Smart, Smartfren).[34] Bagi Sinar Mas, Smart Telecom menjadi titik puncak dari rencana dan keinginan mereka bermain di bisnis operator seluler sejak 1990-an. Sebelum adanya Smart, konglomerasi tersebut sempat mencoba membangun operator berbasis AMPS bernama PT Telecom Indomas Nusantara di Bali maupun berupaya meraih lisensi GSM dari pemerintah yang semuanya kurang sukses.[2] Begitu juga dengan upaya (pertama) mereka untuk membeli operator CDMA2000 Mobile-8 Telecom di tahun 2005 yang gagal akibat ketidaksepakatan harga (meskipun sudah menggandeng konsorsium bersama investor asing dari Tiongkok, Korea Selatan dan Amerika Serikat).[27] Dengan adanya pilar bisnis baru ini, pihak Sinar Mas mengharapkan Smart Telecom bisa meraih kesuksesan yang sama seperti unit-unit usaha grup tersebut lainnya. Bisnis telekomunikasi Sinar Mas dipimpin putra bungsu Eka, Franky Oesman Widjaja.[2]
Peresmian kantor pusat itu ikut menandai dimulainya soft launch layanan Smart,[2] yang awalnya dipasarkan kepada 100.000 karyawan Grup Sinar Mas di Jawa Timur dan Jabodetabek.[35] Sebelumnya juga sudah diadakan kegiatan Uji Laik Operasi (ULO) di sejumlah daerah. Dengan soft launch dan ULO sebelum beroperasi resmi tersebut, Smart Telecom dapat mengetahui masalah yang ada, seperti kurang bagusnya sinyal jaringan Smart yang berusaha diatasi dengan berbagai cara, seperti membangun lebih banyak BTS. Selain masalah jaringan, kemudian muncul keluhan dari BRTI yang menganggap Sinar Mas tidak serius dan hanya ingin menjual izin operator selulernya karena tidak kunjung beroperasi, sehingga memaksa pihak Smart Telecom mempercepat rencana peluncuran produknya agar tidak dicabut izinnya. Persiapan lainnya dilakukan dengan menjalin kerjasama bersama sejumlah vendor penyedia perangkat telepon seluler. Adapun perusahaan memilih ZTE dan Haier karena dirasa mampu memenuhi spesifikasi perangkat yang diinginkan Smart. Namun, Smart Telecom juga masih mengedarkan produk dari Nokia dan Motorola yang ditujukan untuk pasar kelas menengah dan atas.[23][34]
Peluncuran dan kinerja awal

Akhirnya, pada 3 September 2007 Smart resmi memulai operasionalnya di Jabodetabek, yang kemudian diperluas ke sejumlah kota besar di pulau Jawa yaitu Surabaya (6 September), Bandung (19 September), Semarang (25 September) dan Yogyakarta (28 September). Saat itu Smart mengoperasikan 350 BTS dengan kapasitas awal 1,4-3,5 juta pengguna, yang akan bertambah menjadi 600 buah di akhir 2007.[36] Menurut Deputy CEO Smart (saat itu), Djoko Tata Ibrahim, Smart mengoperasikan BTS yang lebih efisien, karena memiliki kapasitas 4 kali lebih besar dibanding operator GSM.[37] Untuk mendanai ekspansi perdananya, Smart menganggarkan belanja modal Rp 2-3 triliun yang dibiayai dari pinjaman bank asal Tiongkok[32] atau internal Grup Sinar Mas. Dari 5 kota itu, Smart diharapkan bisa meraih 600.000-800.000 pengguna,[36] yang akan menjadi 1 juta pada akhir 2007 setelah berekspansi ke 80 kota lain di pulau Jawa,[32] Bali dan Lombok.[38] Secara khusus, Jabodetabek menjadi sasaran utama Smart Telecom, dengan memasarkan 500.000 kartu perdana baru, dimana jumlah tersebut lebih besar dibanding daerah lainnya.[37]
Memasuki Februari 2008, Smart sudah memiliki sekitar 500.000 pengguna (dengan 40%-nya ada di Jabodetabek),[39] yang ditargetkan menjadi 1 juta dalam 3 bulan dan 3 juta di akhir 2008. Hal ini seiring upaya perluasan yang dilakukan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, maupun daerah-daerah lain (kecuali Maluku dan Papua),[40] lewat pembangunan sarana dan infrastruktur yang diperkirakan memakan biaya US$ 350 juta. Dengan ekspansi ini, BTS Smart akan bertambah dari 1.200 unit (500-nya ada di Jawa Timur)[41] menjadi 3.000 unit.[42] Jika mayoritas 1.000 BTS pertama dimiliki sendiri, 2.000 BTS berikutnya akan lebih banyak dari menyewa (co-sharing).[39] Beberapa daerah dimana Smart mulai beroperasi di tahun ini, seperti Denpasar[43] dan Palembang pada September 2008,[44] 7 kota di Jawa Timur per Oktober 2008,[45] dan Medan di bulan Desember 2008.[46] Lewat perluasan jaringan tersebut, pihak Smart mengklaim cakupan mereka sudah menjangkau dari kecamatan, kota dan provinsi dengan blank spot dan drop call yang minim. Bahkan, di Jalur Pantura dari Merak hingga Banyuwangi, sinyal Smart dapat diterima dengan baik sehingga dapat diandalkan untuk musim mudik 2008.[47]
Untuk meraih pasar-pasar baru tersebut, Smart mengandalkan paket-paket bundling perangkat dengan harga terjangkau. Ada paket ponsel dan pulsa ZTE X176-X178 dengan harga Rp 188.000[41] (atau Rp 120.000 ketika promosi),[43] Haier D1100P dengan harga Rp 228.000, Haier D1200P (yang bisa digunakan sebagai modem) dengan harga Rp 289.000,[48] dan paket ponsel dan pulsa Nokia 1508i dengan harga Rp 700.000.[49] Harga aneka ponsel tersebut dapat ditekan karena adanya subsidi hingga Rp 90 miliar yang dianggarkan Smart Telecom, sehingga memangkas 50% harga ponsel CDMA yang akan dijual. Strategi ini diambil karena minimnya ketersediaan handphone yang bisa melayani frekuensi 1900 MHz di pasaran, maupun karena 80% pengguna Smart berasal dari skema bundling.[39]
Adapun skema tarif Smart ketika diluncurkan adalah Rp 45/menit (sesama Smart), Rp 550/30 detik (ke operator lain dan lokal), Rp 660/30 detik (non-lokal), Rp 25/SMS (sesama Smart), Rp 275/SMS (antar operator), dan Rp 2,2/kb data. Skema tersebut diklaim lebih hemat sejak menit pertama, bebas roaming dan transparan kepada pengguna.[50] Belakangan, muncul penawaran baru seperti "Hematnya Tarif Smart", "Smart Bicara Gratis", "Smart VoIP 01033" dan push mail.[45] Selanjutnya, Smart mulai berfokus pada segmen data, lewat peluncuran modem bernama "Jump" dalam gelaran Indocomtech 2008 di tanggal 12 November 2008.[51] Modem Jump menggunakan teknologi EV-DO Rev. A (yang belum pernah diterapkan di Indonesia),[52] dan ditawarkan dalam dua model,[53] dengan harga perkenalan Rp 25.000/bulan (prabayar) dan Rp 330.000/bulan (pascabayar).[54]
Sesuai dengan target untuk menjadi operator CDMA nasional di tahun 2009,[55] di tahun ini Smart Telecom terus memperluas ekspansi wilayahnya. Setelah berhasil menjangkau seluruh Pulau Jawa, Bali, Medan, Palembang, Bandar Lampung, dan Banda Aceh, jaringan Smart diperluas ke Lombok,[56] Batam, Pekanbaru, Makassar[57] maupun daerah lainnya. Selain itu, Smart juga terus meluncurkan produk dan layanan baru. Di tahun ini, diperkenalkan telepon seluler BlackBerry Curve berjaringan CDMA pertama di Indonesia, layanan musik,[58] paket internet seumur hidup di Opera Mini lewat ponsel Samsung Pinger Qwerty,[59] dan paket netbook yang dilengkapi modem;[60] sedangkan di tahun 2010, layanan LTE bersama sejumlah modem baru dengan fasilitas tertentu diluncurkan di Malang dan Surabaya, untuk memenuhi minat masyarakat akan internet berkecepatan tinggi.[23][61] Pada tahun tersebut, pelanggan Smart sudah mencapai 3 juta,[62] naik dari 2,2 juta di akhir 2009,[59] yang diperkirakan akan terus bertambah seiring investasi US$ 150 juta.[63]
Menurut pihak Smart, mereka berkomitmen untuk "membangun jaringan berkualitas dunia di Tanah Air, membangun organisasi yang berbasis pada pelanggan, fleksibel dan cepat, serta memberikan nilai lebih pada jumlah uang yang dikeluarkan pelanggan dan menjembatani teknologi digital". Lewat slogan "Hebat dan Hemat", Smart mengklaim dirinya menjadi solusi telepon dengan tarif murah dan berkualitas, sehingga lebih fokus pada pasar menengah-bawah. Meskipun demikian, dengan teknologi CDMA2000 1900 MHz seluler yang digunakannya, kemampuan jelajah Smart tetap tinggi (unlimited mobility), ditambah membantu mereka melakukan ekspansi dan menyediakan fasilitas komunikasi data.[64] Sesungguhnya, frekuensi 1900 MHz tersebut masih sempat dipermasalahkan oleh beberapa pihak setelah mulai beroperasi, karena ditujukan untuk layanan mobile satelite sehingga berpeluang dipindahkan. Namun, pihak Smart menyatakan mereka tidak khawatir karena menganggap isu tersebut sudah lama.[37] Dari awalnya berfokus pada penjualan perangkat telepon dan layanan suara atau pesan yang terjangkau, Smart belakangan lebih memilih mengembangkan layanan internet murah seiring perubahan minat masyarakat.[23] Selain untuk konsumer, Smart Telecom juga melayani komunikasi bagi pelanggan korporat.[65]
Konsolidasi
Namun, pada 2009, pemilik Smart, Sinar Mas Group berhasil mengakuisisi perusahaan telekomunikasi milik Global Mediacom, PT Mobile-8 Telecom Tbk (dikenal dengan merek Fren). Akuisisi tersebut membuat Sinar Mas memiliki dua perusahaan telekomunikasi, yaitu Mobile-8 dan Smart. Meskipun awalnya disampaikan keduanya akan tetap beroperasi terpisah,[66] keduanya kemudian memutuskan untuk melakukan kolaborasi. Hal ini diwujudkan lewat peluncuran merek dan logo bersama Smartfren di tanggal 3 Maret 2010, yang diiringi pembukaan Galeri Smartfren pertama di kantor pusat Smart Telecom di Sabang, Jakarta Pusat. Merek Smartfren yang hak ciptanya ada di tangan PT Smart Telecom, ikut digunakan oleh PT Mobile-8 Telecom Tbk untuk mengefisienkan biaya (diperkirakan hingga 30-40%)[67] dan memadukan kelebihan masing-masing. Belakangan, integrasi kedua operator juga diterapkan dalam bentuk pemasaran, penyatuan galeri, handset bundling, logistik, hingga pengadaan kartu perdana.[68]
Kolaborasi tersebut dirasa penting, mengingat Smart selama ini mengalami hambatan dengan frekuensi 1900 MHz yang digunakannya, dengan sulit menjangkau sejumlah tempat dan kurang populernya ponsel dual band yang bisa menerima jaringan Smart. Jaringan Mobile-8 di frekuensi 800 MHz selanjutnya diharapkan bisa membantu mengembangkan bisnis Smart.[23] Pasca-penyatuan merek, Smart masih berusaha memperkuat produk maupun layanan data dan suara miliknya.[68] Beberapa produk yang sempat diluncurkan, seperti telepon bernuansa Islami di bulan Ramadan,[69] telepon Chit Chat, aplikasi Smartfren Messenger,[70] modem seharga Rp 99.000 dan ponsel Mini QWERTY Q9+.[71] Ada juga program khusus seperti "Mudik Seru Smart dan Fren" yang memberangkatkan 1.500 orang pada September 2010,[72] "Smartfren Christmas Specials" di bulan Desember 2010,[73] maupun program "Share" berupa tiket gratis menonton film di bioskop. Lewat kolaborasi dalam Smartfren, pada ajang Gadget Award 2010 di tanggal 20 Desember 2010, Smart (dan Mobile-8) berhasil meraih penghargaan Best Internet Service Provider dan Best CDMA Broadband Operator.[74] Sejak Juni 2010 integrasi antara kedua operator semakin dipercepat lewat penyatuan jaringan dan migrasi layanan yang ditangani ZTE.[75]
Namun, integrasi kedua perusahaan awalnya sempat menemui kendala, seperti munculnya isu tunggakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi PT Smart Telecom kepada pemerintah sejak 2006, yang berpeluang mencabut izinnya.[76] Proses tersebut yang awalnya direncanakan akan dilakukan pada RUPSLB Mobile-8 Telecom di tanggal 8 Desember 2010 juga gagal karena hasil rapat tidak mencapai kuorum.[77] Rencana konsolidasi dua operator Sinar Mas baru mendapat persetujuan dalam RUPS lanjutan Mobile-8 di tanggal 20 Desember 2010. Lewat transaksi yang dibiayai rights issue senilai Rp 3,77 triliun, ditargetkan 57% saham Smart akan diakuisisi oleh Mobile-8. Hak rights issue ini diberikan pada tiga pemegang saham Smart Telecom, yaitu PT Bali Media Telekomunikasi, PT Wahana Inti Nusantara, serta PT Global Nusa Data.[78]
Proses integrasi lewat rights issue tersebut akhirnya terlaksana pada 18 Januari 2011, yang membuat Mobile-8 dikuasai oleh eks-pemegang saham Smart. Adapun PT Smart Telecom sendiri dijadikan anak usaha Mobile-8 dengan kepemilikan mencapai 99%.[79][80] Tuntasnya integrasi bisnis ini ditandai dengan perubahan nama induk baru Smart Telecom, PT Mobile-8 Telecom Tbk menjadi PT Smartfren Telecom Tbk pada 28 Maret 2011.[81][80] Dengan integrasi tersebut, operasional (seperti layanan, kantor dan produk) Smart kemudian digabungkan dengan operasional PT Smartfren Telecom Tbk. Namun, PT Smart Telecom tetap dipertahankan menjadi anak perusahaan PT Smartfren Telecom Tbk.[82] Hal tersebut membuat Smart Telecom bisa dikatakan telah melakukan backdoor listing.[81]
Operasional pasca-konsolidasi
Pasca menjadi anak usaha Smartfren, seperti dalam anggaran dasarnya, PT Smart Telecom tetap menjalankan usaha di bidang penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, dan menawarkan jasa tersebut di wilayah Republik Indonesia. Atas nama induknya, Smartel menyediakan layanan yang berfokus pada data seluler yang menargetkan pemuda dan pekerja profesional, dalam bentuk paket-paket, perangkat, broadband dan add-on.[1] Selain itu, beberapa operasional Smartel yang dilakukan pasca-2011, seperti:
- Mengelola jaringan Smartfren yang berada di frekuensi 2,3 GHz. Adapun frekuensi ini diberikan pemerintah seiring kebijakan pemindahan frekuensi yang efektif dilakukan pada Desember 2016. Sebelumnya, jaringan tersebut ada di 1900 MHz (eks-Smart), yang tetap dipertahankan Smartfren pasca penggabungan operasional Smart dan Fren.[83]
- Untuk mengembangkan jaringan Smartfren, Smart Telecom menerima pinjaman Rp 3,1 triliun dari China Development Bank pada 2020[84] dan sebelumnya senilai US$ 200 juta pada 2016.[85] Lalu, ada juga pinjaman sindikasi dari sejumlah bank dan perusahaan pembiayaan lokal pada 1 Februari 2023 senilai Rp 7,2 triliun yang diberikan kepada Smart Telecom.[86] Sindikasi lainnya (bersama Smartfren) yang ditujukan untuk refinancing disepakati pada 14 November 2024, dipimpin oleh Bank Central Asia dan Sarana Multi Infrastruktur dengan total kredit Rp 10 triliun.[87]
- Pembelian barang modal dari Nokia, Samsung dan ZTE pada 2010 dan 2014.[3]
- Mengakuisisi 20,5% saham PT Moratelindo pada 25 Mei 2021 senilai Rp 306 miliar,[6] yang kemudian menurun menjadi 18,32%. Selain itu Smartel juga memiliki 2% saham PT Palapa Timur Telematika dan 99% saham PT Distribusi Sentra Jaya.[3]
- Penjualan aset perusahaan ke perusahaan afiliasi (bagian Sinar Mas Group), seperti pusat data di sejumlah daerah ke PT SMplus Sentra Data Persada senilai Rp 544,2 miliar pada 19 Desember 2023,[88] dan pelepasan lahan 2,134 m2 kepada PT Bumi Serpong Damai Tbk dengan nilai transaksi Rp 16,43 miliar pada 27 Desember 2023.[89]
Dalam RUPS PT Smartfren Telecom Tbk pada Juli 2022, direncanakan Smartfren akan dimerger dengan PT Smart Telecom, anak usahanya demi menyederhanakan kepemilikan spektrum frekuensi radio.[6] Namun, merger ini tidak kunjung terlaksana sampai adanya pengumuman merger antara induknya dengan PT XL Axiata Tbk. Pasca-merger yang selesai pada 16 April 2025 tersebut, PT Smart Telecom (bersama Smartfren) dileburkan ke dalam XL Axiata sebagai penerima penggabungan.[1]
Remove ads
Operasional perusahaan pra-merger (2024)
Manajemen
- Presiden Komisaris: Ferry Salman
- Komisaris: Lukmono Sutarto
- Presiden Direktur: Merza Fachys
- Direktur: Andrijanto Muljono
- Direktur: Marco Paul Iwan Sumampouw
- Direktur: Antony Susilo[1]
Kepemilikan
- PT Smartfren Telecom Tbk: 99,974%
- PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero): 0,0026%[1]
Produk dan layanan
Hingga Maret 2010, Smart telah meluncurkan tiga produk, meliputi:
- Smart Prabayar, ditujukan ke pengguna umum, pelajar, dan mahasiswa.
- Smart Pascabayar, ditujukan ke pengguna umum dan eksekutif.
- Smart Jump, ditujukan ke konsumen yang ingin berinternet dengan kecepatan tinggi hingga 3,1 Mbps (jaringan EV-DO).
Jaringan
Berikut beberapa kota yang dilayani jaringan Smart di Indonesia, sebelum digabungkan ke Smartfren:
Untuk melayani konsumennya, pada awal 2010 Smart memiliki 25 galeri yang tersebar di sejumlah pusat perbelanjaan Jakarta dan Bandung. Seiring peluncuran nama Smartfren, Galeri Smart mulai menjual dan bisa melayani produk Fren, begitu juga sebaliknya.[67]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads