Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Sutra Mimbar

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Sutra Mimbar
Remove ads

Sutra Mimbar Pitarah Keenam (Hanzi: 六祖壇經; Pinyin: Liùzǔ Tánjīng) atau Sutra Mimbar (Hanzi: 壇經; Pinyin: Tánjīng) adalah kitab suci agama Buddha aliran Dyana (Hanzi: 禪那; Pinyin: Chánnà) yang disusun di Tiongkok antara abad ke-8 hingga abad ke-13.[1] "Mimbar" merujuk kepada darmasana (Hanzi: 施法壇; Pinyin: Shīfǎ Tán), yaitu panggung tempat duduk biksu saat menyampaikan ceramah keagamaan. Sutra Mimbar merupakan perbendaharaan ajaran-ajaran Dyana terdahulu, berintikan gagasan tentang Buddhaswabawa, yang "hanya menjadi tak kasatmata bagi manusia biasa jika sudah dibutakan oleh maya."[2] Sutra Mimbar adalah satu-satunya susastra agama Buddha Tionghoa yang secara gamblang disebut "sutra", menunjukkan keutamaan kedudukannya di dalam khazanah kitab suci aliran Dyana.

Thumb
Dua halaman cetakan cap kayu "Sutra Mimbar Darmaratna Pitarah Keenam" dari Goryeo, sekitar tahun 1310, koleksi Bibliothèque Nationale de France

Pada dasarnya susastra ini berisi ajaran-ajaran dan kisah-kisah yang erat dikaitkan dengan Biksu Huineng, pitarah ke-6 aliran Dyana. Sutra Mimbar memuat kisah terkenal tentang perlombaan untuk menjadi penerus Biksu Hongren (pencerahan melalui ketidakmenetapan), maupun wejangan-wejangan dan dialog-dialog yang erat dikaitkan dengan Biksu Huineng.

Sutra Mimbar sendiri menisbatkan penyusunannya kepada Biksu Fahai, tetapi kemungkinan besar disusun atau disusun ulang di lingkungan perguruan Kepala Sapi, yang hidup berdampingan dengan perguruan Gunung Timur dan perguruan Selatan Biksu Shenhui. Sutra Mimbar berusaha merukunkan perguruan Utara yang mengajarkan pencerahan berangsur, dengan perguruan Selatan yang mengajarkan pencerahan serta-merta. Itulah sebabnya Sutra Mimbar memuat "pemaparan wisudi" yang terambil dari sanggahan yang dilontarkan Biksu Shenhui kepada Biksu Shenxiu, tetapi sepenuhnya "menghilangkan Biksu Shenhui dari alur cerita".[3]

Remove ads

Sejarah

Ringkasan
Perspektif
Informasi lebih lanjut Buddhisme, Buddhisme awal ...

Sutra Mimbar sudah berulang kali disusun ulang.[4] Asal-usulnya tidak jelas, meskipun Biksu Fahai, salah seorang murid Biksu Huineng, diyakini sebagai tokoh yang berjasa menghimpun dan membukukan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya.

Awal perkembangan Sutra Mimbar diselubungi kabut waktu, dan kemungkinan besar tidak akan pernah dapat diketahui secara pasti. Versi Sutra Mimbar yang terdapat di dalam kumpulan naskah Dunhuang, yakni edisi lengkap tertua yang ada saat ini, hampir dapat dipastikan terlahir dari suatu evolusi panjang yang menyerap unsur-unsur dari pelbagai perguruan aliran Dyana dengan agendanya masing-masing, terbukti dari ketidakselarasan dan ketidakkonsistenan isinya.[5]

Versi Dunhuang adalah versi Sutra Mimbar tertua yang ada saat ini, berjudul lengkap Parama-Mahayana Mahapradnyaparamitasutra Ajaran Serta-Merta Perguruan Selatan: Sutra Mimbar yang Dibabarkan Pitarah Keenam Mahaguru Huineng di Wihara Dafan Daerah Shao (Hanzi: 南宗頓教最上大乘摩訶般若波羅蜜經:六祖惠能大師於韶州大梵寺施法壇經), dan dianakjuduli Satu Gulungan,Kumpulan Risalah Sisya Fahai yang Membabarkan Darma Seraya Mencerapi Sila-Sila Animita (Hanzi: 一卷,兼受無相戒弘法弟子法海集記).

Dua salinan yang diperkirakan berasal dari rentang waktu antara tahun 830 hingga 860 Masehi telah ditemukan di Gua Mogao di Dunhuang. Kedua-duanya diduga didasarkan atas sebuah edisi dari sekitar tahun 780. Temuan-temuan di Dunhuang sangat penting artinya bagi pemahaman kesejarahan aliran Dyana:

Kajian ilmiah tentang aliran Dyana perdana mengalami transformasi sesudah ditemukannya sejumlah susastra yang berkaitan dengan gerakan Dyana perdana di perpustakaan gua Dunhuang pada permulaan abad ke-20, yang juga memuat sebuah versi perdana dari Sutra Mimbar.[6]

Pada tahun 1056, Biksu Qìsōng (契嵩, Wade-Giles: Ch'i-sung) menghasilkan sebuah edisi yang lebih panjang, dengan judul Risalah Darmaratna (Hanzi: 法寶記; Pinyin: Fǎbǎo Jì).

Pada tahun 1291 (zaman Kulawangsa Yuan), Biksu Zōngbǎo (宗寶, Wade-Giles: Tsung-pao) menghasilkan edisi yang menjadi bagian dari khazanah kitab suci agama Buddha Tionghoa zaman Kulawangsa Ming (tahun 1368-1644).[7] Versi yang tampaknya didasarkan atas edisi Biksu Qìsōng ini kurang lebih sepertiga lebih panjang daripada versi Gua Mogao, juga berbeda susunannya.

Sebagian besar isi bab tujuh, delapan, dan sembilan dari Sutra Mimbar yang lebih panjang diambil dari pustaka Jingde Chuandeng Lu.[8]

Remove ads

Isi

Ringkasan
Perspektif
Bagian dari serial
Buddhisme
Thumb
Lima Kelompok
Caodong / Sōtō
Linji / Rinzai
Fayan / Hōgen
Guiyang / Igyō
Yunmen / Unmon
Tata cara
Meditasi duduk
Samādhi
Pencerahan
Pelatihan Kōan
Naskah utama
Sūtra Laṅkāvatāra
Sūtra Intan
Sūtra Hati
Sūtra Śūraṅgama
Sūtra Mimbar
Kumpulan Kōan
Buddhisme Mahāyāna
Garis waktu Buddhisme
(Kategori)

Sutra Mimbar adalah:

...bunga rampai ajaran aliran Dyana perdana, sebuah perbendaharaan virtual dari seluruh tradisi Dyana sampai dengan seperdua akhir abad kedelapan. Inti sari wejangannya adalah pemahaman akan Buddhaswabawa yang sama seperti yang kita dapati pada susastra-susastra yang dinisbatkan depada Bodidarma dan Hongren, termasuk gagasan bahwa Buddhaswabawa hanya menjadi tak kasatmata bagi manusia biasa jika sudah dibutakan oleh maya.[2]

Bab 1 - Riwayat sang pitarah

Bab pertama memuat kisah terkenal tentang perlombaan untuk menjadi penerus Biksu Hongren. Kisah ini merupakan unsur mendasar dari narasi tradisional aliran Dyana.[9] Pitarah Kelima memanggil semua pengikutnya lantas menggelar lomba mengarang syair untuk menunjukkan taraf pemahaman mereka akan hakikat manah. Dia memutuskan untuk mewariskan kasaya dan ajaran-ajarannya kepada si pemenang, yang nantinya akan menjadi Pitarah Keenam.[10] Shenxiu, murid utama Pitarah Kelima, mengarang sebait syair, tetapi tidak berani mempersembahkannya kepada sang guru, dan malah suatu hari diam-diam menuliskannya pada dinding serambi selatan wihara sekitar pukul satu dini hari supaya tidak ketahuan sebagai pengarangnya. Biksu-biksu lain membaca syair itu dan memuji-muji keindahannya. Syair karangan Shenxiu adalah sebagai berikut:

Selira itulah bodiwreksa.
Manahlah sagang darpana gilap.
Mesti diseka senantiasa
janganlah sampai debu berhinggap.[11]

Biksu Hongren tidak terkesan saat membaca syair anggitan Shenxiu, bahkan menyatakan bahwa syair itu tidak menunjukkan pemahaman akan "swabawa si pengarang sendiri maupun hakikat manah."[10] Biksu Hongren memberi Shenxiu kesempatan untuk mengajukan syair lain demi membuktikan diri sudah melewati "gapura pencerahan," dan dengan demikian layak mewarisi kasaya maupun darmanya, tetapi Shenxiu sudah telanjur gelisah sehingga tidak mampu menganggit syair lagi.[10]

Dua hari kemudian, Huineng yang buta huruf mendengar seorang sramanera melantunkan syair Shenxiu di wihara, lalu menanyakan ihwal syair itu. Si sramanera memberitahu Huineng tentang lomba menganggit puisi maupun pewarisan kasaya dan darma.[10] Huineng minta diantar ke serambi selatan wihara supaya dapat menunjukkan penghargaannya terhadap syair itu. Ia meminta seorang pejabat rendahan bernama Zhang Riyong dari Jiangzhou untuk membacakan syair Shenxiu dan menuliskan syair anggitannya sendiri.[10]

Menurut McRae, "versi terdahulu Sutra Mimbar memuat dua versi syair anggitan Huineng. Salah satu versi terkemudian dari syair Huineng tidak sama dengan dua versi terdahulu:

Bodi semula tidak berwreksa.
Tiada sagang darpana gilap.
Buddhaswabawa jernih nirmala.
Adakah tempat debu berhinggap?

Manah itulah sang bodiwreksa.
Selira sagang darpana gilap.
Sedari dulu jernih nirmala.
Manalah ada debu berhinggap?

Bodi semula tidak berwreksa.
Darpana gilap tidak bersagang.
Pada dasarnya hampa sunyata.
Dari manakah debunya datang?[12]

Seluruh hadirin merasa kagum sesudah membaca syair yang dianggit seorang biadab dari selatan. Lantaran mengetahui asal-usul Huineng, sang pitarah menghapus syair itu sembari menyatakan bahwa pengarangnya belum mencapai pencerahan.[10]

Menurut tafsir tradisional yang didasarkan atas pendapat Guifeng Zongmi, pengganti Shenhui generasi ke-5, kedua bait itu masing-masing merepresentasikan pendekatan berangsur dan pendekatan serta-merta. Menurut McRae, pemahaman semacam itu sebenarnya keliru.

Syair yang dinisbatkan kepada Shenxiu sebetulnya bukan merujuk kepada usaha berangsur atau progresif, melainkan kepada praktik konstan membersihkan cermin [...] Inti pesannya adalah tentang ajaran yang konstan dan sempurna, pengejawantahan pribadi tanpa akhir akan cita-cita luhur bodisatwa.[13]

Syair Huineng tidak berdiri sendiri, tetapi berpasangan dengan syair Shenxiu.

Syair Huineng menggunakan retorika kehampaan untuk menumbangkan substansialitas istilah-istilah yang digunakan di dalam anggitan itu. Meskipun demikian, arti pokok dari proposisi pertama tetap bertahan".[14]

McRae melihat adanya kemiripan dari segi penalaran dengan perguruan Kepala Sapi, yang menggunakan struktur tiga serangkai "mutlak, nisbi, dan madya", atau "tesis-antitesis-sintesis".[15] Menurut McRae, Sutra Mimbar itu sendiri merupakan sintesis di dalam struktur tiga serangkai ini, lantaran menyeimbangkan kebutuhan akan praktik konstan dengan pemahaman akan yang mutlak.[14]

Bab 2 - Pradnya (wejangan)

Bab kedua berisi wejangan tentang pradnya, yang disajikan sesudah pendarasan Mahapradnyaparamitasutra. Berikut ini adalah petikan dari bab kedua:

Bila manah kita bekerja dengan leluasa tanpa kendala apa-apa, dan bebas "datang" maupun "pergi", kita mencapai Samadi Pradnya, atau kelepasan. Keadaan yang demikian dinamakan guna "ketakberpikiran." Namun berhenti memikirkan apa-apa demi meniadakan segala macam pemikiran, berarti menjadi disarati-Darma, dan pandangan semacam ini keliru adanya.

Bab 3 - Tanya Jawab

Di dalam bab ketiga, Huineng menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan khalayak pendengar awam. Huineng menceritakan kembali kisah terkenal tentang Bodidarma yang memberitahu Kaisar Liáng Wǔdì bahwa perbuatan-perbuatan baiknya tidak mendatangkan punia baginya. Selanjutnya, Huineng membahas ihwal Sukawati, dengan menegaskan betapa lebih pentingnya keadaan batin seseorang ketimbang lokasi fisiknya, yang berujung pada kesimpulan Huineng bahwasa menjalankan ajaran agama selaku umat awam di luar wihara itu lebih baik ketimbang menjalankan bentuk-bentuk naiskramya selaku biksu di dalam wihara tanpa mengolah batin.

Bab 4 - Dyana dan Pradnya (wejangan)

Di dalam bab keempat, dyana dan pradnya dikatakan sehakikat:

Dyana dan pradnya itu sehakikat, tidak berlainan. Dyana adalah inti sari pradnya, dan pradnya adalah guna dyana. Pada saat-saat pradnya, ada dyana di dalam pradnya itu; pada saat-saat dyana, ada pradnya di dalam dyana itu.[16]

Bab 5 - Dyana duduk (wejangan)

Bab kelima menjabarkan "kemurnian swabawa kita":[16]

Di dalam ajaran dyana duduk ini, pada dasarnya orang tidak memusatkan pikirannya pada manah, tidak pula pada wisudi, dan tidak pula ketakbergemingan. Jika orang memusatkan pikirannya pada manah, maka manah [yang dilibatkan] itu pada hakikatnya semu. Kamu harus paham bahwa manah itu ibarat bayang-bayang, sehingga orang tidak dapat memusatkan pikiran padanya. Jika orang memusatkan pikirannya pada wisudi, maka [dengan keinsyafan bahwa lantaran] swabawa kita pada dasarnya murni, oleh pikiran-pikiran semu jua tatata itu tertutupi. Cukup buang pikiran-pikiran semu dan swabawa akan murni dengan sendirinya. Jika kamu mendayagunakan manahmu supaya melekat pada wisudi, kamu hanya akan menghasilkan kesemuan wisudi. Kesemuan itu tak bertempat; pemusatan pikirannyalah yang keliru. Wisudi itu tak berupa maupun berciri-ciri; engkau hanya menciptakan ciri-ciri wisudi dan berkata inilah ‘wirya’ [dalam dyana]. Berpegang kepada pandangan seperti itu sama saja mengaburkan swabawa diri sendiri, dan hanya menjadi terbelenggu oleh wisudi.[16]

Bab 6 - Upacara Tobat

Bab keenam memuat penjabatan upacara pertobatan.

Bab 7 - Peristiwa Penting (kisah-kisah perjumpaan dan dialog)

Bab ketujuh memuat berbagai macam kisah tentang perjumpaan dan dialog.

Bab 8 - Serta-Merta dan Berangsur (kisah-kisah perjumpaan dan dialog)

Bab kedelapan juga memuat berbagai macam kisah tentang perjumpaan dan dialog.

Bab 9 - Undangan Istana

Bab kesembilan meriwayatkan undangan dari pihak Istana untuk menghadap kaisar yang ditampik Biksu Huineng.

Bab 10 - Pewarisan

Di dalam bab kesepuluh, Biksu Huineng mewejangi murid-muridnya yang sudah matang, memberi mereka petunjuk mengenai cara "membabarkan Darma", yang menunjukkan pengaruh ajaran-ajaran agama Buddha tentang Pancaskanda, konsep Namarupa, dan ajaran-ajaran Yogacara:

Suatu hari sang guru memanggil murid-muridnya, yaitu Fahai, Zhicheng, Fada, Shenhui, Zhichang, Zhitong, Zhiche, Zhidao, Fazhen, dan Faru, lalu berkata, “kamu ini berbeda dari yang lain. Bila kelak aku sudah tiada, kamu masing-masing harus menjadi guru di berbagai daerah. Sekarang aku akan mengajari kamu tentang cara membabarkan Darma tanpa kehilangan Darma pokok.

“Pertama-tama haruslah kamu membahas tiga kelompok ajaran dan tiga puluh enam tanggapan dari pendayagunaan yang bersungguh-sungguh. Keluar dan masuk melampaui dua ekstrem. Dalam membabarkan seluruh Darma, janganlah sampai meninggalkan swabawa.

“Tiga kelompok ajaran adalah skanda, datu, dan ayatana. ‘Skanda’ yang dimaksud adalah pancaskanda, yaitu rupa, perasaan, pemikiran, rangsangan, dan widnyana. ‘Ayatana’ yang dimaksud adalah dwadasāyatana, yang terdiri atas enam macam cerapan indria dari luar diri, yaitu rupa, bunyi, bau, rasa, sentuhan, serta darma; dan enam macam indria di dalam diri, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan manah. ‘Datu’ yang dimaksud adalah astadasadatu, yang terdiri atas enam macam cerapan indria, enam macam indria, dan enam macam widnyana. Swabawa mampu menampung banyak sekali darma dan dinamakan ‘alayawidnyana’. Jika orang mendayagunakan pemikiran, maka itulah ‘widnyana-widnyana perubahan,’ pemunculan enam macam widnyana untuk keluar dari enam macam indria dan menyaksikan enam macam cerapan indria.[16]

Remove ads

Baca juga

Rujukan

Sumber

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads