Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Konflik Aceh–Belanda (1599–1942)

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Konflik Aceh–Belanda (1599–1942)
Remove ads

Konflik Aceh–Belanda (1599–1942) merupakan rangkaian konflik yang sangat panjang dan kompleks antara Kesultanan Aceh dengan kolonial Belanda, mencakup berbagai peperangan, pertempuran, dan pemberontakan selama lebih dari tiga abad. Bermula dari kontak pertama pada tahun 1599 saat terjadi bentrokan antara armada pimpinan Cornelis de Houtman dengan pasukan Laksamana Keumalahayati,[19][20][21][21][22][23][24] konflik ini berkembang menjadi perebutan kekuasaan, perdagangan, serta pengaruh politik di kawasan Selat Malaka dan pulau Sumatra. Dari awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19, Aceh terus menghadapi intervensi Belanda dalam berbagai konflik regional, seperti persaingan memperebutkan Tapanuli dan Sumatra Timur.

Fakta Singkat Tanggal, Lokasi ...

Periode paling krusial dari konflik ini terjadi pada tahun 1873 hingga 1914, yang dikenal sebagai Perang Aceh.[25] Perang ini menjadi salah satu perang kolonial terberat dalam sejarah Hindia Belanda akibat tingginya korban jiwa di pihak kolonial dan sengitnya perlawanan rakyat Aceh. Meski secara resmi Kesultanan Aceh berakhir pada 1903 dengan tertangkapnya Sultan Muhammad Daud Syah, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut dalam berbagai bentuk gerilya di bawah tokoh-tokoh legendaris seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia, serta melalui struktur pemerintahan alternatif yang dikenal sebagai Wali Negara, hingga gugurnya Muaz Amin Tiro pada tahun 1911.[26][27][28]

Meski wilayah Aceh secara de facto berhasil dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20, berbagai pemberontakan sporadis terus terjadi hingga menjelang kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942.[14][13] Pada periode akhir ini, perlawanan Aceh tetap berlangsung terutama dipimpin oleh kalangan ulama dan bangsawan lokal, seperti Teungku Peukan,[29][30][31][32] Teuku Raja Angkasah[33][34][35] dan Teuku Cut Ali.[36][37][38][39]

Kerugian materiil yang diderita Belanda dalam Konflik Aceh-Belanda selama periode 1599 hingga 1942 tergolong sangat besar. Sejak pertempuran pertama di tahun 1599, Belanda telah kehilangan sejumlah kapal, persenjataan, serta banyak kru dan prajurit, serta Belanda harus membayar ganti rugi sebesar 50.000 Gulden kepada Aceh.[40] Puncak kerugian finansial terjadi dalam Perang Aceh (1873–1914), di mana Belanda menghabiskan dana lebih dari 400 juta Gulden,[41] bahkan 1 miliar Gulden,[42] angka yang sangat besar pada masanya, hingga nyaris membuat pemerintah kolonial mengalami kebangkrutan. Selain kerugian materiil, konflik ini juga menyebabkan kerugian sumber daya manusia yang tinggi dengan gugurnya sekitar 37 hingga 50 ribu bahkan lebih tentara kolonial Belanda selama rentang perang tersebut, menjadikannya salah satu perang paling mahal dan melelahkan bagi pemerintahan kolonial Belanda.[41][43][44]

Remove ads

Latar Belakang

Ringkasan
Perspektif

Konflik Aceh-Belanda (1599-1942) merupakan serangkaian konflik militer yang melibatkan Aceh dengan Belanda dalam sejumlah perang dan pertempuran. Konflik ini pertama kali terjadi saat kapal-kapal Belanda yang ditumpangi oleh Cornelis de Houtman dan krunya terlibat dalam sebuah pertempuran dengan armada Kesultanan Aceh dibawah Laksamana Keumalahayati.[19][20][21][22][23][24] Meskipun Aceh sempat berdamai dengan Belanda,[45][46] di tahun-tahun berikutnya akan terjadi serangkaian konflik-konflik baru antara Belanda dan Aceh, seperti; dukungan Kesultanan Aceh dalam Gerakan Raja Sakti yang pecah di Belitung (1685),[47][48] Konflik Perebutan Barus (1778-1843), Pertempuran Singkil (1843-1848), Konflik Sumatera Timur (1854-1869), dan ketegangan Aceh dengan Siak yang dipengaruhi Belanda.[49][50][51][52] Serangkaian pertempuran tersebut akan menyebabkan sebuah perang baru dengan eskalasi yang lebih besar, yang dikenal dengan Perang Aceh (1873-1914).[25][42]

Perang Aceh merupakan perang besar terakhir dalam sejarah kolonial Belanda yang terjadi selama puluhan tahun, perang ini menyebabkan runtuhnya Kesultanan Aceh pada 1903.[28][53] Setelah Belanda menyatakan runtuhnya Kesultanan Aceh dengan ditangkapnya Sultan Muhammad Daud Syah,[54][55][56] Belanda melanjutkan ekspedisinya ke Gayo-Alas-Batak, dan terjadinya pertempuran-pertempuran dengan Kejurun Gayo-Alas, salah satu peristiwa yang terkenal adalah Tragedi Benteng Kuta Reh, dimana terjadinya pembantaian terhadap ribuan penduduk Gayo-Alas di wilayah benteng tersebut.[57][58][59][60]

Meskipun Kesultanan Aceh telah runtuh pada 1903,[56] perlawanan rakyat Aceh tetap berlanjut dibawah tokoh bangsawan terkenal seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia. Peran Wali Wali Negara Aceh juga sangat penting dalam perang ini pasca runtuhnya Kesultanan Aceh, yang berkahir dengan perjuangan Wali Negara Aceh terakhir saat itu, Muaz Amin Tiro yang gugur pada 1911.[26][27] Gugurnya Muaz pada 1911 dianggap sebagai momen dimana Belanda menancapkan kekuasaannya secara de facto di wilayah Provinsi Aceh modern. Tidak berhenti disitu, perang besar ini pun dilanjutkan oleh sejumlah bangsawan dan para ulama hingga berakhir pada 1914.[25]

Pasca 1914, perang di Aceh dilanjutkan oleh para ulama, uleebalang dan sekelompok orang Aceh yang masih menentang Belanda secara sporadis hingga 1942. Beberapa peristiwa penting terjadi dalam Perang Aceh periode 1911-1942, seperti yang terkenal Perlawanan Teungku Peukan,[29][30][31][32] Teuku Raja Angkasah[33][34][35] dan Teuku Cut Ali.[36][37][38][39] Konflik dan perlawanan terakhir para pejuang Aceh tercatat dalam sebuah serangan yang dilancarkan oleh seorang bangsawan tua berumur 96 tahun, Teuku Manan,[13] yang terjadi saat menjelang kedatangan pasukan pendudukan Jepang pada 1942.[14] Sepanjang konflik, Belanda menghadapi perlawanan sengit dari berbagai tokoh pejuang Aceh yang berasal dari kalangan bangsawan, ulama, pemimpin lokal, hingga rakyat biasa yang berperan penting dalam mempertahankan wilayah Aceh dari pendudukan kolonial.[25]

Kerugian di pihak Belanda selama perang ini tergolong besar. Ribuan prajurit dan ratusan perwira Belanda tewas dalam berbagai operasi militer di wilayah Aceh. Beberapa jenderal tinggi juga dilaporkan gugur dalam pertempuran, menandai betapa sengit dan panjangnya perlawanan yang mereka hadapi.[61][62]

Salah satu unsur penting dalam perlawanan Aceh adalah faktor ideologis dan keagamaan. Karya sastra religius seperti Hikayat Perang Sabil karya Teungku Chik Pante Kulu, beredar luas dan menjadi sumber motivasi spiritual bagi rakyat untuk mempertahankan tanah air dari apa yang dianggap sebagai invasi kafir (non-Muslim). Hikayat tersebut mengandung ajaran jihad dan semangat pengorbanan yang sangat berpengaruh dalam mempertahankan semangat perlawanan, terutama di kalangan ulama dan santri.[63][64][65][66][67]

Pengaruh dan dampak dari perang ini juga mendapat perhatian dari kalangan sejarawan dan penulis asing. Paul van 't Veer, seorang sejarawan asal Belanda, dalam bukunya De Atjeh Oorlog (Perang Aceh), menyatakan bahwa panjang dan intensitas Perang Aceh dapat disamakan dengan Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648), yaitu konflik panjang antara Belanda dan Spanyol yang berujung pada kemerdekaan Belanda.[13][68][69][70][71][72]

Meskipun pada awal abad ke-20 Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Aceh secara administratif dan militer, perlawanan bersenjata dalam bentuk gerilya tetap berlangsung hingga masa-masa akhir kolonial. Beberapa wilayah pedalaman dan terpencil tetap menjadi basis perjuangan rakyat Aceh hingga kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pada tahun 1942, yang mengakhiri secara de facto kehadiran pemerintahan kolonial Belanda di Aceh.[14][13]

Remove ads

Hubungan Aceh-Belanda

Ringkasan
Perspektif

Awal Hubungan Diplomatik dan Pengakuan Kemerdekaan Belanda

Thumb
Para utusan dari Aceh mengunjungi Pangeran Maurits di dekat Grave. Charles Rochussen – Anno 1602.

Hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Belanda telah melewati berbagai fase diplomasi dan politik sejak akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20. Awal interaksi kedua pihak ditandai dengan bentrokan antara armada Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati melawan ekspedisi Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1599, yang menyebabkan kematian Cornelis de Houtman.[19] Meski demikian, hubungan keduanya cepat pulih ketika pada tahun 1600, Pangeran Oranye dan Pemimpin Republik Belanda, Maurits van Nassau mengirim surat diplomatik kepada Sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil, dengan tujuan menjalin hubungan persahabatan serta perdagangan. Setahun setelahnya, Aceh menunjukkan tanda persahabatan dengan membebaskan Frederick de Houtman beserta krunya yang sebelumnya ditahan di penjara Pedir,[46] yang sekaligus menjadi awal terjalinnya hubungan bilateral antara kedua negara.

Thumb
Kereta penghormatan dari utusan Aceh, bernomor 81 hingga 94. Arak-arakan ini menggambarkan perwakilan utusan dari Sultan Aceh kepada Pangeran Maurits dan Dewan Negara (Staten) pada tanggal 4 September 1602. Merupakan bagian dari satu map yang berisi delapan litograf tentang arak-arakan Delft tahun 1862.

Lebih jauh lagi, pada tahun 1600, Pangeran Maurits van Nassau secara resmi mengajukan surat diplomatik kepada Sultan Aceh yang berisi ajakan untuk menjalin hubungan persahabatan serta perdagangan.[73] Sultan Aceh, Sayyid al-Mukammil merespons positif ajakan tersebut, bahkan secara resmi mengakui Republik Belanda sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh pada 1602, setelah Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648), dimana Belanda berhasil meraih kemerdekaan dari Spanyol.[40]

Thumb
Pangeran Maurits menerima para utusan dari Sultan Aceh di tenda perangnya, saat pengepungan kota Grave, pada 4 September 1602.
Thumb
Menemui Sultan Iskandar Muda. Ilustrasi oleh Pieter Verhoeven pada 1607-1609.

Untuk mempererat hubungan kedua pihak, Kesultanan Aceh mengutus delegasi diplomatik ke Belanda yang dipimpin oleh seorang ulama dan tokoh terkemuka, Tuanku Abdul Hamid, didampingi oleh Laksamana Sri Muhammad dan sejumlah diplomat lainnya.[74] Delegasi ini tiba di Zeeland pada Juli 1602, tetapi Tuanku Abdul Hamid meninggal dunia sebelum sempat bertemu langsung dengan Pangeran Maurits dan kemudian dimakamkan di Gereja Saint Peter, Middelburg.[75] Pertemuan resmi antara perwakilan Aceh dengan Pangeran Maurits akhirnya berlangsung pada tanggal 1 September 1602, di mana delegasi Aceh menyerahkan surat pengakuan serta kepercayaan secara resmi dari Sultan Aceh, Sayyid al-Mukammil kepada Republik Belanda.[40]

Fluktuasi Hubungan Politik dan Diplomatik

Sepanjang abad ke-17, hubungan antara Aceh dan Belanda mengalami berbagai dinamika yang ditandai dengan kerja sama maupun ketegangan politik. Pada tahun 1615, hubungan kedua pihak sempat terganggu setelah Sultan Iskandar Muda menghukum mati sejumlah pegawai VOC yang menolak membantu serangan Aceh terhadap Portugis, yang menyebabkan VOC menutup pos dagangnya di Bandar Aceh Darussalam. Namun, situasi ini berubah pada tahun 1644 ketika Aceh dan VOC membentuk aliansi untuk menghadapi Portugis di Ceylon.[76][77][78]

Meski demikian, hubungan ini kembali tegang saat VOC meminta izin untuk mendirikan pos dagang di Perak pada tahun 1650. Penolakan Aceh terhadap permintaan tersebut memicu gerakan anti-Belanda di Aceh pada 1651. Meski perdamaian sempat tercapai pada 1653, yang memungkinkan VOC berdagang timah di Perak dengan pengawasan ketat Aceh, ketegangan kembali muncul akibat tindakan VOC memblokade pantai-pantai Aceh pada tahun 1656. Rangkaian peristiwa ini menggambarkan kompleksitas hubungan politik dan ekonomi yang terus berubah antara Aceh dan Belanda selama abad ke-17.[76]

Ketegangan Politik Menjelang Perang Aceh

Memasuki abad ke-19, hubungan politik antara Kesultanan Aceh dan Belanda menjadi semakin rumit karena meningkatnya ketegangan terkait klaim wilayah di Tapanuli, seperti Sibolga, Barus, dan wilayah Sumatra Timur, khususnya terhadap daerah-daerah seperti Deli, Langkat, dan Asahan yang secara tradisional berada di bawah pengaruh Aceh. Kesultanan Aceh secara tegas menolak klaim Belanda terhadap wilayah-wilayah tersebut dan tidak mengakui kedaulatan Belanda di sana.[49][50][79]

Thumb
Kesultanan Siak pada zaman Sultan Sayyid Ismail, 1850.

Hubungan Aceh dengan Belanda semakin memanas setelah Sultan Siak, Sayyid Ismail membuat perjanjian dengan Belanda melalui Traktat Siak 1858, tanpa sepengetahuan Sultan Aceh, Mansur Syah, dimana dengan bantuan Belanda, Siak mengklaim wilayah Sumatra Timur hingga Tamiang masuk ke wilayahnya dan hal ini mendapatkan pertentangan dari Kesultanan Aceh. Traktat Siak sendiri justru menguntungkan bagi Belanda,[49] dan sangat merugikan pihak Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, wilayah yang diklaim Kesultanan Siak diserahkan kepada Belanda secara sukarela atau terpaksa oleh Sultan Siak sendiri. Ketegangan mencapai puncaknya ketika Belanda dan Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada tahun 1871, yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk memperluas pengaruhnya ke wilayah Aceh, meskipun sebelumnya status Aceh sebagai negara merdeka telah diakui dalam Traktat London 1824.[51][52]

Thumb
Habib Abdurrahman az-Zahir, 1896.

Kesultanan Aceh mencoba meredakan ketegangan melalui jalur diplomasi, salah satunya lewat perundingan bilateral antara Habib Abdurrahman az-Zahir dan perwakilan Belanda di atas kapal "Jambi" pada tahun 1871,[25] di mana Aceh menegaskan tuntutan agar wilayah-wilayah yang diduduki Belanda dikembalikan sebagai prasyarat terjalinnya hubungan persahatan. Namun, upaya diplomatik ini menemui jalan buntu, sehingga menyebabkan pecahnya Perang Aceh pada tahun 1873, yang kemudian berlangsung hingga awal abad ke-20.[80]

Perang Aceh dan Dampaknya terhadap Hubungan Diplomatik

Perang Aceh (1873–1904) merupakan konflik panjang yang sangat melelahkan bagi kedua pihak, baik Aceh maupun Belanda, karena menghabiskan banyak sumber daya dan menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, selama konflik berlangsung, upaya-upaya diplomasi tetap terus dilakukan oleh para pemimpin Aceh. Salah satunya adalah korespondensi diplomatik antara Teungku Chik di Tiro dengan pemerintah kolonial Belanda, di mana ia mengusulkan perdamaian dengan syarat utama pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Aceh sebagai negara merdeka dan berdaulat. Tawaran ini secara konsisten ditolak oleh pihak Belanda, sehingga perundingan tersebut sering kali menemui jalan buntu. Bahkan dalam beberapa kesempatan, para pemimpin Aceh juga mengajak Belanda untuk memeluk Islam sebagai bagian dari proses perdamaian.[81][82]

Hingga akhirnya pada tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah secara resmi ditangkap, yang menandakan keruntuhan Kesultanan Aceh.[28][53][83] Meski demikian, perlawanan sporadis oleh rakyat Aceh tetap berlanjut hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942.[14][73] Secara keseluruhan, hubungan AcehBelanda sepanjang periode ini mencerminkan dinamika kompleks dari interaksi politik, diplomasi, konflik, serta upaya perdamaian yang saling terkait dan berpengaruh secara mendalam terhadap sejarah kedua pihak.

Thumb
Karikatur karya Albert Hahn tahun 1904 (juga merujuk pada Tragedi Pembantaian di Benteng Kuta Reh pada 14 Juni 1904) menampilkan langit berwarna merah darah dan tubuh rakyat Aceh berserakan, membasahi tanah dengan darah mereka. Perdana Menteri Belanda yang juga seorang rohaniawan atau pendeta, Abraham Kuyper, digambarkan berjalan di antara jasad-jasad itu sambil mengutip kitab suci, sementara rekannya membagikan kitab suci kepada para korban. Teks puitis di bawah gambar menyindir ironi moral perang tersebut. Dalam bait itu, berbunyi: Perang Aceh itu pada mulanya adalah ketidakadilan, begitu sabda Tuhan. Bram (Kuyper) berkata: "Ketidakadilan itu dilarang", maka jadilah dia bukan ketidakadilan. Tewasnya orang Aceh, di persisaan Deli yang subur, -tapi kemudian bawakan dia rahmat Injil!
Remove ads

Perang Aceh–Belanda (1599-1601)

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Lukisan Laksamana Malahayati

Pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, hubungan antara Kesultanan Aceh Darussalam dan Belanda diwarnai oleh ketegangan dan konflik bersenjata.

Konflik bermula ketika Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid Al-Mukammil merasa tidak senang dengan kehadiran rombongan Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Atas dugaan hasutan seorang penerjemah berkebangsaan Portugis, Sultan memerintahkan serangan terhadap kapal-kapal Belanda yang masih berlabuh. Serangan tersebut dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang mengakibatkan tewasnya Cornelis de Houtman dan beberapa awak kapal, serta penahanan Frederick de Houtman selama dua tahun.[20][21][22][23][45]

Pada 21 November 1600, armada Belanda berikutnya yang dipimpin Paulus van Caerden tiba di Aceh dan menenggelamkan kapal dagang Aceh setelah memindahkan muatan lada ke kapal mereka. Tindakan ini memicu kemarahan pihak Aceh.[40]

Kemudian, pada 31 Juni 1601, rombongan lain yang dipimpin Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Pelabuhan Aceh. Mengetahui bahwa mereka adalah bangsa Belanda, Laksamana Malahayati memerintahkan penahanan atas mereka. Sultan Mansur Syah mendukung langkah ini sebagai bentuk ganti rugi atas serangan Belanda sebelumnya.[40]

Thumb
Gambar Cornelis de Houtman

Upaya perdamaian baru terjadi pada 23 Agustus 1601, ketika rombongan ketiga yang dipimpin Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker datang membawa surat dan hadiah dari Pangeran Maurits. Dalam perundingan dengan Laksamana Malahayati, disepakati perdamaian antara Aceh dan Belanda. Frederick de Houtman dibebaskan, dan Belanda menyetujui pembayaran ganti rugi sebesar 50.000 gulden atas tindakan sebelumnya.[40]

Thumb
Kapal tempur Amsterdam bertiang empat 'De Hollandse Tuyn' dan kapal lainnya di bawah komando Paulus van Caerden kembali dari Brasil, oleh Hendrick Cornelisz Vroom
Thumb
Lukisan Frederick de Houtman

Gerakan Raja Sakti (1685)

Ringkasan
Perspektif

Raja Sakti, atau Ahmad Syah bin Iskandar, adalah seorang tokoh yang muncul di Pulau Belitung sekitar tahun 1685. Ia mengaku sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain dan mengklaim sebagai penguasa sah Minangkabau. Dengan latar belakang tersebut, ia menarik banyak pengikut dari berbagai wilayah, termasuk Jambi, Palembang, dan bahkan Kalimantan Selatan. Belitung dijadikannya sebagai basis gerakan untuk menentang dominasi VOC di Nusantara. Dalam waktu singkat, pasukannya bertambah hingga ribuan orang dan ratusan perahu, menjadikan gerakannya sebagai ancaman serius bagi Belanda.[47][48]

Ahmad Syah memilih Pulau Belitung sebagai basis operasinya, yang saat itu dikenal sebagai tempat berkumpulnya para perampok dan petualang. Ia tiba dengan lima perahu dan sekitar 200 pengikut, tetapi jumlah ini segera bertambah seiring dengan meningkatnya dukungan dari berbagai wilayah. Klaimnya sebagai pemimpin spiritual dan penguasa sah menarik simpati dari tokoh-tokoh penting, termasuk Pangeran Aria Palembang dan penguasa Jambi.

Ia juga mengirim surat kepada para penguasa di Aceh, Mataram, pantai barat Sumatera, Kalimantan Selatan, dan bahkan Raja Siam, mengajak mereka bergabung dalam perjuangan melawan VOC. Pada tahun 1685, diperkirakan ia berhasil mengumpulkan sekitar 4.000 orang dan 300 perahu untuk mendukung gerakannya.

VOC menjadi khawatir setelah mengetahui bahwa Kapiten Yonker, pemimpin militer yang telah masuk Islam, bergabung dengan Raja Sakti dan menyusun rencana pemberontakan besar di Batavia. Akibatnya, VOC melancarkan ekspedisi militer ke Belitung pada tahun 1686. Meskipun ekspedisi tersebut menunjukkan keseriusan Belanda dalam menghadapi ancaman, hasil akhirnya tidak tercatat secara rinci dalam sumber sejarah.[14][13]

Remove ads

Konflik di Tapanuli (1734-1848)

Ringkasan
Perspektif

Latar Belakang

Pada tahun 1524, Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Panglima Ibrahim, kakak dari Sultan Ali Mughayat Syah, berhasil menaklukkan Kesultanan Pasai dan mengusir seluruh pasukan Portugis dari wilayah tersebut. Sultan Pasai dan Sultan Pedir melarikan diri ke Malaka bersama sisa-sisa pasukan Portugis.[84][85] Dengan keberhasilan ini, seluruh kawasan Aceh pun berada di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah, yang kemudian melanjutkan ekspansi ke wilayah pesisir barat Sumatra. Armada Aceh berturut-turut menaklukkan wilayah Singkil, Barus, dan Simeulue. Barus, yang pada masa itu tampaknya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Batak Hatorusan, dijadikan sebagai negeri vasal Aceh. Raja Hatorusan memeluk Islam dan mengganti gelarnya menjadi sultan.[86][87][88]

Thumb
Raja James I, 1605

Namun, pada tahun 1549 terjadi pemberontakan oleh keluarga Manullang yang berhasil menggulingkan kekuasaan Hatorusan dan menguasai sebagian besar wilayah Batak, termasuk ibu kota Sionomhudon. Para bangsawan Hatorusan menyingkir ke Barus dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan yang baru. Pemberontakan tersebut kemudian ditumpas pada tahun 1550 oleh Raja Manghuntal. Sebagai imbalan atas jasanya, seluruh tanah pedalaman Batak Toba diserahkan kepadanya. Raja Manghuntal kemudian tampil sebagai penguasa merdeka dengan gelar Sisingamangaraja, mendirikan Kerajaan Bakkara dan memindahkan pusat pemerintahan ke Balige di tepi Danau Toba.[86][87][88][89] Sementara itu, Hatorusan tetap berada di bawah kekuasaan Aceh hingga abad ke-18, sebelum wilayah pesisir Tapanuli diserahkan kepada Belanda pada 1763, setelah berakhirnya Perang Tujuh Tahun. Bengkulu tetap berada di bawah Inggris, dan Aceh tampaknya kecewa dengan hasil tersebut sehingga kemungkinan besar memutus aliansinya dengan Prancis, yang sudah dijalani keduabelah pihak selama Perang Tujuh Tahun.[90]

Thumb
Lukisan Sultan Iskandar Muda

Pada tahun 1616, Sultan Iskandar Muda membalas surat Raja James I dari Inggris. Dalam surat tersebut, Sultan menolak permintaan Inggris dan menyarankan agar perdagangan dilakukan langsung di Bandar Aceh Darussalam. Hal ini menunjukkan upaya sentralisasi perdagangan di ibu kota kesultanan. Sultan juga mencantumkan pembagian wilayah kekuasaan Aceh menjadi dua: Masyrik (Timur) yang meliputi wilayah dari Lubok hingga Pahang, dan Maghrib (Barat) dari Calang, Barus hingga Jambi.[91][92][93][94][95][96]

Aliansi Aceh–Prancis (1756–1763, dan 1843)

Thumb
Augustin de Beaulieu. Gambar oleh Crispijn van de Passe (II) (1593-1670).
Thumb
Louis XIII, 1639.

Hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Prancis telah berlangsung sejak awal abad ke-17. Pada tahun 1621, ekspedisi dagang Prancis yang dipimpin oleh Augustin de Beaulieu tiba di Aceh dan menetap selama dua tahun. Ia membawa surat dari Raja Louis XIII kepada Sultan Iskandar Muda, yang dibalas oleh sang sultan dengan surat diplomatik serta hadiah delapan bahar lada Aceh.[97][98] Hubungan tersebut menunjukkan niat Aceh untuk memperluas jejaring diplomatik dan memperkuat posisinya di kancah perdagangan internasional. Bahkan, Aceh sempat menjalin aliansi strategis dengan Prancis pada masa Sultan Alauddin Johan Syah, terutama selama Perang Tujuh Tahun (1756–1763), sebuah konflik global antara kekuatan besar Eropa.

Thumb
Charles Henri Hector d'Estaing

Aliansi ini berbuah pada tindakan militer bersama. Pada 1760, armada gabungan AcehPrancis di bawah pimpinan Laksamana Jean Baptiste Charles Henri Hector Comte d'Estaing melancarkan serangan ke pelabuhan-pelabuhan Inggris di Tapanuli (Natal dan Batahan) dan menghancurkannya, kemudian menundukkan Bengkulu. Wilayah-wilayah ini berada dalam pendudukan pasukan AcehPrancis sampai akhir perang pada 1763. Namun, hasil akhir Perang Tujuh Tahun mengecewakan Aceh karena Tapanuli diserahkan kepada Belanda dan Bengkulu tetap dikuasai Inggris.[99] Akibatnya, kemungkinan besar Aceh memutuskan aliansinya dengan Prancis setelah perang usai. Hal ini terlihat saat terjadinya Aksi 9 September 1796, yang terjadi di dekat Bandar Aceh, dimana Aceh tidak mau terlibat sama sekali dalam pertempuran tersebut.

Thumb
Lukisan Napoleon III oleh Jean-Hippolyte Flandrin, 1862.

Pada masa yang lebih kemudian, sekitar pertengahan abad ke-19, Wakil Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah kembali menjalin hubungan dengan Prancis yang saat itu dipimpin oleh Raja Louis Philippe I, guna menghadapi ancaman ekspansi Belanda.[100] Tahun 1843, Prancis menyatakan sikap bersahabat terhadap Aceh, terutama dalam bidang perdagangan.[101] Untuk memperkuat posisi diplomatik, Aceh mengutus Muhammad Ghauth pada tahun 1849 dalam misi diplomatik ke Turki Utsmani dan Prancis.[102][103] Ia tiba di Prancis pada 1851 dan menyerahkan surat dari pemimpin Aceh kepada Raja Napoleon III. Sang raja merespons positif dengan memberikan sebilah pedang sebagai hadiah simbolik dan menyatakan persahabatan resmi antara kedua negara. Saat Muhammad Ghauth kembali ke Aceh pada 1853, ia menyampaikan hadiah tersebut serta laporan dukungan dari Prancis kepada Sultan Ibrahim Mansur Syah.[104]

Perang di Barus (1734-1778)

Memasuki abad ke-18, kekuasaan Sultan Badrul Alam di Aceh pada tahun 1700 menimbulkan kekhawatiran VOC, yang menganggapnya sebagai sosok berbahaya. VOC kemudian memperkuat pos dan benteng dagangnya di Barus untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Aceh. Pada tahun 1734, Aceh menjalin aliansi dengan Barus dan Pagaruyung guna menghadapi monopoli VOC di pantai barat Sumatra. Dua tahun kemudian, pada 1736, penguasa Barus Hulu bekerja sama dengan Aceh, Bakkara, dan Pagaruyung mengusir pejabat VOC dari wilayahnya. Setelah itu, Barus Hulu menjadi negeri bawahan Aceh, sementara Barus Hilir tetap menentang dominasi Aceh dan berusaha menjalin kembali hubungan dagang dengan VOC.

Pada 1778, Aceh menaklukkan Barus Hilir dan mengusir Belanda, menjadikannya negeri vasal sebagaimana Barus Hulu. Dengan ini, seluruh wilayah Barus kembali di bawah kendali Kesultanan Aceh.[105]

Traktat London (1824)

Perjanjian Britania Raya–Belanda 1824, yang juga dikenal sebagai Traktat London, ditandatangani pada 17 Maret 1824 di London sebagai bentuk penyelesaian konflik antara dua kekuatan kolonial EropaBritania Raya dan Belanda—yang muncul pasca-pelaksanaan Perjanjian London 1814 (Konvensi London). Tujuan utama perjanjian ini adalah untuk menetapkan batas-batas wilayah pengaruh masing-masing di kawasan Asia Tenggara, terutama di Kepulauan Melayu. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Britania Raya menguasai wilayah di sebelah utara Selat Malaka, termasuk Semenanjung Malaya dan Singapura, sementara Belanda mendapatkan wilayah di sebelah selatan selat tersebut, yakni Sumatra (kecuali Aceh), Jawa, dan wilayah lainnya di kepulauan Hindia Belanda.[50]

Isi dari Traktat London mencakup pertukaran wilayah dan penetapan zona pengaruh. Belanda menyerahkan Melaka kepada Britania Raya serta sepakat untuk tidak menjalin hubungan politik atau membuka kantor dagang di Semenanjung Malaya. Sebagai timbal baliknya, Britania Raya menyerahkan Bengkulu (Bencoolen) dan seluruh kepemilikan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda, dengan syarat serupa. Perjanjian ini juga mencakup klausul mengenai kebebasan perdagangan, larangan penggunaan kekuatan militer untuk kepentingan ekonomi, serta komitmen bersama untuk memberantas aktivitas pembajakan di wilayah tersebut. Salah satu poin penting lainnya adalah pengakuan bersama terhadap kedaulatan Kesultanan Aceh sebagai negara penyangga (buffer state) di antara wilayah kolonial kedua belah pihak.[50]

Namun demikian, Traktat London tidak benar-benar menghentikan ambisi ekspansionis Belanda. Tidak lama setelah perjanjian diteken, Inggris secara sepihak menyerahkan wilayah Kesultanan Aceh seperti Sibolga dan Natal kepada Belanda. Belanda pun secara bertahap memperluas pengaruhnya ke wilayah Tapanuli dan Sumatra Timur, mencakup daerah-daerah seperti Singkil, Barus, Deli Serdang, dan Asahan, yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Kesultanan Aceh. Tindakan ini melemahkan posisi Kesultanan Aceh di kawasan barat Sumatra. Perjanjian London 1824 yang terdiri dari 17 pasal ini disusun tanpa melibatkan pihak Aceh, sehingga ketika Belanda akhirnya menyerang Aceh pada 1873, hal itu dapat dipandang sebagai pelanggaran atas perjanjian tersebut. Traktat London, yang diteken oleh Baron Hendrick Fagel dan Anton Falck (Belanda) serta George Canning dan Charles Watkin Williams Wynn (Inggris), menjadi salah satu fondasi awal bagi terbentuknya batas-batas kolonial yang kelak berkembang menjadi perbatasan Indonesia dan Malaysia, serta berdampak pada konfigurasi politik, ekonomi, dan budaya di Asia Tenggara.[50][79]

Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatra (1831)

Thumb
Serangan Belanda ke Pantai Barat Sumatra. Dalam gambar itu tampak Let. Bisschoff.

Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatra adalah operasi militer yang dilakukan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) pada tahun 1831 untuk memperluas pengaruh kolonial di wilayah pesisir barat Pulau Sumatra. Operasi ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Jan Jacob Roeps dan Kolonel Andreas Victor Michiels, dengan sasaran utama wilayah Barus, Tapus, dan Singkil, yang saat itu berada di luar kendali efektif Hindia Belanda namun berada dalam klaim Kesultanan Aceh.

Ketegangan antara Hindia Belanda dan Kesultanan Aceh telah berlangsung selama beberapa waktu, terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian London 1824 antara Britania Raya dan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, Belanda mengakui kemerdekaan Aceh sebagai negara berdaulat dan bertanggung jawab atas keamanan pelayaran dan perdagangan di sekitarnya. Namun, kesulitan muncul karena Aceh tetap melakukan praktik perompakan laut, yang mengganggu aktivitas perdagangan Belanda, sementara Belanda dibatasi kemampuannya untuk melakukan intervensi langsung.

Situasi memburuk pada 7 Februari 1831, ketika kapal dagang milik Amerika Serikat, Friendship, dirompak di Kuala Batee oleh kelompok bersenjata dari Aceh. Tak lama kemudian, kapal skuner Dolfijn milik Belanda juga dibajak. Meskipun Belanda gagal merebut kembali kapal tersebut, mereka menahan diri untuk tidak mengambil tindakan agresif lebih lanjut karena kekhawatiran akan konflik terbuka dengan Britania Raya dan potensi perang melawan Aceh.

Namun, eskalasi terus terjadi. Pasukan dan penduduk loyalis Aceh menduduki Barus dan sejumlah pos Belanda, sehingga memaksa pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk merespons. Dinyatakan bahwa wilayah Barus, Tapus, dan Singkil bukan bagian dari Kesultanan Aceh secara administratif, meskipun diklaim oleh Aceh, sehingga Belanda merasa tidak terikat dengan Perjanjian Sumatra dalam melakukan aksi militer di wilayah tersebut.

Thumb
Generaal A.V. Michiels, 1850.

Letnan Kolonel Jan Jacob Roeps, komandan pasukan Belanda di Barus, awalnya menerima perintah terbatas untuk melancarkan operasi militer kecil. Namun, akibat meningkatnya tekanan dan permusuhan dari penduduk setempat yang mendukung Aceh, Roeps memutuskan untuk melancarkan sejumlah ekspedisi bersenjata guna menumpas perlawanan. Dalam salah satu pertempuran, Roeps terluka parah akibat tembakan lawan.

Untuk memperkuat posisi Belanda, Kolonel Andreas Victor Michiels tiba di Barus dengan 700 prajurit dan satu skuadron kavaleri. Pasukan Belanda menyerbu kubu pertahanan yang dijaga oleh pasukan Aceh dan penduduk lokal. Dalam pertempuran sengit, Letnan Bisschoff berhasil naik ke atas tembok bangunan pertahanan dan merebut bendera Aceh. Namun, bendera itu direbut kembali oleh penduduk, dan Bisschoff mengalami 11 luka sabetan senjata tajam.[106][107][108]

Pengejaran ke Tapus dan Singkil

Pasukan Aceh dan penduduk pendukungnya mundur dari Barus, meninggalkan senjata dan amunisi, lalu melarikan diri ke wilayah pedalaman Tapus dan Singkil. Wilayah ini merupakan basis kekuatan utama pasukan Aceh yang dipimpin oleh Mohammad Arief. Belanda kemudian melanjutkan ekspedisi kecil ke Tapus dan Singkil, melucuti senjata pasukan lokal, dan memukul mundur perlawanan. Dengan keberhasilan operasi ini, Singkil secara resmi masuk ke dalam kekuasaan Hindia Belanda.

Tekanan kolonial terus meningkat. Pada 1839, Belanda menaklukkan Barus, tetapi satu tahun kemudian, pasukan Aceh di bawah Teungku Lam Krak dan Teungku 'Id berhasil merebutnya kembali. Pada 1843, Belanda kembali menguasai Barus dan melanjutkan serangan ke Singkil. Dalam pertempuran ini, kedua pemimpin Aceh gugur.[109] Aceh kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan Prancis, yang menyatakan sikap bersahabat, terutama dalam bidang perdagangan.

Usaha Aceh untuk merebut kembali wilayah seperti Singkil terus berlangsung, meskipun pada 1848 upaya tersebut kembali gagal. Situasi semakin memburuk setelah Traktat Sumatra 1871, yang membatalkan Traktat London. Dalam perjanjian ini, Inggris mengakui kekuasaan Belanda atas seluruh Sumatra, membuka jalan bagi Belanda untuk melancarkan ekspedisi militer ke Aceh. Kapal-kapal Belanda mulai memblokade pantai timur Aceh. Dalam situasi genting ini, Habib Abdurrahman az-Zahir diangkat sebagai Perdana Menteri dan mewakili Aceh dalam diplomasi dengan Belanda. Dalam pertemuan dengan kapal Belanda “Jambi,” Abdurrahman az-Zahir menuntut pengembalian wilayah Aceh yang telah direbut Belanda, termasuk Sibolga, Natal, Barus, Singkil, Nias, dan kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur, sebagai syarat untuk menjalin hubungan persahabatan.

Remove ads

Konflik Sumatra Timur (1854-1872)

Ringkasan
Perspektif

Pemberontakan Batubara (1724)

Di pesisir timur Sumatra, sebuah pergolakan mengguncang dominasi Aceh. Daerah Batubara, yang semula merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Asahan, sebuah vasal Kesultanan Aceh, memproklamasikan kemerdekaan dan menyatakan dirinya sebagai Kerajaan Batubara yang merdeka. Gejolak ini muncul setelah melemahnya kendali Aceh akibat kekacauan internal sejak tujuh tahun sebelumnya. Sultan Jamalul Alam, penguasa Aceh kala itu, memimpin langsung ekspedisi militer untuk memadamkan pemberontakan. Namun, upaya tersebut gagal tragis ketika sang sultan jatuh sakit setelah meminum air kelapa muda beracun yang diberikan oleh pemimpin Batubara yang pura-pura menyerah. Ekspedisi pun ditarik kembali ke Bandar Aceh Darussalam, dan Batubara tetap berdiri sebagai kerajaan merdeka.

Klaim Siak atas Deli dan Serdang (1780)

Dengan melemahnya pengaruh Aceh, Kesultanan Siak yang berada di bawah perlindungan dan pengaruh Belanda mulai memperluas dominasinya berkat dukungan dari Belanda. Siak mengklaim wilayah Deli dan Serdang sebagai bagian dari kekuasaannya. Namun, Aceh menolak pengakuan ini dan tetap menganggap negeri-negeri tersebut sebagai bagian dari lingkupnya.

Rekonsiliasi Aceh-Deli (1852–1853)

Dalam upaya mempererat kembali kendali atas Sumatra Timur, Sultan Osman Perkasa Alamsyah dari Deli melakukan kunjungan resmi ke Aceh. Disambut oleh pejabat tinggi Aceh seperti Teungku Husin dan Teungku Muda Mohamad Said, sang sultan diangkat secara resmi oleh Sultan Aceh, Ibrahim Mansur Syah di dalam istana Darud Dunia. Ia menerima sejumlah dokumen pengakuan, termasuk surat Firman Tsahifah Tabalan, Wa’ad Ikral Kurnia, serta cap kebesaran Mahor Cap Sembilan (Cap Sikureung). Peristiwa ini menegaskan bahwa Deli berada dalam naungan Kesultanan Aceh.

Ekspedisi Militer Aceh ke Sumatra Timur (1854)

Aceh meluncurkan ekspedisi besar di bawah pimpinan Putra Mahkota Tuanku Pangiran Husain dengan kekuatan 200 kapal perang. Ekspedisi ini berhasil menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang semula terpecah seperti Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, dan Asahan. Penaklukan ini dimaksudkan untuk membendung pengaruh Belanda dan memperkuat kembali integritas teritorial Aceh.

Diplomasi Global dan Krisis Internal (1855–1857)

Aceh terlibat dalam geopolitik internasional dengan mengirim bantuan dana sebesar 10.000 dolar kepada Turki Usmani dalam Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Ibrahim Mansur Syah menerima gelar kehormatan Ordo Bintang Majidi. Di tengah ketegangan dengan Belanda, diplomasi tetap dijalankan meski hubungan terus memanas. Pada 1857, Sultan Mansur Syah secara resmi diangkat sebagai Sultan Aceh setelah wafatnya keponakannya. Di India, pemberontakan Sepoy menandai pergolakan besar terhadap kekuasaan Inggris, dan Aceh menjadi tempat pelarian para Muslim India yang menentang kolonialisme Inggris.

Persaingan Aceh-Siak dan Upaya Militerisasi (1858–1860)

Kesultanan Siak melalui Traktat Siak, Belanda dan Siak mulai mengklaim wilayah-wilayah di Sumatra Timur sebagai bagian dari kekuasaan mereka. Aceh memprotes keras, tetapi Belanda menolak membuka jalur negosiasi. Di sisi lain, Sultan Mansur Syah menunjuk Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai Wali Sultan Aceh atau Gubernur untuk wilayah Sumatra Timur dan memerintahkan pembangunan benteng di Pulau Kampai dan Tamiang.

Pernyataan resmi dari Kesultanan Siak pada Februari 1859 yang menyatakan tunduk kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda membawa dampak besar terhadap wilayah-wilayah di bawah pengaruhnya, seperti Deli, Asahan, Kampar, dan Indragiri. Dengan adanya deklarasi tersebut, wilayah-wilayah itu secara otomatis dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Belanda. Padahal, menurut ketentuan hukum dan hubungan politik yang berlaku saat itu, daerah-daerah tersebut berada dalam protektorat dan kedaulatan Kesultanan Aceh.[110][111][112]

Gelombang Serangan dan Perlawanan (1861–1865)

Thumb
Tuanku Hasyim Banta Muda
Thumb
Bendera Alam Aceh

Belanda mulai menyerang Deli dan Serdang pada 1861, tetapi upaya penguasaan sepenuhnya gagal. Pada 1862, Tuanku Hasyim bertemu dengan Asisten Residen Riau, Arnold, di Bengkalis, tetapi hasil pertemuan dinilai merugikan Aceh. Belanda melancarkan serangan ke Langkat namun berhasil digagalkan oleh pasukan gabungan Aceh dan Raja Langkat. Pada 1863, Aceh mengirim ekspedisi untuk menegaskan kekuasaan atas Sumatra Timur, yang berhasil mengibarkan bendera Alam Aceh di seluruh negeri termasuk Deli dan Serdang.

Kehilangan Wilayah dan Perlawanan Diplomatik (1865–1869)

Belanda merebut kembali Deli, Serdang, Asahan, dan Langkat pada 1865. Namun Langkat berhasil direbut kembali oleh Aceh pada tahun berikutnya. Sementara itu, Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika melalui Cesar Moreno, menawarkan Pulau Weh Sabang sebagai pangkalan militer. Namun pada 1869, Langkat jatuh lagi ke tangan Belanda. Di sisi lain, Terusan Suez dibuka di Mesir, yang akan memperbesar kepentingan imperialisme Eropa di kawasan Samudra Hindia.

Traktat Sumatra (1871)

Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatra, yang membatalkan Traktat London 1824 dan memberikan kebebasan kepada Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Sumatra, termasuk daerah-daerah di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Sultan Mansur Syah menanggapi dengan menuntut pengembalian wilayah-wilayah Aceh yang telah direbut, terutama di Sumatra Timur dan Tapanuli, sebagai syarat jika Belanda ingin menjalin hubungan damai.[113]

Remove ads

Persiapan Perang Aceh (1872-1873)

Ringkasan
Perspektif

Dewan Delapan dan Misi Diplomatik Aceh ke Singapura

Dewan Delapan merupakan sebuah organisasi yang didirikan di Penang oleh komunitas saudagar Aceh, Melayu, India, dan Arab. Organisasi ini dibentuk sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan rakyat Aceh yang sedang berkonflik dengan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu bentuk dukungan yang diberikan adalah bantuan logistik dan persenjataan. Pada masa itu, Dewan Delapan berhasil mengirimkan bantuan senjata ke Aceh, terdiri atas 1.394 peti senapan dan 5.000 peti peluru.[112]

Thumb
Teuku Panglima Maharadja Sjahbandar Tibang Moehamad.

Pada Januari 1873, Kesultanan Aceh mengutus Habib Abdurrahman az-Zahir ke Konstantinopel, Kesultanan Utsmaniyah guna meminta dukungan jika sewaktu-waktu Belanda melancarkan serangan. Di waktu yang hampir bersamaan, sebuah delegasi yang dipimpin oleh Teuku Panglima Muhammad Tibang (Panglima Masjid Raya) dikirim menemui residen Hindia-Belanda di Riau, Schiff untuk menyampaikan permintaan agar rencana pengiriman utusan Belanda ke Aceh ditangguhkan hingga Sultan Aceh menjalin hubungan resmi dengan Turki. Saat dalam perjalanan kembali, rombongan ini diantar oleh kapal perang Hindia-Belanda bernama Murnix dan sempat singgah di Singapura. Di sana, mereka memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan misi diplomatik dan menemui konsul Italia dan konsul Amerika Serikat. Disana, mereka menyampaikan pesan resmi dari Sultan Mahmud Syah II kepada para konsul negara-negara Eropa. Konsul Amerika Serikat merespons positif, bahkan menawarkan konsep perjanjian bilateral antara pemerintah Amerika dan Kesultanan Aceh. Sementara itu, konsul Italia menyatakan kesiapan untuk memberikan dukungan berupa dua kapal yang akan dikirim ke Aceh.

Thumb
Perwakilan Aceh di Singapura, 1870.

Namun, upaya diplomatik ini bocor kepada pihak Belanda. Seorang penerjemah asal Bengkulu bernama Mohammad Arifin, yang menjabat sebagai staf pada Konsulat Belanda di Singapura, melaporkan isi perundingan tersebut kepada konsul Belanda. Melalui laporan dari konsulnya di Singapura, pemerintah Hindia-Belanda mengetahui bahwa kedua konsul tersebut menyatakan kesediaannya untuk mendukung Aceh. Informasi itu kemudian disampaikan ke Gubernur Jenderal James Loudon di Batavia, yang selanjutnya mengirimkan laporan ke pemerintah pusat di Den Haag.

Thumb
Karikatur ini menggambarkan Aceh dalam usahanya mencari dukungan internasional, khususnya kepada Kekaisaran Utsmaniyah (Turki) dan Rusia, dalam menghadapi serangan militer Belanda pada tahun 1873. Judul “De ‘Zieke Man’ en Atjin” mengacu pada julukan yang sering diberikan oleh negara-negara Barat kepada Kekaisaran Utsmaniyah, yang kala itu dianggap sebagai kekuatan besar yang sedang melemah — "The Sick Man of Europe". Karikatur ini diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 32 tahun 1873.

Informasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pihak Belanda, terlebih setelah beredar kabar bahwa militer Amerika Serikat dibawah pimpinan Laksamana Jenkins mulai mempersiapkan keberangkatan ke Aceh dari Hongkong dan akan tiba di Aceh pada awal Maret 1873. Merespons situasi ini, pada 18 Februari 1873, Menteri Jajahan di Belanda menginstruksikan Gubernur Jenderal di Batavia untuk segera mengirimkan armada militer ke Aceh. Setelah dilakukan perundingan, ditetapkan bahwa Komisaris Pemerintah Hindia-Belanda untuk Aceh, F. N. Nieuwenhuijzen, akan memimpin ekspedisi ini dengan dua kapal perang, yaitu Citadel van Antwerpen dan Siak. Dari Pulau Pinang, ia mendapatkan tambahan dua kapal lagi: Murnix dan Corhorn.

Pada 22 Maret 1873, warga Aceh yang tinggal di sekitar pantai Bandar Aceh melihat empat kapal Belanda berlabuh. Tidak lama kemudian, seorang juru bahasa Belanda bernama Said Tahir menyampaikan surat dari Komisaris Nieuwenhuijzen kepada Sultan Mahmud Syah. Surat tersebut berisi tuntutan agar Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Hindia-Belanda. Namun, Sultan menolak memberikan tanggapan, begitu pula terhadap surat-surat susulan yang berisi permintaan serupa. Penolakan inilah yang turut memicu pecahnya Perang Aceh.

Remove ads

Perang Aceh: Periode Kesultanan Aceh (1873-1903)

Ringkasan
Perspektif

Dimulainya Perang Aceh

Thumb
Di kiri bawah terdapat potret Mayor Jenderal H.M. Köhler, dan di kanan bawah potret Letnan Jenderal J. van Swieten, disertai nama-nama kapal perang Belanda yang terlibat dalam operasi militer. Gambar oleh Van Egmond & Heuvelink, Arnhem.

Perang Aceh secara resmi dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh. Alasan yang dikemukakan oleh Belanda adalah untuk melindungi kepentingan dagangnya di Selat Malaka dari apa yang mereka sebut sebagai "gangguan perompakan oleh kapal-kapal Aceh". Selain itu, Belanda merasa terancam oleh upaya diplomasi Aceh yang menjalin hubungan dengan beberapa kekuatan besar dunia saat itu, seperti Kesultanan Utsmani (Turki), Amerika Serikat, dan Italia.

Sebagai langkah awal, Belanda mengerahkan kekuatan lautnya dan melakukan blokade terhadap wilayah pesisir Aceh Besar dengan sekitar 60 kapal perang. Sementara itu, pasukan darat Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Köhler mendarat di pantai Ceureumen, di sebelah timur Ulee Lheue. Pasukan ini segera bergerak menuju pusat kota Bandar Aceh Darussalam.

Thumb
Pengeboman oleh kapal Belanda terhadap sisi utara Aceh, oleh Wilm Steffens, 1873

Setelah pertempuran berlangsung selama beberapa hari, pasukan Belanda berhasil menduduki wilayah Meuraksa dan membakar Masjid Raya Baiturrahman, simbol penting dalam kehidupan religius masyarakat Aceh. Namun, perlawanan sengit dari rakyat Aceh yang dipimpin oleh para uleebalang—dengan semangat jihad yang disuarakan melalui kalimat takbir “Lā ilāha illallāh”—berhasil memukul mundur pasukan kolonial. Dalam pertempuran tersebut, Jenderal Kohler tewas akibat tembakan jarak jauh dari seorang pejuang Aceh. Kematian Kohler menyebabkan demoralisasi di kalangan pasukan Belanda, yang kemudian memilih untuk mundur kembali ke Batavia.

Thumb
Bendera Aceh dari Masjid Aceh (sekarang dikenal sebagai Masjid Raya Baiturrahman). Sebuah meriam kecil (lela) dan 3 senjata api dapat dilihat

Sebagai respons terhadap perkembangan ini, Belanda memperketat blokade laut di wilayah Aceh guna mencegah masuknya bantuan dari luar negeri. Dengan demikian, fase pertama Perang Aceh dinyatakan berakhir.

Thumb
Karikatur ini menggambarkan kritik terhadap Ekspedisi Militer Pertama ke Aceh (1873). Dalam ilustrasi tersebut disampaikan peringatan untuk belajar dari sejarah, khususnya mengacu pada banyaknya korban Belanda di Bonjol (Sumatra) selama Perang Padri (1821–1837). Karikatur ini diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 13 tahun 1873, tak lama setelah kegagalan ekspedisi pertama di Aceh yang ditandai dengan tewasnya Jenderal Köhler dan mundurnya pasukan Belanda.
Thumb
Karikatur ini menyindir debat politik di Tweede Kamer (Majelis Rendah Parlemen Belanda) mengenai situasi di Aceh pada tahun 1874, dengan judul satiris “Interpelasi Aceh yang Dihangatkan Kembali”. Frasa ini mengisyaratkan bahwa perdebatan tersebut berulang, tidak tuntas, dan penuh retorika lama, seperti makanan basi yang dipanaskan kembali. Diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 16 tahun 1874, karikatur ini muncul di tengah situasi politik yang memanas pasca kegagalan ekspedisi militer pertama di Aceh dan meningkatnya tekanan terhadap pemerintah kolonial.
Thumb
Foto Habib Abdurrahman az-Zahir di Istanbul, 1873[114]

Sementara itu, Dewan Delapan terus aktif dalam mendukung perjuangan Aceh. Beberapa anggotanya dikirim ke Singapura untuk kembali menghubungi konsul Amerika Serikat, Mayor Studer, guna memperkuat posisi diplomatik Aceh. Melalui konsul tersebut, Dewan Delapan mengirimkan surat resmi kepada Presiden Ulysses S. Grant di Washington. Di sisi lain, Sultan Mahmud Syah II juga mengirimkan utusan khusus, Habib Abdurrahman az-Zahir, ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dari Sultan Turki Utsmani dan Syarif Mekkah dalam menghadapi agresi militer Belanda.

Perang Aceh Kedua (1874)

Thumb
Kapal-kapal Belanda di perairan Aceh, 1874
Thumb
Gambar bendera Aceh yang tersimpan di Museum Maritim Rotterdam, merupakan dokumentasi visual dari sebuah bendera yang ditangkap oleh Belanda selama Ekspedisi Aceh Kedua (1873–1874).

Tahap kedua Perang Aceh dimulai pada tahun 1874, di tengah wabah kolera yang melanda wilayah Aceh. Wabah ini dicurigai sebagai bagian dari strategi Belanda, yang diduga membawanya dari Batavia untuk melemahkan kekuatan militer dan pertahanan Kesultanan Aceh.

Thumb
Karikatur ini menyindir penutupan debat parlementer mengenai Perang Aceh pada tahun 1874. Judulnya yang bernada satiris — “Akhir dari Interpelasi Aceh atau Komedi Rahasia” — menunjukkan kritik terhadap cara pemerintah kolonial atau parlemen Belanda menangani isu Aceh, yang dianggap penuh kepura-puraan atau ditutup-tutupi. Gambar ini diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 17 tahun 1874, tepat setelah kegagalan Ekspedisi Aceh Pertama dan masuknya pasukan Belanda ke Banda Aceh namun tanpa penyelesaian nyata atas konflik tersebut.

Dalam fase ini, Belanda mengerahkan pasukan dalam jumlah yang lebih besar di bawah pimpinan Letnan Jenderal Jan van Swieten dan Mayor Jenderal G.M. Verspijck. Serangan dimulai dengan pendaratan pasukan Belanda di Lho Nga (Krueng Raba) dan Lamnga (Ujung Pedro Pasi). Namun, pasukan Belanda yang mendarat di Lamnga mengalami kekalahan dan terpaksa mundur. Mereka kemudian bergeser ke wilayah Kuala Gigieng dan Alue, tetapi kembali gagal menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Aceh.

Thumb
Tiga prajurit dari Aceh abad-19. Tiga pria berdiri di dekat sebuah rumah panggung di bawah pohon kelapa. 1873.

Belanda akhirnya berhasil merebut wilayah Gampong Baro, yang menjadi titik tolak mereka untuk melancarkan serangan langsung ke Masjid Raya Baiturrahman, pusat simbolik dan spiritual rakyat Aceh. Masjid ini dipertahankan dengan gigih oleh Tuanku Hasyim, Panglima Polem, serta sejumlah uleebalang dan pasukan rakyat Aceh. Setelah pertempuran sengit selama tiga belas hari, masjid jatuh ke tangan Belanda.

Pasukan Aceh kemudian mundur ke Dalam Darud Dunia, kompleks istana kerajaan, guna mempertahankan pusat kekuasaan. Namun, kekuatan pasukan kolonial Belanda yang lebih unggul tidak dapat dibendung, dan istana pun berhasil direbut. Belanda menjadikan Dalam Darud Dunia sebagai pusat komando dan pertahanannya. Masjid Raya Baiturrahman, yang sebelumnya mengalami kebakaran, kembali dirusak oleh Belanda meski tidak sepenuhnya dihancurkan. Kota Bandar Aceh kemudian diubah namanya menjadi Kutaraja oleh pemerintah pendudukan kolonial.

Sultan Mahmud Syah II, bersama keluarganya dan sejumlah pasukan, berhasil melarikan diri ke wilayah Lueng Bata, dan kemudian melanjutkan pelarian ke daerah pegunungan di selatan, tepatnya di Pagar Ayer. Setelah empat hari dalam pengungsian, Sultan wafat di sana akibat terjangkit kolera. Kepemimpinan Aceh kemudian diteruskan oleh Tuanku Hasyim, yang diangkat sebagai Wali Sultan Aceh.

Thumb
Selama Ekspedisi Aceh Kedua, KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) menggunakan meriam modern kaliber 12 cm untuk menaklukkan Banda Aceh. oleh H.M. van Dorp pada 1 Januari 1874

Pagar Ayer dijadikan sebagai markas sementara para pemimpin perlawanan Aceh. Dalam rangka memperkuat diplomasi luar negeri, Dewan Delapan kembali melakukan manuver diplomatik dengan bertemu Sultan Johor, Abu Bakar. Namun, usulan Sultan Abu Bakar agar Aceh berdamai dengan Belanda ditolak mentah-mentah oleh Teuku Paya, ketua Dewan Delapan, yang menegaskan komitmen untuk terus melawan pendudukan kolonial.

Pada tahun 1875, pemerintah kolonial Belanda memperluas ofensif militernya dengan menggempur wilayah Tiga Sagi, yang merupakan pusat-pusat kekuasaan adat dan militer Aceh. Serangan pertama ditujukan ke wilayah Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim menjelang akhir tahun, sebagai bagian dari strategi Belanda untuk melumpuhkan sistem pertahanan tradisional Aceh yang terorganisir dalam struktur Sagi.

Pada tahun 1876, pasukan Belanda melanjutkan kampanye militer dengan menduduki sejumlah wilayah pesisir Pidie dan membangun benteng pertahanan di Sigli. Kehadiran militer ini segera mendapat perlawanan dari rakyat Aceh. Di tengah situasi tersebut, muncul sosok penting dalam sejarah perlawanan Aceh, yakni Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, seorang ulama karismatik dari Tiro yang kemudian diangkat sebagai panglima perang di wilayah ini.

Thumb
Bendera Perang Kesultanan Aceh, 1877.

Pada tahun yang sama, organisasi Dewan Delapan, yang sebelumnya aktif dalam kegiatan diplomasi dan penggalangan bantuan untuk Aceh dari luar negeri, tampaknya telah dibubarkan. Ketua Dewan Delapan, Teuku Paya, kembali ke Aceh untuk bergabung dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda. Meski organisasi ini secara resmi tidak aktif lagi, beberapa mantan anggotanya di Penang tetap menjalin komunikasi dengan pimpinan Kesultanan Aceh hingga dua dekade berikutnya.

Habib Abdurrahman az-Zahir, ulama dan diplomat Aceh yang sebelumnya menjalankan misi ke Kekaisaran Utsmani (Turki) dan telah singgah selama dua tahun di Penang untuk bertemu dengan Dewan Delapan, kembali ke tanah air. Ia mendarat di Idi, membawa semangat baru dalam perlawanan. Meskipun upayanya meminta bantuan militer dari Sultan Abdul Hamid II dan Syarif Mekkah tidak membuahkan hasil, Habib berhasil menggalang dana perang dalam jumlah besar dari para uleebalang pantai utara dan timur Aceh.

Perang Samalanga Pertama (1877)

Thumb
Karel van der Heijden kehilangan matanya dalam pertempuran di Samalanga.

Dengan dana dan pasukan yang berhasil dikumpulkan, Habib Abdurrahman memimpin kekuatan militer baru di Aceh Timur. Ia juga menjalin aliansi dengan Tuanku Bentara Keumangan dari Gigieng, yang memperkuat pasukannya. Di akhir tahun, pasukan gabungan dari Idi, Gigieng, dan Samalanga melancarkan serangan besar terhadap pos-pos Belanda di bagian tenggara wilayah pendudukan kolonial. Serangan ini menandai dimulainya Pertempuran Samalanga.

Dalam pertempuran tersebut, pasukan Belanda di bawah komando Kolonel Karel van der Heijden menyerang pertahanan Samalanga yang dipimpin oleh seorang bangsawan wanita tangguh, Pocut Meuligoe. Belanda berhasil mendirikan pos di wilayah pesisir, lalu berusaha menembus pusat Samalanga. Namun, mereka tertahan oleh pertahanan kuat di Benteng Batee Iliek, sebuah benteng kokoh milik pasukan Aceh.

Serangan terhadap Benteng Batee Iliek kembali menemui kegagalan bagi Belanda. Pertempuran Samalanga I pun berakhir dengan kemenangan di pihak Aceh. Kolonel van der Heijden, komandan pasukan Belanda, tertembak pada bagian mata kirinya dalam pertempuran tersebut. Ia selamat, tetapi sejak saat itu dikenal luas di kalangan rakyat Aceh dengan julukan “Jenderal Mata Satu”.

Thumb
Bendera Aceh Zulfikar, 1887.

Keberhasilan mempertahankan Samalanga dan Meureudu menjadi kemenangan penting bagi pasukan Aceh. Namun, pertempuran sengit di Samalanga tidak selesai dalam waktu singkat dan berlanjut hingga tahun berikutnya, menandai periode baru dalam perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh kombinasi ulama, bangsawan, dan pemimpin adat.

Kunjungan van Lansberge (1877)

Thumb
Sebuah versi digital dari bendera Aceh tahun 1877, yang memuat kata dalam bahasa Belanda “Handel” (yang berarti “Perdagangan”), kemungkinan merupakan sebuah bendera sipil atau bendera kapal dagang yang digunakan oleh kapal-kapal niaga Aceh pada masa itu.

Pada tahun 1877, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.W. van Lansberge, melakukan kunjungan langsung ke Kutaraja (nama yang diberikan Belanda untuk Banda Aceh) guna meninjau situasi di medan Perang Aceh. Dalam kunjungannya, van Lansberge menyarankan untuk menghentikan ekspansi wilayah dan menganjurkan strategi bertahan dan menunggu (defensive waiting), strategi yang menurutnya lebih cocok untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang gigih dan berkepanjangan.

Menindaklanjuti strategi tersebut, pasukan Belanda mulai membangun jaringan pos-pos pertahanan permanen di sepanjang garis pendudukan mereka di wilayah Aceh Besar. Pembangunan ini berhasil memutus jalur logistik dan perbekalan milik pasukan Aceh di dataran rendah, sehingga memaksa pihak Aceh mengalihkan jalur pasokan melalui jalur pegunungan yang sulit dan berbahaya.

Namun, antara bulan Agustus hingga Oktober 1877, Belanda kembali melancarkan agresi terhadap wilayah-wilayah yang diketahui masih aktif melakukan perlawanan. Ekspedisi militer ini ditujukan ke wilayah-wilayah pantai barat seperti Meulaboh dan Lehong, pantai utara seperti Meureudu dan Samalanga, serta pantai timur seperti Langsa dan Manyak Payed. Daerah-daerah ini diketahui dikuasai oleh para uleebalang yang menolak tunduk kepada Belanda.

Serangan ke pantai barat berjalan relatif sukses bagi pihak Belanda, yang berhasil menguasai Meulaboh dan Lehong. Namun, serangan mereka ke wilayah utara dan timur mengalami kegagalan.

Thumb
Patroli militer Belanda yang sedang istirahat saat Perang Aceh, foto oleh H.M. Neeb

Pertempuran di Aceh Besar (1877-1878)

Dua bulan setelah Perang Samalanga I, pasukan gabungan dari para uleebalang utara dan timur, bersama pasukan di bawah komando Habib Abdurrahman az-Zahir, melancarkan serangan balasan. Mereka menyerbu dan menggempur garis pertahanan Belanda di pantai timur Aceh Besar. Dalam operasi ini, pasukan Aceh berhasil menembus ke dalam wilayah pendudukan dan mencapai Pante Pirak yang berada di dalam kota Kutaraja, bahkan sempat mendudukinya sebelum akhirnya mundur kembali.

Pada tahun 1878, setelah posisi Pagar Ayer menjadi tidak aman akibat gempuran Belanda, Tuanku Hasyim dan para pemimpin utama Kesultanan Aceh memindahkan pusat perlawanan ke Indrapuri, sebuah wilayah strategis di Sagi XXVI Mukim. Mereka mendirikan markas baru di Masjid Tua Indrapuri, yang kemudian dijadikan pusat pemerintahan pelarian Aceh. Di tempat ini pula, para pembesar mengangkat Tuanku Muhammad Daud sebagai Sultan Aceh yang baru dan terakhir, dengan gelar Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah II. Karena usianya yang masih muda, kendali tertinggi pemerintahan tetap berada di tangan Tuanku Hasyim selaku Wali Sultan.

Sementara itu, Habib Abdurrahman az-Zahir, tokoh penting dalam diplomasi dan militer Aceh, melanjutkan perlawanan bersenjata. Dari basisnya, ia memimpin serangkaian serangan terhadap kedudukan Belanda di wilayah Aceh Besar, termasuk di Lam Krak, Leupong, Gletaron, Lhoknga, Krueng Raba, Bukit Sebon, dan Peurukuan Bada. Ia kemudian menempatkan diri di Montasik, mendirikan Benteng Seuneulob sebagai markas utamanya. Dari Montasik, Habib menjalin koordinasi dengan Teungku Chik di Tiro, yang tengah memimpin perlawanan sengit di Sigli dan Gigieng.

Thumb
Pasukan Belanda mendarat di Aceh, oleh JA. Kruijt, 1878

Namun kekuatan Belanda di bawah pimpinan Jenderal van der Heijden (yang telah diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh) semakin menguat. Ia melancarkan operasi militer terhadap wilayah-wilayah strategis yang masih dikuasai Aceh, termasuk daerah Geudong dan Idi. Habib Abdurrahman bersama 2.000 orang pasukannya kemudian melancarkan serangan besar ke Mukim VI di Aceh Besar, tetapi serangan ini berhasil dipatahkan oleh Belanda.

Antara bulan Juli hingga Oktober 1878, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Benteng Seuneulob, dan akhirnya berhasil merebutnya. Kekalahan ini menjadi pukulan besar bagi moral perjuangan Habib Abdurrahman. Setelah kekalahan tersebut, ia memutuskan untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Dalam kesepakatan penyerahan dirinya, ia menerima pengampunan dan diperbolehkan meninggalkan Aceh dengan syarat tidak kembali lagi. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberinya pensiun seumur hidup sebesar 10.000 dolar per bulan. Habib Abdurrahman kemudian pergi ke Makkah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya, tanpa pernah kembali ke Aceh.

Aliansi Aceh–Sisingamangaraja dalam Perang Batak (1878–1907)

Thumb
Sisingamangaraja XII dalam mata uang 1000 Rupiah.

Perang Batak, yang berlangsung dari tahun 1878 hingga 1907, merupakan salah satu perlawanan terpanjang terhadap kolonialisme Belanda di Sumatra Utara. Dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, raja dan pemimpin spiritual masyarakat Batak, perlawanan ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga melibatkan aliansi strategis dengan Kesultanan Aceh.[115][116]

Sisingamangaraja XII menolak keras penyebaran agama Kristen oleh misionaris Belanda yang tergabung dalam Rijnsche Zending, karena dianggap mengancam kepercayaan tradisional Parmalim yang dianut oleh masyarakat Batak. Penolakan ini memicu intervensi militer Belanda pada Februari 1878, yang memprovokasi Sisingamangaraja untuk memulai perlawanan bersenjata. Pada Desember 1878, Sisingamangaraja XII membentuk aliansi dengan pejuang Aceh untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda.[115][117][118]

Thumb
Bendera Sisingamangaraja XII

Aliansi ini memungkinkan pertukaran taktik dan pelatihan militer antara pasukan Batak dan Aceh. Pasukan Batak dilatih dalam perang gerilya di gua-gua tersembunyi, sementara pelatih dari Aceh, seperti Teungku Mengambat, membantu meningkatkan kemampuan tempur mereka. Sebagai balasannya, beberapa perwira Batak dikirim ke Aceh untuk mendapatkan pelatihan lebih lanjut.[115][119]

Aliansi ini berhasil menduduki wilayah pedalaman Sumatra Utara, namun saat memasuki wilayah kota, pasukan ini dapat dipukul mundur oleh Belanda. Meskipun demikian, kolaborasi ini memperkuat semangat perlawanan dan memperluas jaringan anti-kolonial di Sumatra.[115]

Setelah pendudukan Huta Paong oleh Belanda pada September 1889, perlawanan mulai melemah. Belanda terus memburu Sisingamangaraja dan pasukannya hingga terjadi pertempuran di daerah Tamba. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Batak mengalami kekalahan dan melarikan diri. Pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran di Dairi bersama dua putranya dan putrinya.[115][119]

Usaha Mendapatkan Dukungan Rusia (1879 dan 1904)

Sepanjang sejarahnya, Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai kekuatan asing, termasuk Kekaisaran Rusia. Hubungan ini terutama berkembang pada akhir abad ke-19, ketika Aceh mencari dukungan internasional untuk mempertahankan kedaulatannya dari ekspansi kolonial Belanda.

Dalam upaya mencari perlindungan dan dukungan internasional, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah II mengirimkan surat kepada Tsar Rusia, Aleksandr II pada tahun 1879, memohon agar Aceh dijadikan wilayah protektorat Rusia, namun tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Permintaan serupa kembali diajukan pada Februari 1904 kepada Tsar Nicholas II, saat Rusia sedang berperang dengan Jepang dalam Perang Rusia–Jepang (1904-1905). Namun, kedua permohonan tersebut ditolak oleh Rusia, yang khawatir bahwa menerima Aceh sebagai protektorat akan merusak hubungan diplomatiknya dengan Belanda .

Penolakan Rusia terhadap permintaan Aceh didasarkan pada pertimbangan geopolitik. Rusia menilai bahwa menerima Aceh sebagai protektorat akan sulit dipertahankan secara logistik, terutama jika terjadi konflik dengan Inggris. Selain itu, Rusia tidak ingin terlibat dalam sengketa kolonial di Asia Tenggara yang dapat memperumit hubungannya dengan kekuatan Eropa lainnya .

Salah satu perwira Rusia yang pernah singgah di Aceh adalah Letnan Sergey Vasilyevich Khokhlov, seorang perwira angkatan laut Rusia yang gugur dan dimakamkan di Sabang, Aceh. Makam ini menjadi simbol hubungan historis antara Aceh dan Rusia. Khokhlov merupakan komandan kompi di kapal perang Poltava milik Angkatan Laut Kekaisaran Rusia. Pada akhir abad ke-19, Kekaisaran Rusia mengirimkan kapal-kapal perangnya ke Asia Timur untuk memperkuat kehadiran militer di kawasan tersebut, terutama di Port Arthur (sekarang Dalian, Tiongkok), sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan dengan Jepang di Manchuria dan Semenanjung Korea.

Dalam pelayaran dari Kronstadt, Rusia, menuju Port Arthur, Poltava singgah di Pelabuhan Sabang, Aceh, pada Februari 1901 untuk mengisi bahan bakar batu bara. Saat hendak melanjutkan perjalanan ke Hong Kong, terjadi kecelakaan: penahan jangkar sebelah kanan kapal jatuh dan menghantam kepala Letnan Khokhlov, yang menyebabkan kematiannya pada 27 Februari 1901.[120][121][122][123][124][125]

Pemindahan Ibukota Kesultanan Aceh ke Keumala (1879)

Tahun 1879 menandai jatuhnya Tiga Sagi—wilayah strategis dan simbolik dari Kesultanan Aceh—ke tangan Belanda. Setelah menghadapi perlawanan sengit dari laskar Aceh, seluruh wilayah Aceh Besar, termasuk Sagi XXII, XXV, dan XXVI Mukim, berhasil diduduki oleh pasukan kolonial. Akibat tekanan militer yang intens, rombongan kesultanan yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim dan Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah II mengungsi ke arah timur dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Keumala, Pidie. Di lokasi ini, sebuah istana baru didirikan dan dinamakan Dalam Kuta Keumala, yang kemudian menjadi pusat kegiatan politik dan militer sisa pemerintahan Kesultanan Aceh.

Pasukan Belanda terus melanjutkan operasi militer terhadap kantong-kantong perlawanan Aceh di berbagai daerah. Di Pidie, wilayah Peukan Baro menjadi sasaran serangan, sementara di Aceh Besar, kampanye militer diarahkan ke Ladong dan Krueng Raya. Di wilayah Peusangan, posisi Aceh di Kuala Jangka juga diserang. Di bagian timur Aceh, Belanda mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan memperkuat pertahanan di Lhokseumawe dan Idi, termasuk pembangunan pos-pos militer baru.

Thumb
Habib Abdurrahman az-Zahir, 1880.

Gelombang penyerahan diri sejumlah tokoh penting Aceh terjadi sepanjang tahun ini, menyusul jejak Habib Abdurrahman az-Zahir yang telah menyerah pada tahun sebelumnya. Tokoh-tokoh yang menyerah termasuk Tuanku Muda Baid, Panglima Tibang, dan Tengku di Gle Jal, mayoritas dari mereka adalah uleebalang berpengaruh dari wilayah Tiga Sagi. Meskipun demikian, kekuasaan Belanda di Aceh masih belum mutlak. Panglima Polem dari Sagi XXII Mukim tetap melanjutkan perlawanan dari basisnya di Indrapuri, bahkan melancarkan serangan terhadap posisi Belanda dari daerah tersebut. Beberapa uleebalang di Sagi XXVI Mukim juga mempertahankan wilayah mereka dan menolak tunduk kepada kekuasaan kolonial.

Menghadapi kerasnya perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda mulai menerapkan pendekatan baru melalui kebijakan keagamaan untuk meredakan konflik. Sebagai bagian dari strategi ini, Jenderal van Swieten bersama Jenderal van der Heijden (Gubernur Militer Aceh) menginisiasi proyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja, yang telah hancur akibat serangan Belanda sebelumnya. Peletakan batu pertama renovasi masjid ini dilakukan pada tahun 1879 dan disaksikan langsung oleh Jenderal van der Heijden, sebagai upaya simbolik untuk menarik simpati masyarakat Muslim Aceh.

Thumb
Karel van der Heijden, 1879.

Perang Samalanga Kedua (1880)

Pada tahun 1880, kondisi keamanan di wilayah Kutaraja dan Aceh Besar mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas setelah bertahun-tahun dilanda konflik. Penduduk sipil yang sebelumnya mengungsi karena perang, perlahan mulai kembali ke kampung halaman mereka. Situasi ini sebagian besar disebabkan oleh ketatnya patroli militer Belanda yang secara efektif mengawasi wilayah pendudukan dan mencegah serangan dari pasukan gerilya Aceh.

Namun, di daerah lain, pertempuran masih terus berlanjut. Di wilayah Samalanga, terjadi Pertempuran Samalanga II, di mana pasukan Aceh yang dipimpin oleh Nyak Mandarsyah bersama sejumlah ulama setempat, terlibat bentrokan dengan pasukan Belanda yang mencoba merebut kembali daerah tersebut. Dalam pertempuran ini, Belanda mengerahkan kapal uap “Sambas” untuk melakukan penembakan dari laut terhadap posisi pasukan Aceh. Serangan ini memaksa Nyak Mandarsyah dan pasukannya mundur. Meskipun begitu, ketika pasukan Belanda kembali berusaha menaklukkan Benteng Batee Iliek, mereka kembali gagal dan harus mundur ke posisi mereka di pesisir.

Thumb
Serangan ke Mukim XXII, 1880

Di Pidie, tokoh perlawanan terkenal, Teungku Chik di Tiro, mulai mengorganisasi kekuatan baru. Ia berhasil mengumpulkan sekitar 1.000 orang prajurit di Garot, sebagai persiapan untuk menyerang benteng Belanda di Sigli, mempertegas komitmennya untuk terus memimpin perjuangan bersenjata melawan kolonialisme Belanda di wilayah pantai utara Aceh.

Sementara itu, pemerintahan kolonial Belanda juga mulai memperkuat infrastruktur sipil di daerah kekuasaannya. Pada tahun ini, mereka mendirikan sebuah rumah sakit besar di Kutaraja, yang disebut-sebut sebagai rumah sakit terbesar dan termodern di seluruh Hindia Belanda pada masa itu. Pembangunan rumah sakit ini tidak hanya berfungsi untuk keperluan medis militer dan penduduk, tetapi juga sebagai bagian dari upaya simbolik untuk menampilkan kehadiran sipil dan stabilitas kolonial di tengah konflik yang masih berlangsung di berbagai wilayah Aceh.

Perang Aceh Ketiga (1881)

Thumb
enderal Vetter sebagai Prikkebeen, seorang tokoh fiksi populer dari cerita anak-anak, digambarkan di sini sebagai pemburu kupu-kupu yang mencoba menangkap seekor tawon besar bernama Oemar — merujuk pada Teukoe Oemar, pemimpin perlawanan Aceh yang dikenal licik dan taktis. Karikatur ini muncul dalam lampiran majalah De Kroniek tertanggal 19 April 1896, dan di bagian bawahnya terdapat enam baris puisi (vers) yang biasanya bersifat sindiran atau jenaka, mencerminkan pandangan kolonial terhadap tokoh perlawanan.

Tahun 1881 menandai dimulainya Tahap Ketiga Perang Aceh, yang ditandai dengan perubahan strategi dan semangat perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda. Inspirasi besar datang dari Afrika Timur, ketika Muhammad Ahmad, pendiri Negara Mahdi dan seorang pemimpin keagamaan dari Sudan, mendeklarasikan dirinya sebagai Imam Mahdi dan memimpin gerakan melawan pendudukan Inggris-Mesir. Keberhasilan gerakan Mahdist dalam memerdekakan Sudan menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin Aceh yang percaya bahwa kemenangan umat Islam atas penjajah juga mungkin dicapai.

Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro, para ulama dan uleebalang Aceh mengumumkan Prang Sabi (perang suci) melawan kolonialisme Belanda. Seruan ini memobilisasi rakyat dan menegaskan dimensi keagamaan dari perjuangan Aceh. Teungku Chik di Tiro kemudian memimpin pasukan untuk menyerang dan merebut kembali benteng Belanda di Sigli, mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin perlawanan Aceh yang utama.

Sementara itu, di pantai barat Aceh, Teuku Umar, seorang panglima muda yang mulai menunjukkan karismanya, memimpin laskar Aceh dalam merebut kota Meulaboh dari tangan Belanda. Setelah itu, mereka melanjutkan ekspedisi ke Rigas dan Patih, dua wilayah uleebalang lainnya, dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang mencoba mendarat di kawasan tersebut.

Situasi ini memperburuk posisi militer Belanda di Aceh. Jenderal van der Heijden, Gubernur Militer Aceh yang dikenal kejam, dicopot dari jabatannya menyusul tekanan dari media dan kalangan pejabat di Belanda yang mengecam pelanggaran hukum perang yang ia lakukan. Kabar pemecatan van der Heijden disambut gembira oleh rakyat Aceh, yang menganggapnya sebagai kemenangan moral. Para pejuang Aceh bahkan mulai membujuk serdadu Belanda untuk membelot dan bergabung dengan pihak Aceh.

Thumb
Karikatur ini menyajikan gambaran sangat tajam dan simbolis tentang konflik berkepanjangan di Aceh, digambarkan melalui visual tubuh manusia yang dipotong-potong — sebuah alegori kekerasan, penderitaan, dan kekacauan yang timbul dari perang kolonial. Diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 42 tahun 1882, karikatur ini merupakan bentuk kritik terhadap kebijakan militer Belanda di Aceh, yang meskipun diklaim sebagai "upaya penertiban", justru menyebabkan kehancuran besar dan penderitaan yang meluas.

Sebagai bagian dari restrukturisasi pemerintahan kolonial, Belanda mengganti sistem militer dengan pemerintahan sipil. Pruys van der Hoeven diangkat sebagai Gubernur Sipil Aceh yang pertama. Pada masa pemerintahannya, renovasi Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja yang telah dimulai sejak 1879 akhirnya rampung. Sebuah upacara penyerahan masjid dilangsungkan secara resmi, ditandai dengan 13 kali tembakan meriam dan penyerahan simbolik kunci masjid dari gubernur kepada Teungku Kadhi Malikul Adil sebagai pemuka agama setempat.

Dalam waktu yang sama, Belanda merebut Pulau Weh dan mendirikan Kolen Station (stasiun batu bara) di Sabang, menjadikan pulau tersebut pos strategis penting di ujung utara Sumatra. Di front timur, pasukan Aceh melancarkan serangan terhadap Lhokseumawe, berupaya menggempur kedudukan Belanda di kawasan tersebut.

Semangat jihad yang bangkit pada tahun ini turut mendorong munculnya berbagai karya sastra perjuangan. Beberapa karya penting yang muncul antara lain:

Karya-karya ini menjadi bagian penting dari mobilisasi budaya dan ideologi dalam mendukung perang perlawanan Aceh yang semakin terorganisir dan terideologisasi.

Thumb
Karel van der Heijden, oleh Carel Eduard Westerborg 1904.

Tahun 1882 menjadi kelanjutan dari meningkatnya intensitas perlawanan Aceh terhadap kolonial Belanda setelah pemecatan Jenderal van der Heijden dari posisi Gubernur Militer Aceh pada tahun sebelumnya. Pemecatan ini berdampak signifikan terhadap moral pasukan Belanda di Aceh. Sekitar 70 serdadu Belanda, termasuk 17 orang “Londo Ireng” (prajurit Belanda yang berasal dari kalangan pribumi), membelot dan menyeberang ke pihak Aceh. Fenomena ini menandai semakin besarnya pengaruh gerakan perlawanan yang dipimpin oleh para ulama dan panglima lokal.

Pasukan perlawanan di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro, bersama sejumlah ulama dan laskar, melakukan serangkaian serangan ke wilayah perbatasan Aceh Besar, menyerbu benteng-benteng Belanda yang terdapat di sana. Serangan ini terus merangsek ke arah barat, menunjukkan ekspansi militer gerilyawan Aceh ke wilayah inti kekuasaan Belanda.

Thumb
Teuku Umar, 1899

Di pantai barat Aceh, Teuku Umar, yang bermarkas di Meulaboh, memimpin serangan besar terhadap Kutaraja dan Ulee Lheue, dua lokasi strategis yang menjadi pusat kekuasaan dan pelabuhan penting Belanda. Dalam operasi ini, salah satu panglima Teuku Umar, Teuku Nyak Hasan, memimpin laskar untuk menggempur pos-pos militer Belanda di sepanjang pesisir barat Aceh Besar, dan berhasil merebut Peukan Bada dan Krueng Raba.

Serangan-serangan ini memperlihatkan adanya koordinasi yang semakin rapi antara panglima-panglima Aceh dari berbagai daerah, serta menyiratkan kuatnya basis dukungan rakyat terhadap perang perlawanan. Tahun ini menandai semakin menguatnya tekanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, baik secara militer maupun moral.

Kepemimpinan Penuh Muhammad Daud Syah II (1883)

Tahun 1883 ditandai dengan perubahan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan Aceh. Tuanku Hasyim secara resmi menyerahkan kekuasaan penuh kepada Sultan Muhammad Daud Syah II, yang telah dianggap dewasa dan mampu memimpin. Penobatan resmi sultan ini membangkitkan semangat baru di kalangan rakyat dan pejuang Aceh, yang melihatnya sebagai simbol keberlanjutan kekuasaan sah Kesultanan di tengah-tengah perang melawan kolonialisme Belanda.

Di medan perang, serangan terhadap wilayah pendudukan Belanda semakin meningkat. Pasukan gerilyawan di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro menyusup ke kawasan-kawasan yang telah dikuasai Belanda dan melakukan sabotase terhadap infrastruktur modern, khususnya jaringan telepon dan listrik. Ratusan tiang dan kabel telepon, serta isolator, dirusak atau dijarah sebagai bagian dari taktik perang non-konvensional untuk melumpuhkan komunikasi militer Belanda.

Thumb
Karikatur ini menyindir Menteri Urusan Koloni, Van Bloemen Waanders, yang digambarkan tengah dihantui oleh “hantu problematika Aceh” pada tahun 1883. Gambar ini merupakan representasi visual dari kekhawatiran politik di Belanda terkait situasi tak kunjung selesai di Aceh, di tengah perdebatan sengit di parlemen (interpelasi). Karikatur ini diterbitkan dalam majalah mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 25, tahun 1883.

Selain itu, Chik di Tiro, dibantu oleh sejumlah uleebalang lokal, melancarkan serangan besar ke kawasan Tiga Sagi, wilayah penting yang sebelumnya menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda. Gempuran laskar Aceh terjadi serentak di berbagai wilayah, yang memaksa Belanda untuk meninggalkan hampir seluruh pos mereka di luar Aceh Besar, dengan pengecualian dua lokasi strategis: Samalanga dan Lhokseumawe.

Sementara itu, di Aceh Barat, Teuku Umar menjalin perdamaian taktis dengan Gubernur van Teijn, yang secara lahiriah tampak sebagai langkah diplomatik, namun pada kenyataannya merupakan bagian dari strategi tipu daya kedua belah pihak untuk menguatkan posisi mereka masing-masing.

Di tengah gencarnya pertempuran, pihak Aceh kehilangan salah satu tokoh pentingnya: Teuku Nyak Hasan, seorang uleebalang terkemuka sekaligus panglima perang andal, wafat pada tahun ini. Kematian Nyak Hasan dianggap sebagai kemenangan moral oleh Belanda, yang mengakui reputasinya sebagai ahli perang gerilya yang sulit ditaklukkan.

Insiden Pembajakan Kapal Nicero (1884)

Thumb
Karikatur ini menyindir kampanye militer Belanda untuk menumpas pembajakan (piraterij) di perairan Aceh. Judulnya, "Atjeh Beteugeld" atau "Aceh Dijinakkan", mencerminkan sudut pandang kolonial yang menggambarkan Aceh sebagai wilayah liar yang perlu dikendalikan. Diterbitkan dalam mingguan De Nederlandsche Spectator, edisi nomor 25, tahun 1884, karikatur ini merefleksikan bagaimana aksi militer kolonial dibingkai secara simbolik sebagai penertiban terhadap kekacauan, khususnya terhadap tuduhan praktik pembajakan oleh orang-orang Aceh di Selat Malaka.

Pada tahun 1884, Belanda mengangkat Kolonel Henry Demmeni sebagai Gubernur Aceh yang baru, menggantikan pemerintahan sebelumnya dalam upaya memperkuat kendali kolonial di tengah perlawanan yang terus berkobar. Tahun ini juga ditandai oleh sebuah insiden internasional penting, yaitu Insiden Kapal Nicero, yang memperburuk citra Belanda di mata dunia.

Sebuah kapal dagang Inggris bernama Nicero terdampar di pesisir barat Aceh dan dibajak oleh Teuku Imam Muda, seorang uleebalang dari Teunom. Ia menahan kapal tersebut dan menuntut tebusan dalam jumlah besar. Ketika sebuah kapal Inggris datang untuk melakukan pembebasan, Belanda mencegah intervensi langsung Inggris, sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik antara kedua negara. Inggris mengancam akan menghentikan paksa Perang Aceh jika Belanda gagal menuntaskan masalah tersebut.

Menanggapi tekanan itu, Belanda mengutus Teuku Umar untuk menyelesaikan insiden tersebut. Namun, Umar memanfaatkan kesempatan itu untuk membelot kembali ke pihak Aceh, dan memimpin serangan terhadap Mukim VI di Aceh Besar, yang berhasil direbut dari tangan Belanda. Ia kemudian menjadikan kawasan tersebut sebagai markas barunya.

Di sisi lain, Belanda akhirnya mengalah pada tuntutan Inggris, dan mengirim dua utusan, Laging Tobias dan Maxwell, untuk berunding langsung dengan Teuku Imam Muda di Teunom. Setelah negosiasi, tebusan dibayar, dan kapal Nicero dikembalikan kepada Inggris, meredakan ketegangan internasional yang sempat mengancam eskalasi konflik.

Di medan tempur, pasukan Teungku Chik di Tiro melancarkan serangan cepat yang berhasil memaksa pasukan Belanda mundur dari XXII Mukim dan sebagian besar XXVI Mukim, dua wilayah penting di Aceh Besar. Diikuti dengan kemenangan besar pasukan Aceh di Tiga Sagi, yang sebagian besar berhasil direbut kembali dari kontrol Belanda.

Puncaknya, dua pos Belanda terakhir di luar Aceh Besar, yaitu Samalanga dan Lhokseumawe, ditinggalkan oleh pasukan Belanda setelah tak mampu menahan serangan sengit dari laskar Aceh. Dengan ini, wilayah kekuasaan Belanda di luar Aceh Besar hampir sepenuhnya hilang, menunjukkan kebangkitan kembali perlawanan Aceh yang semakin kuat dan terkoordinasi.

Wabah Beri-Beri (1885)

Tahun 1885 ditandai oleh mewabahnya penyakit beri-beri di Aceh, yang berdampak besar terhadap jalannya Perang Aceh. Sebagian besar korban dari wabah ini adalah serdadu Belanda, sehingga melemahkan kekuatan militer kolonial di berbagai pos penjagaan mereka. Namun, kedua belah pihak—Belanda maupun Aceh—ikut terdampak, yang menyebabkan menurunnya intensitas pertempuran dan munculnya wacana perdamaian.

Dalam upaya menempuh jalan damai, Teungku Chik di Tiro, tokoh utama perlawanan Aceh, mengirim surat kepada Gubernur Belanda, Henry Demmeni di Kutaraja. Dalam surat itu, ia menyatakan bahwa rakyat Aceh bersedia berdamai apabila Belanda bersedia memeluk Islam. Namun demikian, permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh pihak Belanda, dan tidak ada perubahan sikap dari pemerintah kolonial.

Serangan Teuku Nyak Makam di Tamiang dan Langkat (1885)

Thumb
Lukisan Teuku Nyak Makam. Repro: The Dutch Colonial War In Aceh.

Sementara itu, di front timur, pertempuran terus berlangsung sengit. Pasukan Aceh di bawah komando Teuku Nyak Makam, yang bermarkas di wilayah Langsa dan Manyak Payed, melancarkan serangan besar ke daerah Tamiang dan Langkat. Dalam penyerangan ini, perkebunan-perkebunan Belanda di Seruway, Pulau Kampai, hingga Besitang dibumihanguskan, sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspansi ekonomi kolonial di kawasan timur Sumatra.

Sebagai dampak dari perlawanan tersebut, banyak kejuruan (negeri) di Tamiang serta Bahorok di Langkat menyatakan berpihak kepada Aceh, dan secara aktif membantu laskar Aceh dalam perang melawan Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap perjuangan Aceh mulai meluas ke luar batas tradisional kesultanan, dan membentuk perlawanan regional yang lebih terkoordinasi.

Thumb
Keberangkatan satu detasemen pasukan dari Rotterdam ke Hindia Belanda untuk menghadapi Perang Aceh, karya Isaac Israëls, 1886

Tahun 1886 menjadi tahun yang sangat berat bagi pihak Belanda, akibat wabah beri-beri yang semakin meluas dan mematikan. Lebih dari 6000 serdadu Belanda dilaporkan terserang penyakit ini. Rumah Sakit Hindia Belanda di Kutaraja, yang sebelumnya dianggap paling modern di Hindia Belanda, tidak mampu menangani lonjakan jumlah pasien, dan sebagian besar prajurit tidak mendapat perawatan memadai.

Bahkan, Gubernur Aceh saat itu, Kolonel Henry Demmeni, diduga turut terjangkit penyakit tersebut dan akhirnya meninggal dunia pada bulan Desember 1886 setelah dua tahun masa jabatannya. Posisinya kemudian digantikan oleh Kolonel H.K.F. van Teijn, yang menjadi gubernur baru di tengah krisis kesehatan dan tekanan militer yang terus meningkat.

Di medan perang, perlawanan Aceh terus berlangsung, terutama di front timur. Teuku Nyak Makam kembali memimpin serangan intensif terhadap pos-pos militer Belanda di wilayah Langkat, termasuk Pangkalan Susu, Langkat Hilir, dan Serapuh di Langkat Hulu. Selain itu, wilayah Seruway dan Pulau Kampai, yang sebelumnya sempat direbut kembali oleh Belanda, kembali diserang dan digempur oleh pasukan Aceh.

Serangan-serangan ini menunjukkan bahwa pasukan Aceh masih aktif dan agresif di berbagai front, terutama di luar Aceh Besar, meskipun wabah penyakit juga memengaruhi jalannya perang secara umum.

Pertahanan Belanda dan Konsolidasi di Sumatra Timur (1887)

Pada tahun 1887, pasukan Teungku Chik di Tiro melancarkan serangan terhadap garis pertahanan Belanda di Kuala Meusapi dan Rajabedil (Kuta Pohama). Namun, serangan ini berhasil dipatahkan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten G.J. Albert Webb.

Sementara itu, kondisi di front timur mulai melemah bagi pihak Aceh. Teuku Nyak Makam dan pasukannya mundur dari Langkat, kembali ke basis mereka di Langsa dan Manyak Payed. Sebagian besar wilayah yang sebelumnya berhasil dikuasai pasukan Aceh—termasuk di Langkat dan Tamiang—berhasil direbut kembali oleh Belanda, kecuali Bahorok dan kejuruan-kejuruan di pedalaman Tamiang.

Di saat yang sama, Kota Medan mulai tumbuh sebagai pusat administrasi dan ekonomi baru di Sumatra Timur. Sejak tahun ini, Belanda secara resmi memindahkan pusat pemerintahan Karesidenan Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan, menandai perkembangan penting dalam konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda di kawasan timur Pulau Sumatra.

Dialog Gagal antara Ulama dan Gubernur (1888)

Thumb
Pertempuran di Aceh, oleh J.F.D. Bruinsma, 1888

Tahun 1888 ditandai oleh usaha diplomatik untuk mengakhiri Perang Aceh, meskipun akhirnya berakhir tanpa hasil. Teungku Chik di Tiro kembali mengirim surat kepada Gubernur Belanda, Kolonel H.K.F. van Teijn, menawarkan perdamaian dengan syarat bahwa orang-orang Belanda bersedia memeluk Islam. Dalam suratnya, Teungku Chik di Tiro menekankan bahwa perang yang berkepanjangan telah merugikan kedua belah pihak dan oleh karenanya perdamaian menjadi jalan terbaik.

Surat ini dibalas langsung oleh Gubernur van Teijn, yang menyatakan kesediaannya untuk mengakhiri perang namun menolak untuk memeluk Islam. Ia juga menawarkan untuk bertemu langsung dengan Teungku Chik di Tiro di Kutaraja. Namun, Teungku Chik di Tiro dengan tegas menolak tawaran tersebut, dan menyatakan bahwa perdamaian tidak mungkin tercapai selama Belanda tetap menjadi “kafir” dan tidak meninggalkan Aceh.

Saling surat antara Teungku Chik di Tiro dan Gubernur van Teijn menarik perhatian pemerintah kolonial di Belanda. Menteri Jajahan Belanda kemudian menginstruksikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar mengatur ulang isi balasan van Teijn. Dalam surat balasan selanjutnya, van Teijn mengutip ayat 256 dari Surah al-Baqarah, yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama (لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ), dan menegaskan bahwa Belanda tidak berniat memaksakan keyakinan apapun serta tulus ingin mencapai perdamaian dan kesejahteraan di Aceh.

Namun, Teungku Chik di Tiro tetap pada pendiriannya, dan menolak segala bentuk perdamaian selama kekuasaan kolonial Belanda masih bercokol di tanah Aceh. Usaha diplomatik pun gagal total, dan Perang Aceh pun terus berlanjut, bahkan hingga lebih dari dua dekade berikutnya.

Di Sumatra Timur, perkembangan politik dan arsitektur penting terjadi: Sultan Deli memindahkan pusat kerajaannya dari Labuhan ke Medan dan mendirikan Istana Maimun, yang kelak menjadi simbol penting kejayaan Kesultanan Deli dan Kota Medan sebagai pusat kekuasaan.

Pengepungan Kutaraja dan Perebutan Wilayah Simalungun (1889)

Thumb
Pengangkutan Jenazah dari Medan Pertempuran di Aceh, oleh Bruinsma, 1889.

Pada tahun 1889, pasukan Aceh di bawah komando Teungku Chik di Tiro melakukan serangkaian serangan strategis terhadap wilayah sekitar ibu kota kolonial Belanda di Aceh, Kutaraja. Kuta Pohama, sebuah wilayah yang terletak dekat pusat kota kolonial, berhasil direbut oleh pasukan Aceh, yang kemudian segera membangun benteng pertahanan di sana. Tidak lama berselang, wilayah Aneuk Galong di sebelah selatan Kutaraja juga dikuasai oleh pasukan Aceh dan dibentengi. Dengan jatuhnya dua titik penting tersebut, Kutaraja praktis berada dalam kondisi terkepung oleh benteng-benteng pasukan Aceh.

Di sisi lain, Belanda mulai memperluas pengaruh kolonialnya ke wilayah pedalaman Sumatra Timur, khususnya di kawasan yang sebelumnya berada dalam orbit Kesultanan Aceh. Sejak tahun ini, kerajaan-kerajaan kecil di Simalungun seperti Tanoh Jawa, Siantar, dan Panei, telah berada di bawah pengaruh langsung Hindia Belanda, mempersempit jangkauan kekuasaan Aceh atas daerah-daerah tersebut.

Pada tahun yang sama, terjadi Perang Idi, saat pasukan Belanda dalam jumlah besar kembali menggempur dan menduduki wilayah Idi di Aceh Timur. Mereka menempati kembali benteng lama yang sebelumnya telah ditinggalkan, tetapi menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Laporan Kolonel Schoemaker mencatat bahwa perlawanan dari rakyat Aceh, termasuk kaum perempuan, sangat ganas dan menunjukkan militansi tinggi dalam mempertahankan wilayahnya.

Thumb
Strijd om de Mesigit-Pertempuran di sebuah halaman masjid, oleh Josephus Fredericus Dominicus Bruinsma (J.F.D. Bruinsma), 1889

Pembentukan Marsose (1890)

Thumb
Pasukan Marsose di Aceh pada 1896, karya Jan Hoynck van Papendrecht, 1900

Pada tahun 1890, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk pasukan khusus bernama Marsose (Marechausse). Korps ini nantinya akan memainkan peranan kunci dalam operasi militer penaklukan Aceh, khususnya dalam aksi-aksi kontra-gerilya di pedalaman. Pembentukan Marsose sendiri diinisiasi oleh seorang putra asal Minangkabau bernama Mohammad Sjarif atau Arif, ia merupakan mantan jaksa, Selanjutnya menjadi Komisaris pada Kantor Gubernur Belanda untuk Aceh dan Daerah Taklukannya.[14]

Pada awal tahun ini, pasukan Belanda melancarkan serangan balasan terhadap benteng pasukan Aceh di Kuta Pohama. Dalam pertempuran sengit tersebut, pasukan Teungku Chik di Tiro terpaksa mundur kembali ke Pidie, setelah menghadapi tekanan militer yang besar dari pihak kolonial. Hal ini menandai kembalinya dominasi Belanda di wilayah sekitar Kutaraja.

Sementara itu di wilayah timur, Belanda berhasil memperkuat kedudukannya di Idi, setelah berhasil bertahan dari berbagai serangan dan secara bertahap mengurangi intensitas perlawanan rakyat Aceh. Keberhasilan ini memberi Belanda titik pijak penting untuk operasi lanjutan di kawasan timur Aceh.

Thumb
Pertahanan Belanda di Aneuk Galong, oleh G.B. Hooijer, 1890

Pembunuhan Teungku Chik di Tiro (1891)

Thumb
Teungku Chik di Tiro

Pada 25 Januari 1891, Teungku Chik di Tiro wafat secara misterius, diduga akibat diracun. Ia digantikan oleh putranya, Teungku Muhammad Amin, yang melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Bersama Sultan Muhammad Daud Syah II, para panglima, uleebalang, dan ulama Aceh memperkuat pertahanan dengan membangun benteng-benteng di wilayah Tiga Sagi, terutama di daerah XXII Mukim.

Dalam buku Tengku Tjhik di Tiro: Hidup dan Perdjuangannya, Ismail Jakub menulis bahwa ia diracuni oleh Nyak Ubit, seorang wanita yang datang membawa hidangan kenduri berisi daging burung berkik yang telah dicampur racun dan disajikan dalam penutup tradisional khas Aceh (sange daja).[127]

Kemunculan Snouck Hurgronje (1891)

Thumb
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936).

Pada tahun yang sama, Belanda mengirim seorang ahli orientalis dan mata-mata, Snouck Hurgronje, ke Aceh. Hurgronje menyamar sebagai seorang Muslim dengan nama Abdul Gaffar, dan berhasil melebur ke dalam masyarakat Aceh. Ia mendapatkan kepercayaan sebagai seorang ulama dan bahkan pernah memberikan ceramah di beberapa masjid.

Dari hasil pengamatan dan penyamarannya, Snouck Hurgronje menyimpulkan bahwa strategi paling efektif untuk melemahkan Aceh adalah dengan memisahkan agama dari politik (sekulerisasi), serta menjauhkan pengaruh kaum ulama dari rakyat dan para bangsawan (uleebalang). Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi kebijakan Belanda dalam upaya menaklukkan Aceh secara lebih sistematis.

Pada tahun 1892, Snouck Hurgronje kembali ke Batavia dan menyerahkan laporan hasil penelitiannya yang berjudul Atjeh Verslag kepada pemerintah Hindia Belanda. Laporan ini memuat analisis mendalam mengenai kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh, dan menjadi dasar strategi Belanda dalam kampanye penaklukan Aceh selanjutnya.

Sementara itu, pada tahun yang sama di medan perang, Teuku Nyak Makam kembali memimpin pasukan Aceh melakukan serangan terhadap wilayah Tamiang dan Langkat. Pasukannya berhasil merebut sejumlah daerah strategis, antara lain Buluh Telang, Pangkalan Brandan, dan Bukit Mas. Keberhasilan ini memaksa pihak Belanda mengerahkan pasukan dari Binjai untuk menghadang dan merebut kembali wilayah yang diduduki oleh pasukan Aceh.

Perlawanan di Aceh Barat (1893)

Sejumlah uleebalang di Aceh Barat, seperti Trumon, Labuhan Haji, dan Susoh, telah tunduk kepada Belanda. Teuku Umar kembali berdamai dengan Belanda, menyerahkan diri, dan diampuni. Ia diterima sebagai pejabat Hindia Belanda dan menempuh pendidikan militer Belanda. Namun, secara diam-diam Teuku Umar tetap setia kepada perjuangan Aceh dengan memerangi uleebalang yang menindas rakyat serta menjadi penghubung bagi para pejuang Aceh, bahkan membagikan gaji Belanda-nya kepada pejuang dan rakyat.

Serangan Teuku Nyak Makam ke Sumatra Timur (1893-1894)

Thumb
Tamiang, 1900

Pasukan Teuku Nyak Makam terus menggempur posisi Belanda di Langkat dan berhasil menduduki beberapa wilayah strategis seperti Seruway, Lubuk Batil, Rantau Pakam, dan Basitang. Sementara itu, Tuanku Hasyim meletakkan jabatan Panglima Besar dan menyerahkannya kepada Panglima Polem. Setelah pensiun, ia kembali ke rumahnya di Reubee, tetapi tetap aktif memberikan konsultasi strategis kepada para panglima, ulama, dan uleebalang. Di front timur, Belanda berhasil merebut kembali wilayah Langkat dan Tamiang yang sempat dikuasai pasukan Aceh, termasuk Seruway, Karang, Tandil, Lubuk Batil, dan Kuala Simpang.

Wafatnya Teungku Chik Kutakarang (1895)

Teungku Chik Kuta Karang wafat. Ia adalah nama panggilan dari Syeikh Abbas bin Muhammad al-Asyi atau Syeikh Abbas Kuta Karang, seorang ulama Aceh yang ahli dalam ilmu falak, pejuang, dan ahli pengobatan pada pertengahan abad ke-19, yang juga berperang dalam Perang Aceh. Meskipun tidak banyak dikenal di Aceh karena sebagian besar karya-karyanya tersimpan di Malaysia, namanya lebih terkenal di sana. Selain sebagai ulama, Teungku Chik Kuta Karang juga berperan dalam bidang pemerintahan sebagai Qadi Malikul Adil pada masa Sultan Alaidin Ibrahim Mansyur Syah (1857–1870).

Pertempuran Benteng Aneuk Galong (1896)

Thumb
Artileri Gunung (Bergartillerie) di Aceh pada tahun 1896.

Pertempuran Benteng Aneuk Galong terjadi dengan serangan mendadak pasukan Belanda yang didominasi korps Marsose terhadap salah satu benteng terkuat Aceh. Serangan ini berhasil menaklukkan benteng tersebut. Dalam pertempuran ini, Teungku Muhammad Amin, komandan pasukan Aceh, gugur. Kedudukannya kemudian digantikan oleh adiknya, Teungku di Tungkeb atau Syekh Saman, yang melanjutkan peran sebagai penasihat utama Sultan Muhammad Daud Syah II.

Thumb
Karikatur tentang surat kabar-surat kabar Amsterdam yang dengan mudah mengusulkan solusi untuk persoalan Aceh. Boissevain, pemimpin redaksi Algemeen Handelsblad, menyerukan agar yang lain mengikutinya ke Aceh, tetapi mereka menolak. Diterbitkan dalam lampiran De Kroniek, tanggal 25 Oktober 1896.

Kekalahan di Aneuk Galong menjadi titik balik kemunduran pasukan Aceh. Belanda mulai meninggalkan sistem pertahanan konsentrasi dan beralih ke strategi politik agresif dalam Perang Aceh.

Pada tahun yang sama, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dan kembali ke pihak Aceh setelah membawa rampasan besar berupa 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, dan 500 kg amunisi. Belanda pun memecat Teuku Umar dari jabatannya sebagai Uleebalang Lepong. Atas persetujuan Panglima Polem, Teuku Umar diangkat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Aceh.

Thumb
Batalion infanteri Belanda di Aceh, 1896

Tuanku Hasyim meninggalkan Reubee dan pulang ke kampung halamannya di Padang Tiji, Pidie. Snouck Hurgronje memberi saran kepada Belanda untuk merangkul para uleebalang dan melawan kaum ulama secara keras sebagai strategi efektif untuk mempercepat penaklukan Aceh.

Belanda membuka pelabuhan bebas di Sabang sebagai jalur transit dari Deli ke pelabuhan-pelabuhan di Samudra Hindia. Belanda juga merebut kembali Mukim VI setelah menaklukkan benteng-benteng Aceh di sana, lalu melancarkan serangan ofensif ke wilayah Aceh Besar.

Pasukan Aceh juga kehilangan salah satu pemimpinnya, Teuku Nyak Makam, yang dibunuh oleh serdadu Belanda di rumahnya di Lamnga, XXVI Mukim. Ia dipenggal saat sedang sakit keras di pembaringan.[128]

Tuanku Hasyim Banta Muda wafat (1897)

Thumb
Pasukan Belanda tak lama setelah pertempuran di Benteng Kuta Sukon, Pidie, oleh Charles Louis Joseph Palmer van den Broek, pada 6 Agustus 1897.

Tuanku Hasyim Banta Muda wafat di kampung halamannya, Padang Tiji. Pada tahun yang sama, Belanda melancarkan serangan terhadap wilayah Lehong dan Lepong, dua daerah uleebalang di perbatasan barat daya Aceh Besar yang berada di bawah pengawasan Teuku Umar yang berkedudukan di Daya. Meski Belanda menyerang sebanyak empat kali dalam rentang empat bulan, mereka gagal merebut kembali kedua wilayah tersebut.

Munculnya Gerakan Teungku Tapa (1898-1900)

Perlawanan ini dipimpin oleh seorang tokoh karismatik yang dikenal sebagai Teungku Tapa, seorang bekas tawanan Belanda yang dipercaya berasal dari kalangan ulama di Bukittinggi. Ia mengklaim sebagai penjelmaan Malem Diwa, tokoh pahlawan legendaris dalam hikayat Aceh yang dipercaya akan bangkit kembali untuk membebaskan negeri dari penjajahan.

Dengan memanfaatkan mitos dan pengaruh agama, Teungku Tapa berhasil menggalang dukungan dari sejumlah uleebalang di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur yang masih setia kepada Sultan Muhammad Daud Syah II. Dalam waktu singkat, ia mengumpulkan lebih dari 10.000 orang pejuang dan melancarkan serangan terhadap pos-pos militer Belanda serta wilayah-wilayah yang dikuasai oleh uleebalang pro-Belanda di sepanjang pesisir utara dan timur Aceh.

Perlawanan ini mendapatkan respons keras dari pihak kolonial. Pada tahun 1899, dalam sebuah pertempuran besar di wilayah Idi, pasukan Teungku Tapa mengalami kekalahan besar dan terpukul mundur. Ia dan para pengikutnya melarikan diri ke pedalaman Gayo di wilayah Aceh Tengah, daerah yang dikenal sulit dijangkau dan sering menjadi basis perlindungan bagi gerilyawan.

Gerakan Teungku Tapa mencapai akhir tragisnya pada tahun 1900 ketika pasukannya melakukan perlawanan terakhir di Piada, Pasai Utara. Dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda, sebagian besar pengikutnya tewas, termasuk Teungku Tapa sendiri. Kematian pemimpin kharismatik ini menandai berakhirnya salah satu perlawanan besar terhadap Belanda di pesisir utara dan timur Aceh. Setelah itu, posisi militer dan politik Belanda di wilayah tersebut menjadi semakin kokoh.

Perang di Pidie (1898)

Thumb
Letnan kolonel Peter Hermanus van der Wedden (1852–1929), komandan militer Pedir dengan satu kompi infanteri (pasukan Jawa) dari batalyon ke-14. Sumatera, Aceh, 1880–1910.

Para uleebalang dan ulama yang masih menentang Belanda berkumpul di Garot, Pidie. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersama-sama mengucapkan sumpah setia kepada Sultan Muhammad Daud Syah II. Tokoh-tokoh penting militer seperti Teuku Umar dan Panglima Polem turut hadir mendukung kesatuan perjuangan.

Van Heutsz berhasil meniru dan mengadopsi taktik gerilya laskar Aceh, sehingga pasukan Belanda di bawah komandonya berhasil menguasai kembali seluruh Aceh Besar. Selanjutnya, Belanda menyerang Pidie, pusat konsolidasi pemimpin Aceh, dan dengan cepat menduduki hampir seluruh wilayahnya. Mereka lalu menggempur dan merebut Keumala, ibu kota terakhir Kesultanan Aceh.

Jatuhnya Keumala membuat Sultan Muhammad Daud Syah II dan Panglima Polem mundur ke timur dan mendirikan markas baru di Kuta Sawang, Aceh Utara, yang dijadikan ibu kota baru Kesultanan Aceh.

Pertempuran Geudong (1898)

Belanda menyerang uleebalang Geudong setelah para pemimpinnya menolak tunduk. Dalam pertempuran ini, Teuku Raja Hitam (Uleebalang Geudong) dan iparnya, Teuku Bahron, yang juga seorang ulama, tewas. Wilayah Geudong pun jatuh ke tangan Belanda.

Jatuhnya Kuta Sawang (1899)

Pada bulan Mei, Belanda berhasil menggempur dan merebut Kuta Sawang. Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem terpaksa menyingkir ke arah Peusangan, tetapi mereka dikejar pasukan Belanda dan mengalami kekalahan dalam pertempuran di Bukit Cot. Kekalahan ini menyebabkan Sultan dan Panglima Polem terpisah, masing-masing menyingkir ke arah berbeda: Sultan ke barat, dan Panglima Polem menuju pegunungan di barat daya.

Sultan kemudian menempatkan dirinya di Benteng Batee Iliek, pertahanan uleebalang Samalanga yang telah berkali-kali tak dapat ditembus oleh Belanda. Samalanga pun menjadi pusat pemerintahan baru Kesultanan Aceh.

Jatuhnya Meulaboh (1899)

Pasukan Belanda yang dipimpin oleh van der Dussen menggempur dan merebut kembali Meulaboh. Dalam pertempuran ini, Teuku Umar gugur tertembak prajurit Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dhien, mengambil alih kepemimpinan pasukan di Aceh Barat, memimpin wilayah Seunagan dan Beutong di daerah Nagan Raya.

Dengan jatuhnya Meulaboh, para bawahan uleebalang di pantai barat utara Aceh pun tunduk kepada Belanda.

Pendudukan Keureutoe (1899)

Uleebalang-uleebalang Aceh di pantai timur dan utara dikenai denda berat oleh Belanda sebanyak 150.000 ringgit, memperkuat dominasi Belanda di wilayah tersebut. Pasukan Belanda juga telah menduduki Keureutoe.

Seorang uleebalang baru bernama Teuku Bintara diangkat sebagai protektorat (Uleebalang Baroh). Sedangkan uleebalang yang tersingkir, Teuku Cut Muhammad atau Cut Tunong, berpindah ke pegunungan selatan dan mendirikan pemerintahan pro-Aceh (Uleebalang Tunong), sehingga wilayah Keureutoe terbagi dua.

Pendirian Sabang Maatschappij (1899)

Ernst Heldring mendirikan Sabang Maatschappij dan mengembangkan kota Sabang menjadi pelabuhan internasional yang ramai, memperkuat posisi strategis Belanda di wilayah Aceh.

Penyerahan Uleebalang Aceh (1900)

Thumb
Jendral Verspijck voor Lemboe, 1900

Sebagian besar negeri-negeri uleebalang di Aceh telah menyerah dan tunduk menjadi protektorat Hindia Belanda sejak tahun ini. Dari lebih 100 uleebalang yang ada di Aceh, sebanyak 82 telah menandatangani perjanjian Korte Verklaring (Plakat Pendek), yang secara resmi menyatakan ketundukan mereka sebagai bawahan setia Kerajaan Belanda.

Thumb
Penggerebekan rumah Teuku Umar di Lampisang, oleh J.P. de Veer, 1900

Pertempuran Batee Iliek (1901)

Thumb
Jenderal van Heutsz dalam Pertempuran Batee Illiek, 1901

Letnan Jenderal Gubernur J.B. van Heutsz memimpin penyerangan besar-besaran terhadap benteng-benteng Aceh di pantai utara setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah di Samalanga. Serangan ini secara berturut-turut menggempur wilayah-wilayah strategis seperti Samalanga, Meureudu, Peudada, dan Peusangan.

Thumb
Pertempuran Batee Illiek, karya Jan Hoynck van Papendrecht, 1901

Pertempuran terbesar terjadi di Benteng Batee Iliek, benteng terkuat yang masih bertahan di Aceh. Pasukan Belanda di bawah komando van Heutsz berhasil menaklukkan benteng ini, memaksa para pemimpin Aceh menyingkir dan terpencar. Sultan Muhammad Daud Syah menyingkir ke wilayah Gayo di selatan, sedangkan Panglima Polem bergerak ke Keureutoe (Tunong) di timur.

Sultan kemudian memindahkan pusat pemerintahan Aceh ke Loyang Sekam (Rawe) di wilayah Kejuruan Laut.

Penyerangan Beutong (1901)

Pasukan van Heutsz yang didukung pasukan khusus Marsose di bawah Mayor G.C.E. van Daalen melanjutkan penyerangan dari arah Bireuen di pantai utara dan terus maju sampai ke Beutong di pedalaman barat. Di Beutong, pasukan Belanda menyerang posisi pasukan Aceh yang dipimpin Cut Nyak Dhien.

Penguasaan Kepulauan Simeulue (1901)

Armada Belanda juga berhasil menduduki lima negeri uleebalang di kepulauan Simeulue, lepas pantai Aceh Barat, memperluas kontrol Belanda di wilayah pesisir dan kepulauan Aceh.

Ekspedisi Aceh Utara (1902)

Belanda melancarkan ekspedisi militer ke wilayah negeri-negeri uleebalang di Aceh Utara guna menegaskan ketundukan mereka terhadap Hindia Belanda, sekaligus memburu Panglima Polem beserta pasukannya yang masih melakukan perlawanan.

Dalam pengejaran yang berlangsung di daerah Lhoksukon, pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Webb terjebak oleh laskar Aceh. Dengan taktik gerilya yang lihai, para pejuang Aceh menggunakan jebakan berupa batang kayu besar yang menghantam kepala beberapa serdadu, termasuk sang kapten. Akibat serangan mendadak ini, sejumlah prajurit Belanda tewas seketika dengan kepala yang hancur.

Pertahanan Seunagan dan Beutong (1902)

Sementara itu, di front barat, pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Mathes menggempur kedudukan pasukan Cut Nyak Dhien yang bermarkas di wilayah Seunagan dan Beutong. Namun, dalam pertempuran ini, Cut Nyak Dhien bersama pasukannya berhasil memukul mundur serangan Belanda, mempertahankan wilayah mereka dari penjajah.

Jatuhnya Kesultanan Aceh (1903)

Thumb
Bendera Aceh yang direbut Belanda selama serangan ke Jambo Aye, 1902

Sultan Muhammad Daud Syah II secara resmi menyerah kepada pemerintah Hindia Belanda setelah hampir seluruh anggota keluarganya ditangkap oleh Gubernur van Heutsz. Sultan menyerahkan diri dengan datang ke Panteraja, Meureudu, kemudian dibawa ke Kutaraja, di mana ia disambut secara hormat oleh Gubernur van Heutsz dan para pejabat Belanda.

Sebagai tawanan terhormat, Sultan Muhammad Daud Syah II menerima pensiun dan diizinkan menempati sebuah rumah di Kutaraja. Pasukan Marsose juga berhasil mengejar dan memaksa Panglima Polem menyerah setelah sejumlah keluarganya ditawan. Teungku Cut Muhammad di Tunong pun ikut menyerahkan diri.

Thumb
Sultan Aceh bersama perwira KNIL, Letnan Kolonel Van der Maaten.

Dengan peristiwa ini, riwayat Kesultanan Aceh yang telah berusia lebih dari 400 tahun secara resmi berakhir. Para uleebalang tetap diperkenankan memerintah wilayahnya masing-masing secara independen, tetapi kini sebagai protektorat di bawah Hindia Belanda.

Perlawanan Aceh terhadap Belanda pada Awal Abad ke-20

Thumb
Penyerahan diri keluarga Sultan Aceh.

Pada awal abad ke-20, Aceh masih terus melanjutkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, meskipun perlahan mulai mengenal unsur-unsur kebudayaan Barat seperti pendidikan modern. Transformasi sosial ini memunculkan berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Aceh, tetapi tidak menghapus semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Thumb
Potret di Koetaradja setelah penyerahan diri Sultan Aceh, oleh Christiaan Benjamin Nieuwenhuis, 1903.

Pada awal 1900-an, perlawanan terhadap Belanda masih berlangsung sengit. Tokoh-tokoh utama yang memimpin perjuangan pada masa ini antara lain: Sultan Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir Kesultanan Aceh; Teuku Panglima Polem Raja Daud; Teungku Di Mata Ie; Teungku Di Barat (Pasai, Aceh Utara); Teungku Cot Plieng; Teungku Alue Keutapang; Teungku Di Reubee; Teungku Di Beureueh; Teungku Di Lam Gut (Pidie); Teuku Ben Peukan Meureudu; Teungku Di Krueng Sinagen; Teuku Ben Blang Pidie; Habib Meulaboh; Teungku Chik Mayet; dan Teungku Di Buket. Walaupun Sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada Belanda pada Januari 1903, perjuangan tetap berlangsung. Teungku Cot Plieng dan pengikutnya terus melakukan penyerangan, begitu pula di Aceh Utara, yang menyaksikan berlangsungnya perang sabil yang dipimpin oleh Teungku Di Barat, Teungku Di Mata Ie, serta pemimpin adat dan pejuang lainnya seperti Teungku Chik Di Tunong, Pang Nanggroe, dan Cut Meutia.

Di dataran tinggi Gayo dan Alas, Belanda mengirimkan Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk menjalin hubungan politik dengan raja-raja setempat. Namun, Van Daalen justru menghadapi perlawanan rakyat Gayo yang luar biasa. Dalam pertempuran berdarah di desa-desa Kuta Reh, Likat, dan Kuta Lengat, Van Daalen melancarkan pembantaian massal yang menewaskan laki-laki, perempuan, hingga anak-anak.

Thumb
Potret keluarga dari Panglima Polim yang ditawan, salah satu tokoh penting dalam perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Para ulama yang menjadi korban keganasan kolonial Belanda pada periode ini antara lain: Teungku Di Alue Keutapang; Teungku Kadli; Teungku Di Cot Cicem; Teungku Leman; Teungku Di Kunat; Habib Ahmad; Teungku Saleh; Teungku Kalipah; dan Teungku Ma’at.

Remove ads

Ekspedisi Tanoh Gayo, Alas, dan Batak (1904)

Ringkasan
Perspektif

Pada tahun 1904, Joannes Benedictus van Heutsz diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Salah satu tindakan militer signifikan yang dilakukan pada masa awal pemerintahannya adalah Ekspedisi Gayo-Alas-Batak, yang dipimpin oleh Jenderal G.C.E. van Daalen. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menaklukkan sisa-sisa wilayah merdeka di pedalaman Aceh, khususnya di daerah Gayo dan Alas, yang hingga saat itu belum sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda.

Pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dan Korps Marsose dikerahkan untuk menyerang daerah-daerah yang masih melakukan perlawanan. Penduduk setempat, termasuk para pemimpin lokal yang menolak tawaran protektorat Belanda, bertahan di benteng-benteng bambu dan semak belukar. Namun, kekuatan militer Belanda yang superior dengan cepat mampu menundukkan perlawanan tersebut.

Ekspedisi ini berakhir dengan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk sipil. Sekitar lebih 2.000 orang, termasuk wanita, anak-anak, dan lansia, dilaporkan tewas dalam operasi militer ini. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu insiden paling berdarah dalam sejarah pendudukan Belanda di Aceh.

Sementara itu, di wilayah lain (Batak), Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatra Timur. Empat kerajaan terakhir di Simalungun (sebelumnya dibawah kendali Kesultanan Aceh hingga kejatuhannya pada 1903), yaitu Dolok Silau, Silimakuta, Purba, dan Raya, secara resmi telah berada di bawah kendali kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1904, menandai berakhirnya kedaulatan politik kerajaan-kerajaan Simalungun tersebut.

Perang Belanda di Tanah Alas

Thumb
Di atas benteng, orang ketiga dari kiri adalah Van Daalen; di sebelah tentara di tengah terdapat seorang anak yang masih hidup. Potret kelompok pasukan marechaussee bersama Letnan Kolonel Van Daalen, di dekat jenazah penduduk kampung benteng Koeto Reh yang telah dibunuh, setelah kampung tersebut direbut dalam ekspedisi ke wilayah Gayo dan Alas di bawah pimpinan Van Daalen. 1904.

Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda semakin gencar melakukan ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah-wilayah terakhir di Aceh yang masih merdeka secara de facto. Setelah ekspedisi militer yang brutal di Gayo Lues, sasaran selanjutnya adalah wilayah Tanah Alas, yang terbentang di sepanjang Sungai Alas dan dikenal memiliki sistem kemasyarakatan dan keagamaan yang kuat.

Kedatangan pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen telah diduga sebelumnya oleh masyarakat Alas. Sejak pecahnya perang di Gayo, berbagai karapanatan (musyawarah) telah digelar, baik di wilayah Kejurun Batu Mbulen (timur) maupun Kejurun Bambel (barat), untuk merencanakan bantuan serta pertahanan terhadap kemungkinan invasi.

Pada Kamis malam Jumat, 25 Rabiul Awal 1322 H atau 9 Juni 1904, tembakan-tembakan pertama dilepaskan di perbatasan Alas. Tembakan ini merupakan isyarat dari para penjaga perbatasan kepada kampung-kampung di seluruh lembah Alas untuk bersiap menghadapi serangan. Wilayah yang akan menjadi medan tempur membentang sejauh 25 km di sepanjang kiri dan kanan Sungai Alas.

Masyarakat Alas telah melakukan persiapan matang. Di wilayah timur, Kejurun Batu Mbulen dipimpin oleh Uwen Berakan, seorang kejurun tua yang karena usia tidak dapat turun langsung memimpin perang. Ia memerintahkan pengosongan kampung-kampung yang jarang penduduknya dan mengonsolidasikan kekuatan ke tempat-tempat pertahanan strategis. Pimpinan militer aktif dipegang oleh panglima-panglima muda, seperti; Panglima Leman, Panglima Nejem, Panglima Bedul dari Mamas, Panglima Lima Laut dan Terutung Seperei, Panglima Sagup dari Ngkeran, Panglima Mamad dari Kute Reh, Panglima Tumbuh dari Tualang Lama. Selain kekuatan militer, semangat jihad dan syahid digelorakan oleh seorang ulama tua yang sangat dihormati rakyat Alas, yaitu Teungku Mude Telaga Makar.

Di belahan barat, Kejurun Bambel dipimpin oleh Reje Bedussamad, yang gugur dalam pertempuran di Penampakan dan dimakamkan di perbatasan. Setelahnya, kepemimpinan dipegang oleh Reje Mude Uwen Atan, tokoh yang sangat memusuhi Belanda dan memerintahkan penduduk mengungsi ke perkubuan-perkubuan (benteng rakyat) yang kokoh.

Para panglima perlawanan lainnya yang berasal dari wilayah barat di antaranya; Reje Suib dari Likat, Panglima Dasa dari Lengat (saudara Reje Bedussamad), Panglima Timbul dari Terutung Payung, Panglima Maddarin dari Bambel, Panglima Jibun dari Kisam, Panglima Ajam dari Ngkeran, Panglima Junim dari Pulonas.

Dari Gayo, bergabung pula Panglima Aman Jata dari Kute Lintang yang sebelumnya mundur dari pertempuran di Gayo pada 22 Maret 1904 (4 Muharram 1322 H). Rumahnya kemudian dikuasai dan dijadikan markas oleh opsir-opsir Belanda.

Sumber Belanda, terutama J.C.J. Kempees dalam bukunya De Tocht van Overste Van Daalen, menganggap banyak kampung di Tanah Alas kosong karena penduduknya "melarikan diri". Namun sesungguhnya hal ini adalah bagian dari strategi militer terencana oleh dua kejurun dan para panglimanya, untuk menyatukan kekuatan di benteng-benteng pertahanan dan menghindari korban sipil.

Kempees juga mencatat bahwa Tanah Alas kala itu memiliki populasi yang lebih jarang dibandingkan Gayo Lues. Ia menyinggung adanya perpindahan penduduk dari Langkat, Karo, dan Dairi melalui jalur rintisan baru di Bohorok dan Mardinding.

Meski demikian, ia mengakui keterbukaan wilayah Alas terhadap dunia luar. Alas disebut memiliki hubungan dagang dengan Singkil, pemerintahan yang teratur, penduduk yang beragama Islam, dan satu mesjid besar di Batu Mbulen. Banyak pula di antara mereka yang telah melaksanakan ibadah haji.

Tragedi Benteng Kuta Reh

Thumb
Pasukan Marechaussee berada di dekat jenazah penduduk kampung benteng Koeto Reh yang telah dibunuh, setelah kampung tersebut direbut oleh mereka dalam ekspedisi ke wilayah Gayo dan Alas di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Daalen.
Thumb
Kuta Reh, 14 June 1904

Tragedi Benteng Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904 di wilayah yang kini dikenal sebagai Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara. Peristiwa ini merupakan bagian dari ekspedisi militer Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk menaklukkan wilayah Gayo, Alas, dan Batak setelah penyerahan Sultan Aceh pada 1903. Pasukan Belanda menyerang Benteng Kuta Reh, yang dipertahankan oleh masyarakat setempat dengan persenjataan sederhana. Serangan tersebut mengakibatkan pembantaian terhadap ribuan penduduk, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Menurut sumber Belanda, korban tewas mencapai 563 orang, sementara sumber lain menyebutkan hingga 2.922 jiwa.[14] Paul Van't Veer menduganya hingga lebih dari 4000 korban jiwa.[72]

Peristiwa ini menjadi simbol kekejaman kolonial Belanda dan memicu kecaman internasional. Van Daalen bahkan difoto di atas parit yang dipenuhi mayat sebagai bentuk perayaan kemenangan.

Pertempuran Kute Likat

Usai pembantaian di Kute Reh, pasukan Marsose kembali ke bivak di Lawe Sagu. Van Daalen memerintahkan Berakan, anak Kejurun Batu Mbulen yang telah menjadi kolaborator Belanda, untuk mengumpulkan mayat-mayat warga untuk diidentifikasi dan dikuburkan. Berakan juga melaporkan bahwa sejumlah wakil adat dari kampung-kampung di sekitarnya akan melapor kepada pihak Belanda.

Dalam laporan berikutnya, disebutkan bahwa penduduk Kute Lengat telah meninggalkan kampung lama dan membangun benteng baru di Kute Lengat Baru. Selain itu, Kute Likat, yang berada di bawah wilayah Kejurun Batu Mbulen, juga diperkuat dan dijadikan pusat perlawanan terhadap pasukan kolonial.

Benteng Kute Likat dipertahankan oleh gabungan pasukan rakyat Alas dan orang-orang Gayo Lues, khususnya keturunan Raja Kemala Dema, serta para pejuang yang mengundurkan diri dari medan perang di Gayo. Kaum pria dan wanita sama-sama terlibat aktif dalam pertahanan, mencerminkan perlawanan rakyat semesta di daerah tersebut.

Sebelum melancarkan serangan, Belanda mengirim misi pengintaian ke Kute Likat yang dipimpin oleh Kapten Stolk. Pasukan Stolk terlibat baku tembak dengan rakyat Alas dalam perjalanan menuju Batu Menungul dan berhasil menawan beberapa orang, termasuk Haji Ali, keluarga Kejurun Batu Mbulen.

Pada 20 Juni 1904, Van Daalen memutuskan untuk menyerang Kute Likat tanpa ultimatum. Serangan dilakukan oleh 11 brigade Marsose, dipimpin oleh sejumlah perwira, termasuk; Kapten Winter dan Letnan Christoffel (4 brigade), Letnan Watrin dan Letnan Sraam Morris (3 brigade), Kapten de Graaf dan Deigorde (3 seksi), serta didukung oleh unit medis dan 250 orang pemikul barang.

Pasukan Belanda mengepung Kute Likat secara senyap, lalu menyerbu benteng dengan bedil dan bayonet. Pertahanan rakyat sangat sengit, terutama di sektor kiri, di mana pejuang bertahan di atas tangga bambu. Pertempuran berlangsung brutal, dengan pedang, tombak, dan senjata api digunakan oleh rakyat untuk menghadapi hujan peluru dari pasukan Belanda.

Kute Likat akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Seperti dalam pertempuran sebelumnya, militer kolonial membunuh hampir seluruh penduduk yang berada dalam benteng. Berdasarkan laporan J.C.J. Kempees, jumlah korban dari pihak rakyat Alas adalah:

  • 432 orang tewas, terdiri dari:
    • 220 pria
    • 124 wanita
    • 88 anak-anak
  • 51 orang luka-luka, termasuk:
    • 2 pria
    • 17 wanita
    • 32 anak-anak
  • Hanya 7 anak-anak ditemukan masih hidup.

Korban dari pihak Belanda berjumlah 19 orang, termasuk:

  • 1 orang tewas,
  • 18 luka-luka, termasuk Van Daalen dan Kapten Watrin yang terluka berat.

Sebanyak 5.500 peluru ditembakkan, dan 87 pucuk senjata milik rakyat Alas dirampas oleh pasukan kolonial.

Salah satu tokoh penting yang ikut bertahan di Kute Likat adalah Aman Jata, pejuang dari Gayo Lues yang sebelumnya telah berpindah-pindah tempat persembunyian, mulai dari Kute Lintang hingga ke wilayah Alas. Aman Jata berhasil lolos dari pertempuran di Kute Likat dan kembali ke wilayah Gayo Lues, tetap melanjutkan perjuangannya melawan kolonialisme Belanda. Nasibnya setelah itu tidak diketahui secara pasti.

Perlawanan Rakyat di Kute Lengat Baru

Perlawanan Rakyat di Kute Lengat Baru merupakan salah satu episode paling heroik dalam sejarah perjuangan rakyat Alas melawan kolonialisme Belanda di wilayah Tanah Alas, Aceh Tenggara. Kute Lengat Baru adalah benteng ketiga sekaligus benteng terakhir rakyat Alas yang menjadi sasaran serangan pasukan kolonial Belanda dalam ekspedisi militer mereka ke daerah tersebut pada masa Perang Gayo–Alas–Batak.

Kute Lengat Baru terletak di wilayah Kejurun Bambel, tidak jauh dari Kute Likat. Benteng ini dibangun oleh penduduk yang mengungsi dari daerah Lengat akibat tekanan militer Belanda. Di lokasi pengungsian tersebut, mereka membuka ladang dan membentuk komunitas baru yang kemudian dikenal sebagai Kute Lengat Baru. Meskipun mendapat seruan dari Kejurun (penguasa lokal), para penduduk menolak untuk menyerah dan tetap bertahan.

Sebelum melancarkan serangan besar-besaran, pasukan Belanda melakukan patroli pembersihan di sekitar wilayah Lengat Baru. Dalam patroli di daerah Mbareng, Belanda menyita 19 pucuk senjata dan menahan beberapa tokoh penting, termasuk seorang penghulu dan dua orang kaya yang diduga menyimpan senjata. Di wilayah ini, pasukan Belanda juga menjalin kerja sama dengan Penghulu Bernah, seorang tokoh asal Karo yang berpihak kepada kolonial.

Kolonial Belanda memanfaatkan posisi strategis Penghulu Bernah sebagai pemandu jalan dan penerjemah dalam ekspedisi mereka ke wilayah Karo dan Batak. Belanda juga menerima berbagai laporan intelijen yang menyebutkan keberadaan tokoh-tokoh penting rakyat Alas seperti Kejurun Johar, Penghulu Ngkeran, dan Penghulu Batin di Kute Lengat Baru.

Pada 24 Juni, Belanda melancarkan serangan ke Kute Lengat Baru. Pasukan yang dikerahkan terdiri dari 11 brigade Marsose dengan 10 pucuk karaben, serta 3 seksi tambahan bersenjata 56 pucuk karaben. Formasi pasukan dibagi menjadi beberapa bagian:

  • Pasukan penyerang: 5 brigade di bawah Letnan Winter dan Letnan Christoffel, serta 2 seksi di bawah de Graaf dan Letnan Lasonder.
  • Pasukan penjaga luar: 2 brigade.
  • Pasukan cadangan: 4 brigade di bawah van Braam Morris.
  • Tim medis dan logistik: termasuk ambulan yang dipimpin oleh Neeb serta 250 orang hukuman sebagai tenaga bantu.

Pasukan Belanda bergerak melalui rute hutan dari Trutung Payung, Ntualang Sembilar, dan Kute Mulie. Mereka mengepung Kute Lengat Baru secara ketat dan mencari celah untuk menyerang.

Pertempuran meletus hebat. Sersan Marsose asal Ambon, Sahetapy, menjadi korban pertama ketika ditembak oleh pejuang Alas. Serangan dari pasukan Belanda dibalas sengit oleh rakyat Alas, yang mempertahankan kute dari lobang-lobang perlindungan dan kubu-kubu pertahanan. Letnan Braam Morris memimpin serangan dari arah timur dan selatan, sementara Letnan Winter menyerang dari utara dan barat.

Pejuang Alas, termasuk perempuan dan anak-anak, menunjukkan perlawanan sengit dari lobang-lobang perlindungan mereka. Pasukan Belanda yang kesulitan menembus pertahanan rakyat, diperintahkan oleh Van Daalen untuk membakar lobang-lobang perlindungan tersebut. Pertempuran berlangsung brutal dengan pertempuran jarak dekat, senjata tajam melawan bayonet dan peluru.

Pertempuran di Kute Lengat Baru menjadi pertempuran paling berdarah dalam ekspedisi Belanda di Gayo dan Alas. Menurut laporan J.C.J. Kempees, korban di pihak rakyat Alas mencapai 654 orang tewas, terdiri dari:

  • 338 pria
  • 186 wanita
  • 130 anak-anak

Korban luka-luka:

  • 1 pria
  • 16 wanita
  • 32 anak-anak

Sementara di pihak Belanda tercatat 4 orang tewas dan 28 luka-luka. Selama pertempuran, Belanda menembakkan 8.300 peluru dan merampas 124 pucuk senjata milik rakyat Alas.

Tokoh-tokoh penting yang gugur termasuk Kejurun Bambel Uwen Atan dan anaknya Atan, serta Penghulu Batin. Hampir seluruh pria dewasa dalam kute terbunuh. Pertempuran ini menandai akhir dari rangkaian perlawanan rakyat Alas dalam perang besar melawan kolonialisme Belanda di wilayah tersebut.

Remove ads

Perang Pasca Kesultanan Aceh: Periode Wali Negara Aceh (1903-1911)

Ringkasan
Perspektif

Latar Belakang

Pemindahan Kekuasaan dan Pengangkatan Wali Negara Aceh (1874)

Setelah mangkatnya Sultan Mahmud Syah pada 25 Januari 1874 di tengah berkecamuknya Perang Aceh, struktur pemerintahan Kesultanan Aceh mengalami perubahan signifikan. Berdasarkan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi, kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikul Adil dan Ketua Reusam, sementara kekuasaan tertinggi berada pada Majelis Parlemen Aceh. Karena Sultan Muhammad Daud Syah masih berusia 11 tahun saat itu, maka kekuasaan pemerintahan dialihkan kepada parlemen dan pemimpin adat.

Pada 28 Januari 1874, setelah hijrah dari Kutaraja ke Keumala, Pidie, Majelis Parlemen yang terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Banta Hasyim, Teuku Panglima Polem, dan Teungku Chik di Tanoh Abee Syeikh Abdulwahab, secara resmi memberikan mandat kekuasaan Kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ia diangkat sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Negara Aceh yang pertama dan memimpin perlawanan melawan Belanda selama 17 tahun hingga gugur pada 21 Januari 1891.

Kepemimpinan jabatan Wali Negara Aceh dalam perjuangan melawan Belanda kemudian diteruskan oleh keturunannya, yaitu:

  • Teungku Muhammad Amin bin Muhammad Saman Tiro (gugur 1896)
  • Teungku Abdussalam bin Muhammad Saman Tiro (gugur 1898)
  • Teungku Sulaiman bin Muhammad Saman Tiro (gugur 1902)
  • Teungku Ubaidillah bin Muhammad Saman Tiro (gugur 1905)
  • Teungku Mahyiddin bin Muhammad Saman Tiro (gugur 1910)
  • Teungku Mu’az bin Muhammad Amin Tiro (gugur 3 Desember 1911)

Penangkapan Cut Nyak Dhien (1905)

Thumb
Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, setelah penangkapannya. 1905.

Pada tanggal 4 November 1905, Letnan Van Vuuren bersama pasukan KNIL melakukan ekspedisi menuju lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien, seorang pemimpin laskar pejuang Aceh yang terkenal karena keberaniannya dalam memimpin perlawanan gerilya di wilayah Meulaboh dan sekitarnya. Dalam operasi ini, Cut Nyak Dhien akhirnya berhasil ditangkap oleh pasukan kolonial Belanda (KNIL).

Penangkapan ini dipicu oleh informasi yang disampaikan oleh salah satu pengikutnya, Pang Laot Ali, yang merasa iba melihat kondisi Cut Nyak Dhien yang sudah tua dan menderita sakit parah. Ia melaporkan lokasi persembunyian di kawasan hutan pedalaman Beutông Lhèë Sagoë, kepada pihak Belanda. Informasi tersebut segera ditindaklanjuti oleh tentara KNIL, yang kemudian mengepung area tersebut dan menangkap Cut Nyak Dhien tanpa perlawanan berarti.

Dalam perjalanan menuju lokasi, salah satu prajurit Belanda melepaskan tembakan secara tidak sengaja. Suara tembakan itu terdengar hingga ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien, membuat situasi menjadi tegang. Cut Nyak Dhien pun digendong oleh pengikutnya untuk melarikan diri, tetapi ia segera ditemukan kembali dan ditangkap.

Saat ditemukan, Cut Nyak Dhien dalam kondisi lemah, menderita kebutaan, dan nyaris tidak berdaya. Ia mengangkat tangannya dengan kesepuluh jari terbuka, ekspresi emosionalnya menunjukkan tekad perlawanan yang belum padam. Dalam suasana penuh haru, ia melontarkan kata-kata penuh kepiluan:

"Ya Allah ya Tuhanku, inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir."

Ketika Pang Laot Ali mencoba menenangkannya dan menyentuh tangannya, Cut Nyak Dhien bereaksi keras dengan berkata lantang:

"Cis, jangan menyinggung kulitku, pengkhianat engkau, tidak kusangka, lebih baik kau menunjukkan budi baikmu kepadaku dengan jalan menikamku."

Setelah itu, Cut Nyak Dhien dinaikkan ke atas tandu dan dibawa ke pos penjagaan militer Belanda. Dalam penangkapan itu, seorang keponakannya bernama Teuku Nana juga ikut ditangkap, sementara anaknya Cut Mirah Gambang, berhasil kabur ke dalam hutan. Dari pos penjagaan, Cut Nyak Dhien kemudian dibawa ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Dalam catatan resmi militer Belanda, dijelaskan bahwa saat penangkapan, Cut Nyak Dhien sudah dalam keadaan sakit parah, mengalami rabun berat, dan hidup dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Namun demikian, semangat juangnya tetap kuat dan tidak surut meskipun ia telah ditawan.

Sejarawan Paul van ’t Veer menulis bahwa meskipun Cut Nyak Dhien sudah ditangkap, pengaruhnya terhadap semangat perlawanan rakyat Aceh, terutama di kawasan Aceh Besar, dan Barat Selatan Aceh tidak serta-merta menghilang. Perlawanan terhadap Belanda masih terus berlanjut. Oleh sebab itu, untuk mengurangi pengaruh simboliknya, pemerintah kolonial memutuskan untuk membuangnya ke Pulau Jawa, tepatnya di Sumedang, Jawa Barat, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 23 tanggal 11 Desember 1906.[72][129]

Di pengasingan, Cut Nyak Dhien hidup dalam pengawasan ketat dan dilarang kembali ke tanah kelahirannya. Selama berada di Sumedang, ia dikenal sebagai perempuan yang religius dan dihormati oleh masyarakat setempat, meskipun identitas aslinya sebagai tokoh pejuang besar dari Aceh dirahasiakan oleh pihak kolonial.

Permohonan Bantuan kepada Jepang (1905)

Pada tahun 1905, Jenderal van Daalen diangkat sebagai Gubernur Sipil & Militer Aceh. Sultan Muhammad Daud Syah II yang berada dalam tahanan, melalui jaringan mata-matanya, mengirimkan surat kepada Konsulat Jepang di Singapura untuk meminta bantuan. Permintaan ini disampaikan menyusul kemenangan Jepang atas Rusia dalam Perang Rusia-Jepang, yang menunjukkan potensi kekuatan Jepang sebagai sekutu melawan Belanda.

Pembentukan Afdeling Simalungun (1906)

Pada 1906, Belanda menyatukan kerajaan-kerajaan di Simalungun yang sebelumnya merupakan vasal Kesultanan Aceh ke dalam satu unit administrasi kolonial bernama Afdeling Simalungun en de Karolanden dengan pusat pemerintahan di Siantar.

Pemberontakan Kutaraja dan Pengasingan Sultan (1907)

Sekelompok pejuang Aceh melancarkan pemberontakan di Kutaraja dan berhasil menguasai kawasan Peukan Bada. Namun, pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pasukan KNIL. Sultan Muhammad Daud Syah II dituduh sebagai dalang di balik aksi tersebut dan pada Desember 1907, Sultan Muhammad Daud Syah dibuang ke Ambon oleh Belanda karena dianggap melanggar janji setia kepada pemerintah kolonial dan membantu para ulama dalam perang sabil, lalu dipindahkan ke Banda, tempat ia menjalani sisa hidupnya sebagai tahanan politik.

Meningkatnya Perlawanan di Berbagai Wilayah (1908)

Thumb
Bendera Aceh, 1910.

Pada 1908, Letnan Kolonel H.N.A. Swart diangkat sebagai Gubernur Sipil & Militer Aceh, menggantikan posisi sebelumnya sebagai Gubernur Sulawesi. Perlawanan rakyat Aceh semakin meningkat di berbagai wilayah seperti Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, dan Tapaktuan. Belanda melakukan operasi militer besar-besaran terhadap para ulama dan pejuang. Akibat tekanan militer tersebut, dua tokoh perlawanan—Tuanku Banta dan Teuku Ben Blang Pidie—menyerahkan diri bersama pengikutnya.

Gubernur militer Belanda, Letnan Kolonel H.N.A. Swart, ditugaskan ke Aceh pada 10 Juni 1908 dan memimpin pengejaran besar-besaran terhadap para pemimpin perlawanan. Dalam kurun waktu 1908–1913, banyak tokoh penting menyerah atau gugur: Teungku Chik Mayet (syahid, September 1910), Teungku Di Buket (syahid, September 1910), Teuku Banta bersama 106 pengikutnya (menyerah, Juli 1908), Teuku Ben Blang Pidie bersama 160 pengikutnya (menyerah, Juli 1908), Teungku Di Kunat (syahid, November 1909), Teungku Di Reubee (syahid, Desember 1910), Habib Ahmad (syahid, Mei 1910), Teungku Saleh, Teungku Kalipah, dan Teungku Ma’at (syahid, Desember 1911), Teungku Di Barat (syahid, Februari 1912). Teungku Leman dari keluarga ulama Tiro (menyerah, September 1910), Teungku Di Pidie (Aceh Barat), Keujruen Pameue (menyerah, Maret 1911), Habib Musa dan Teungku Mat Aceh (menyerah, 1913).

Pengejaran Teungku Chik Mahyeddin di Tiro (1909-1910)

Jejak sepatu menjadi petunjuk penting bagi Kopral Nussy, seorang anggota Mersose yang terkenal akan kemampuannya melacak jejak, dalam menemukan Teungku Chik Mahyeddin di Tiro—anak dari Teungku Chik di Tiro—yang saat itu dikenal sebagai salah satu pemimpin gerilyawan terakhir dari garis keluarga Tiro dalam fase akhir Perang Aceh.

Operasi penangkapan ini dipimpin oleh Letnan H.J. Schmidt, dan sebagaimana dicatat oleh H.C. Zentgraff dalam bukunya Aceh, pasukan yang terlibat terdiri atas beragam elemen: satu Letnan Satu, dua prajurit Eropa, masing-masing satu prajurit Ambon dan pribumi, dua kopral (Ambon dan pribumi), 34 anggota Mersose (terbagi antara Ambon dan pribumi), seorang kopral medis, seorang mandor, dan 24 orang pekerja paksa.

Dimulai pada 28 Februari 1910, operasi tersebut tidak hanya membidik Teungku Mahyeddin, tetapi juga sejumlah tokoh penting lainnya seperti Teungku Dagang Blang Jeurat (Teungku di Tangse), Teungku di Buket, dan Peutua Gam Masen, seorang dukun harimau yang terkenal karena ilmu kebalnya.

Menurut Paul van ’t Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Teungku Chik di Tiro memiliki lima anak laki-laki yang seluruhnya gugur dalam perjuangan. Putra sulungnya, Muhammad Amin, tewas pada tahun 1896, menyusul pengkhianatan Teuku Umar. Sementara keempat putra lainnya dan dua cucunya wafat dalam pertempuran antara 1904 hingga 1911.[72]

Dari daftar sasaran operasi yang dikomandoi oleh Letnan Schmidt, Peutua Gam Masen menjadi korban pertama. Pria berperawakan besar dan berjenggot hitam itu walau tertembak beberapa kali, masih sempat melawan sebelum akhirnya tewas ditebas kelewang oleh seorang Mersose pada 2 Mei 1910.

Operasi berlanjut menyusuri kawasan Krueng Tangse, Alue Do-Do, Alue Seukeue, Blang Malo, hingga Pucok Alue Seupot. Saat beristirahat, pasukan Belanda berpapasan dengan enam orang penduduk Aceh yang sedang mengangkut beras untuk logistik pasukan gerilya. Keenamnya bersenjata klewang. Dalam upaya melarikan diri, mereka melompat ke jurang. Dugaan Belanda semakin kuat bahwa markas Teungku Mahyeddin sudah dekat membuat pasukan Belanda segera mengepung kawasan tersebut.

Dalam pengepungan itu, empat gerilyawan Aceh ditemukan sedang mengumpulkan kayu bakar. Dua orang tewas dalam baku tembak, sementara dua lainnya menghilang ke dalam hutan. Saat pasukan Belanda berusaha mengejar, mereka mendapat serangan tembakan dari arah persembunyian.

Zentgraff menggambarkan suasana pertempuran dengan dramatis: "Peluru-peluru mendesing menyongsong pasukan kita, dan di bawah lengkingan terompet yang ditiup dengan penuh keyakinan oleh tukang terompet memberi perintah serbu, para Mersose menyerang sambil memekikkan teriakan seperti gila." Pertempuran yang berlangsung selama sekitar 30 menit itu berakhir dengan pertarungan kelewang jarak dekat.

Benteng pertahanan para gerilyawan Aceh yang berlapis itu akhirnya runtuh. Sebanyak 12 orang pejuang tewas, termasuk Teungku di Buket (Ubaidillah), putra dari Teungku Chik di Tiro. Selain dia, tokoh penting lain yang gugur dalam serangan tersebut adalah Teungku Cek Harun, Teungku Muda Syam, Teungku Syekh Samin, dan Habib Cut, putra dari Habib Teupin Wan.

Pertempuran sengit yang terjadi di Gunung Halimon berakhir dengan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Dalam proses penyisiran medan pertempuran untuk mencatat korban yang gugur, Kolonel Schmidt menemukan Cut Mirah Gambang dalam keadaan luka parah. Ia tengah memeluk putranya yang masih berusia lima bulan, Teungku Amin Tiro (Abdullah). Cut Mirah Gambang adalah putri dari Cut Nyak Dhien dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga.

Kolonel Schmidt, yang dikenal fasih berbahasa Aceh, mencoba menawarkan bantuan. Ia berkata, “Maaf Yang Mulia, maukah Anda minum segelas air ini?” dan melanjutkan, “Apakah Yang Mulia mengizinkan kami untuk mengobati luka Yang Mulia?” Namun, Cut Mirah Gambang menolak dengan tegas. Ia bangkit perlahan dan duduk, lalu menyatakan:

“Enyahlah dari hadapanku, kafir laknat! Jangan sentuh aku! Aku tak sudi menerima bantuanmu. Kau telah bunuh ayahku, ibuku, suamiku, kau sudah bunuh kami semua. Kau takkan bisa menggantikan apa yang telah kau hancurkan. Aku menolak kebaikan dan kemurahan hatimu! Pergilah!”

Cut Mirah Gambang gugur dalam pertempuran di Gunung Halimon pada 21 Mei 1910. Sementara itu, Teungku Mahyiddin, selamat dari pertempuran tersebut bersama Pang Rabo. Pencarian terus dilakukan, dan pada 22 Mei 1910, pasukan di bawah pimpinan Sersan Mollier menyisir hingga ke celah-celah jurang. Mereka menemukan empat gerilyawan, tiga di antaranya tewas, sedangkan satu lagi—seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun yang membawa karèben (senapan kecil)—diangkat hidup-hidup.[130]

Anak itu adalah putra bungsu Teungku Mahyeddin di Tiro. Dalam wawancara dengan tentara Belanda, ia menceritakan banyak hal tanpa menyadari bahwa informasi yang diberikannya bisa membahayakan ayahnya. Ia menyebut bahwa ayahnya menggunakan sepatu, serta mengungkap hal-hal polos seperti kekagumannya terhadap sapi dan pohon kelapa—hal yang asing baginya karena ia dibesarkan di hutan.

Ketika ditawari nasi, anak itu malah bertanya, “Kenapa bukan jagung?”, dan menunjukkan ladang jagung keluarganya berada di Alue Semi. Beberapa bulan kemudian, sesuai informasi tersebut, Teungku Mahyeddin akhirnya tewas dalam sebuah pertempuran di tepi sungai Pucok Alue Simi pada 5 September 1910, tidak jauh dari ladang yang disebut anaknya.

Zentgraff tidak menyebutkan nama sang anak, namun menyatakan bahwa ia kemudian dititipkan pada masyarakat desa setempat. Teungku Mahyeddin sendiri diketahui memiliki tiga anak: Teungku Umar Tiro, Fathimah, dan Abdullah. Berdasarkan urutan usia dan kesaksian yang dicatat, anak yang berbicara kepada serdadu Belanda tersebut kemungkinan besar adalah Abdullah, si bungsu. Dua ulama lainnya, Teungku di Kunat dan Teungku di Reubee, juga gugur pada tahun yang sama.[127][130][131]

Pertempuran Aluë Kuriëng dan Gugurnya Cut Meutia (1910)

Thumb
Cut Nyak Meutia

Cut Meutia, salah satu pemimpin perlawanan yang tersisa, gugur dalam bentrokan melawan pasukan Marsose Belanda di daerah Alue Kurieng. Kejadian ini berlangsung tidak lama setelah suaminya yang kedua, Pang Nanggroe, gugur dalam pertempuran di Paya Cicem, daerah perbukitan Hague, Aceh Utara, pada 26 September 1910. Meski demikian, Cut Meutia berhasil melarikan diri bersama anaknya, Teuku Raja Sabi.

Setelah kepergian Pang Nanggroe, Cut Meutia mengambil alih kepemimpinan kelompok kecil pejuang yang tersisa, berjumlah sekitar 45 orang dengan persenjataan terbatas sebanyak 13 pucuk. Mereka terus bergerak melalui hutan dan perbukitan di daerah pedalaman Alue Kurieng. Situasi mereka kian terdesak, tidak hanya karena jumlah dan kekuatan yang terus berkurang, tetapi juga karena tekanan intens dari pasukan Belanda yang terus memburu mereka dengan kekuatan penuh.

Pada masa itu, Belanda di bawah komando Kapten Grotenhuis de Groot bertekad menangkap Cut Meutia, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Untuk itu, mereka menyebar mata-mata ke berbagai kampung dan menjanjikan imbalan bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi tentang keberadaan Cut Meutia.

Pada 22 Oktober 1910, Sersan Mosselman, seorang komandan pasukan gerilya yang terkenal, mendapat tugas membuntuti pergerakan pasukan Cut Meutia yang diduga berada di daerah Lhok Reuhat. Di hari ketiga pengejaran, ia menemukan jejak baru di anak sungai Krueng Peutoe, meskipun jejak tersebut sempat coba disamarkan oleh pihak Cut Meutia.

“… Semakin jauh ke hulu, dasar sungai semakin melebar, keadaannya semakin berat dan agung. Gundukan batu-batu gunung semakin bertambah-tambah dan lebih banyak dijumpai air-air terjun kecil setinggi beberapa meter, batu-batu selicin kaca tempat air mengalir terus dinaiki dengan menyandang karaben dan peralatan-peralatan lainnya. Sesudah mendaki sejurus lamanya dan sambil menunggu teman-teman sepasukan dengan mengamati seluruh keadaan di sekitarnya, maka kira-kira jam 4 sore, tidak jauh di depan saya, terlihatlah oleh saya kepulan asap bergulung-gulung di udara di antara pohon-pohon kayu. Lagi-lagi bulu kudukku berdiri, suatu tanda yang dialami manusia, jika ia sedang mengalami bahaya.” "Saya berusaha mempertahankan semangat anak-anak buahku dan maju terus ke muka. Apa yang tertinggal padaku adalah anggota-anggota pilihan. Akan tetapi sunggu sukar untuk memperoleh suatu prestasi kekuatan seperti demikian. Hanya marsose Manado Mahamit, nrp 68750 dan marsose Jawa Tarmin, nrp 71065, seorang anak buahku dari Malang yang sangat gesit sajalah yang bersembunyi di balik batu besar, lalu memutar badanku dan setiap anggota marsose yang mendaki dapat melihat isyarat yang kuberikan."[132]

Setelah berkumpul, Sersan Mosselman memerintahkan pasukannya untuk menanggalkan ransel sebelum mereka mulai merayap masuk ke hutan guna memantau situasi. Namun, saat hendak bergerak, salah satu prajurit tiba-tiba berseru, “Di situ!” Dari arah yang ditunjuk, sekitar 200 meter jauhnya, tampak sejumlah orang Aceh berlari menuju sebuah alur. Pasukan Belanda segera mengejar dan menemukan sebuah pondok yang baru saja ditinggalkan, lengkap dengan persediaan logistik di dalamnya.

Pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia dan pasukannya terlibat dalam pertempuran hebat di Alue Kurieng. Saat itu, Belanda telah mengetahui posisi persembunyian mereka dan melakukan penyergapan.

Suatu hari, ketika Teuku Raja Sabi sedang memancing dengan ditemani seorang pengawal karena ibunya tidak bisa mendampingi, terjadi serangan. Saat itu, Cut Meutia masih dalam masa berkabung setelah kematian suaminya, Pang Nanggroe. Ini adalah kali kedua Cut Meutia ditinggal wafat suaminya akibat perang melawan Belanda.

Ketika Teuku Raja Sabi sedang memancing, terdengar teriakan peringatan dari pos jaga Aceh: “Kaphé datang!”—tanda bahwa pasukan Belanda mulai mendekat. Tak lama kemudian, suara tembakan meletus.

Pertempuran berlangsung dengan sangat sengit. Meski hanya bersenjatakan rencong dan pedang, Cut Meutia tetap maju ke barisan depan untuk memimpin perlawanan. Sang putra, Teuku Raja Sabi, segera diamankan oleh pengawalnya dan dibawa masuk ke dalam hutan. Sementara itu, Cut Meutia gugur dalam pertempuran. Dalam laporan, disebutkan ia tertembak di kaki, dada, dan kepala, tetapi tetap berusaha bangkit dan menyerang musuh hingga akhirnya tembakan berikutnya merenggut nyawanya.

Operasi yang menewaskan Cut Meutia itu dipimpin oleh Sersan Wilhelmus Jacobus Johannes Mosselman. Selama bulan September hingga Oktober 1910, selain Pang Nanggroe dan Cut Meutia, beberapa pejuang Aceh lainnya juga gugur, termasuk ulama Tengku Seupot Mata yang telah lama diburu oleh pasukan Marsose.

Pasukan yang dipimpin Mosselman dianggap berhasil besar. Rentetan serangan dari 22 hingga 26 Oktober 1910 membuatnya menerima bintang jasa. Berdasarkan keputusan kerajaan (Koninklijk Besluit) tertanggal 6 Januari 1912 nomor 30, Mosselman dianugerahi gelar Ridder Militaire Willemsorde kelas tiga (RMW III). Sebelumnya, ia telah menerima penghargaan RMW kelas empat. Saat menyergap Cut Meutia, Mosselman masih berpangkat perwira muda.

Beberapa sumber menyebut bahwa jenazah Cut Meutia sempat dibawa oleh pasukan Belanda dan dimakamkan secara sederhana di lokasi tempat ia gugur di Alue Kurieng.

Wafatnya Cut Meutia dan Tengku Seupot Mata menandai babak akhir dari Perang Aceh yang berlangsung dari 1873 hingga 1914. Meski perlawanan setelah itu menjadi sporadis dan berskala kecil, semangat rakyat Aceh tidak pernah padam. Belanda pun tidak pernah sepenuhnya merasa aman di wilayah Aceh hingga akhirnya angkat kaki secara permanen pada tahun 1942.[132][133][134][135][136]

Pertempuran Alue Bhot (1911)

Teungku Mu’az bin Muhammad Amin Tiro atau Teungku Ma'at, cucu dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, syahid pada 3 Desember 1911. Dengan gugurnya Mu’az, maka generasi keturunan langsung Chik di Tiro yang memimpin perlawanan bersenjata mengalami kemunduran signifikan.

Teungku Chik Maat di Tiro, putra dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin dan cucu dari pahlawan besar Aceh, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, mengemban tongkat estafet perjuangan pada usia muda, hanya 16 tahun, setelah pamannya, Teungku Chik Mahyeddin, gugur dalam pertempuran di Gunung Halimon pada 5 September 1910.

Sebelum melakukan pengejaran terhadap Teungku Maat, Komandan Belanda, Letnan H.J. Schmidt, sempat mencoba pendekatan damai melalui bibinya, istri dari Teungku Chik di Ulee Tutue, berharap perempuan itu dapat membujuk Teungku Maat untuk menyerah. Secara diam-diam, sang bibi pergi ke pegunungan Tangse dan menyampaikan pesan Belanda bahwa keponakannya akan diburu. Namun, usai kembali dari hutan, ia berkata: “Tidak ada jalan. Lebih baik ia memilih mati syahid daripada menyerah.” Schmidt lalu menanggapi, “Kalau begitu, ia hanya menyusahkan dirinya sendiri.” “Itu sudah kehendak Allah,” jawab sang bibi mantap.

Pada 3 Desember 1911, di daerah Alue Bhöt, Tangse, Teungku Ma'at yang tengah duduk di akar pohon besar di tepi sungai kecil, tertembus peluru pasukan pelacak Marsose (Nussy). Ia gugur dalam usia muda, tetapi dengan penuh martabat. Peluru menembus jantungnya, dan matanya tetap terbuka, seolah memandang langit kemerdekaan yang ia impikan.

Syahidnya Teungku Maat menambah daftar korban dari pihak Aceh, namun juga menanamkan ketakutan dalam benak para serdadu Belanda. Ia menolak semua tawaran Belanda, meski dijanjikan jabatan dan kemewahan, dan tetap memilih untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Karena prinsip dan keberaniannya, keluarga Teungku Chik di Tiro tercatat sebagai satu-satunya garis keturunan yang tidak pernah berdamai dengan penjajah hingga akhir hayat.

Bahkan pasukan Belanda yang membunuhnya memberikan penghormatan terakhir. Operasi pengejaran ini, yang dipimpin langsung oleh Letnan Schmidt, melibatkan puluhan personel campuran—terdiri dari perwira, serdadu Belanda dan pribumi, pasukan Marsose dari Ambon dan lokal, serta para pekerja paksa.

Teungku Ma'at dikenang sebagai pemuda berwajah tampan dan berkulit putih, berpakaian rapi seperti bangsawan: celana hitam bersulam sutra, baju hitam dengan kancing emas, dan tengkulôk merah dari kain sutra. Meski muda, imannya kokoh dan keberaniannya tak tergoyahkan.

Saat peluru menembus dadanya, tangannya masih menggenggam senjata. Belanda baru mengetahui identitasnya setelah menemukan cincin khusus di pinggangnya. Ia dimakamkan di Gampong Pulo Masjid, Tangse. Konon, jasadnya dikubur tanpa kepala karena Belanda membawanya ke Kutaraja untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perlawanan Aceh telah berakhir. Teungku Maat adalah pemegang stempel cap sikurueng terakhir dan simbol terakhir perjuangan Tiro.

Dalam upacara penghormatan terakhir, Letnan Schmidt menyatakan kepada pasukannya: “Dit is de Zoon van de Vader.” — “Inilah putra sang ayah.” Kalimat itu menandai betapa besar penghormatan yang diberikan bahkan oleh musuh terhadap sosok muda yang setia pada bangsa dan agamanya hingga akhir hayat.[130][137][138][139]

Pertempuran Tangse dan Gugurnya Habib Teupin Wan (1911)

Habib Abdurrahman bin Hasan Assegaf, dikenal dengan nama Habib Teupin Wan, merupakan seorang ulama dan tokoh perlawanan dari Aceh yang terlibat dalam konflik melawan kolonial Belanda selama lebih dari tiga dekade. Ia tercatat sebagai salah satu tokoh yang paling lama berperan dalam Perang Aceh. Setelah pasukan Belanda meningkatkan tekanan militer, Habib Teupin Wan mundur ke wilayah pedalaman Tangse dan Keumala, tetapi tetap melanjutkan perlawanan yang dinilai efektif oleh pihak kolonial.

Setelah memimpin perlawanan selama 38 tahun, ia tetap menjadi sosok sentral dalam upaya mempertahankan wilayah-wilayah Aceh dari pendudukan Belanda. Belanda kemudian mengandalkan dukungan dari informan lokal (cuak) untuk melacak lokasi persembunyian para pejuang. Salah satu peristiwa yang berkontribusi terhadap penemuan tempat persembunyian Habib Teupin Wan adalah pengiriman seekor sapi oleh Teungku Baje Mirah sebagai hadiah meugang menjelang Idul Fitri. Jejak sapi tersebut digunakan oleh Letnan B.J. Schmidt dan pasukannya untuk menelusuri lokasi persembunyian di pedalaman hutan Tangse.

Habib Teupin Wan gugur dalam sebuah penyergapan pada 5 Syawal 1329 H (29 September 1911 M) oleh pasukan Belanda yang dipimpin Letnan Schmidt. Jenazahnya dimakamkan di Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Informasi mengenai kiprahnya dalam perlawanan terekam dalam berbagai naskah lokal, arsip Belanda, serta dokumen sezaman lainnya. Hingga saat ini, makamnya masih dikenal dan dihormati oleh masyarakat setempat.

Perlawanan yang dipimpinnya bermula sejak pecahnya agresi militer Belanda ke Aceh pada tahun 1873. Dalam kurun waktu tersebut, ia menetapkan wilayah Tangse yang bergunung dan terpencil sebagai basis pertahanan utama. Lokasi tersebut dipilih karena dinilai strategis untuk perlawanan gerilya dan relatif sulit dijangkau oleh pasukan kolonial.[140][141][142][143][144][145][146][147][148][149]

Kelanjutan Perlawanan

Meskipun Belanda terus menekan, perlawanan tidak pernah benar-benar padam. Pada tahun-tahun berikutnya, perjuangan masih berlanjut:

  • 1925: Muncul perlawanan di Aceh Selatan yang dipimpin oleh Cut Ali, yang dinilai Belanda sebagai tokoh yang cerdas dan berinisiatif.
  • 1926: Teuku Raja Tampol dan Pang Karim dianggap sebagai ancaman serius terhadap ketertiban kolonial.
  • 1928: Muncul gerakan Teungku Amin di Tapaktuan, pemberontakan Bidin Keubay di Lhol Pawoh Utara, serta serangan Khadem Ambong di kenegerian Manggeng, Aceh Selatan.
  • 1933: Perlawanan rakyat terjadi di Lhong, Aceh Besar.
  • 1937: Perlawanan rakyat juga terjadi di Leupueng.

Meskipun pimpinan utama banyak yang gugur, perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlangsung, terutama oleh kalangan ulama dan rakyat biasa. Perlawanan ini tetap bertahan hingga kedatangan pasukan Jepang ke Aceh pada tahun 1942. Karena itu, secara historis Aceh dianggap sebagai wilayah yang tidak pernah sepenuhnya tunduk kepada pemerintahan kolonial Belanda.

Remove ads

Perlawanan Sporadis Aceh (1912-1945)

Ringkasan
Perspektif

Perlawanan Teungku di Barat (1912)

Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh diceritakan bahwa Teungku Di Barat bersama mertuanya, Teungku Di Mata Ie—juga dikenal sebagai Teungku Di Paya Bakong—merupakan ulama dan tokoh perlawanan yang memimpin perjuangan rakyat Aceh di wilayah Keureuto (Aceh Utara) dan sekitarnya. Kedua tokoh ini sangat dihormati dan dikenal sering memimpin serangan terhadap bivak serta patroli militer Belanda.

Untuk menumpas perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Di Barat, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan 12 brigade pasukan Marsose dari unit yang dikenal sebagai "kolone macan," pasukan terkenal ganas dan brutal, di bawah komando Kapten W.B.J.A. Scheepens dan Kapten H. Christoffel. Dalam sebuah pertempuran pada tahun 1912, Teungku Di Barat dan istrinya gugur setelah terkena tembakan dari pasukan yang dipimpin Letnan Behrens.

Kisah gugurnya Teungku Di Barat dan sang istri, Teungku Cutpo Fatimah, yang penuh nuansa kepahlawanan dan kesetiaan itu juga dikisahkan oleh H.C. Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, seperti yang tertuang dalam kutipan berikut.

Pantas bagi kalam pujangga agung, salah seorang ulama paling terkenal di daerah Aceh bagian timur laut. Dia dan suaminya, bersama beberapa orang pengikutnya, telah diburu dengan ketat oleh pasukan kita, dalam rangka pengejaran yang tak kenal ampun, di mana para marsose dalam zaman itu mengerti akan rahasianya. Kemudian tibalah adegan terakhir dalam rangkaian tragedi itu. Teungku dan istrinya beserta beberapa orang pengikutnya, terkepung di antara tebing-tebing batu cadas.

Dalam detik saat di mana semua mereka memiliki semangat juang, berdirilah sang istri di samping suaminya. Sebuah peluru mengenai tangan kanan Teungku, ia mencabut rencong di pinggang dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang tertembak mengoper senapan yang dipegangnya itu kepada istrinya, yang kini merupakan pelindung, sekaligus berikan pengorbanan terhadap sang suami, berdiri tepat di depan suaminya; suatu ungkapan tauladan nan agung serta cinta bakti yang tinggi.

Demikianlah, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan seketika, dan tidak lama setelah suaminya tewas, gugur pulalah wanita itu. Akhir hayat yang bagi kedua mereka berarti “syahid”, kiranya telah memberikan rasa kebahagiaan yang tak dapat diduga oleh siapa pun betapa besar artinya.

HC Zentgraaff, yang pernah terlibat langsung dalam Perang Aceh, menunjukkan kekagumannya terhadap peran perempuan Aceh dalam medan perang. Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa rakyat Aceh—baik laki-laki maupun perempuan—telah berjuang dengan penuh semangat demi hal yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional dan agama. Di antara para pejuang tersebut, terdapat banyak sosok pria dan wanita yang layak menjadi kebanggaan bagi bangsa mana pun.[150]

Perlawanan Teungku di Mata Ië (1913–1937)

Setelah berakhirnya jabatan Wali Negara Aceh sebagai pemimpin Perang Aceh, perlawanan terhadap Belanda berlanjut di berbagai wilayah. Salah satu tokoh yang memimpin gerakan tersebut adalah Teungku di Mata Ie, yang bersama pengikutnya melakukan perlawanan dari tahun 1913 hingga 1937. Gerakan ini mencerminkan keberlanjutan semangat perlawanan rakyat Aceh meskipun tekanan dari pihak kolonial semakin kuat.

Teungku di Mata Ië mengalami luka parah pada tahun 1913 dan sejak saat itu menghilang tanpa jejak, hingga banyak orang mengira bahwa ia telah meninggal dunia. Namun, empat tahun kemudian, ia ditemukan secara kebetulan di sebuah ladang sunyi di pegunungan dan kemudian ditembak hingga tewas.

Menurut kesaksian saksi mata Belanda, ketika jenazahnya diperlihatkan kepada masyarakat Aceh, banyak yang bersimpuh di tanah sambil berseru, “Teungku, jangan gusar. Kami tidak bersalah dalam hal ini.” Sisa-sisa pasukan perlawanan yang pernah ia pimpin terus bergerilya dan mengembara hingga tahun 1937.[72]

Perlawanan di Gayo dan Alas (1908–1926)

Di daerah Gayo dan Alas, perlawanan terhadap Belanda juga terus berlangsung. Pada tahun 1908, Pang Bedok Mampang dan pasukannya menghancurkan bivak Belanda di Samarkilang. Kemudian, pada tahun 1925 dan 1926, sekelompok gerilyawan yang dipimpin oleh Muhammad Din dari Gayo Lues menyerang tangsi Belanda di Blang Kejeren. Di Lokop (Serbajadi), perang gerilya diteruskan oleh Datuk Pending II, Pang Akob, dan Srikandi Inem Manyak Tri. Datuk Pending II akhirnya ditangkap dan dibuang ke Nusa Kambangan, sementara Inem Manyak Tri gugur pada tahun 1916.

Perlawanan di Pesisir Barat dan Selatan Aceh (1907–1928)

Wilayah pesisir barat dan selatan Aceh menjadi medan strategis bagi gerilyawan. Pada tahun 1907, Teuku Ben Mahmud Blang Pidie memimpin pertempuran melawan Belanda di Lhok Paoh, Manggeng. Setelah keluarganya ditawan, ia menyerahkan diri pada Juli 1908 bersama 160 pengikutnya. Namun, pada tahun 1914, ia dibuang ke Ambon karena dituduh mengkoordinir kembali perlawanan. Anaknya, Teuku Banta Sulaiman, juga dibuang dua tahun kemudian, sementara anak lainnya, Teuku Karim, melanjutkan perlawanan. Antara tahun 1925–1928, di Bakongan terjadi pertempuran antara gerilyawan yang dipimpin oleh Teuku Raja Angkasah dan Cut Ali melawan Belanda. Panglima-panglima seperti T. Mulod, Panglima Nyak Ben, Panglima Itam, Teungku Puteh, Pang Ahmad, Datuk Nyak Neh, Pang Raja Lela, Imum Sabi, T. Nago, T. Karim, dan Teuku Raja Tampok turut serta dalam perlawanan ini. Beberapa dari mereka gugur dalam pertempuran pada tahun 1926 dan 1927.

Gerakan Perlawanan Baru (1928–1933)

Pada tahun 1928, gerakan perlawanan dipimpin oleh Teungku Amin di Tapaktuan, pemberontakan Bidin Keubay di Lhok Pawoh Utara, dan serangan Khadem Ambon di Manggeng, Tapaktuan. Meskipun sementara dapat dipadamkan, pada tahun 1933 pecah lagi perlawanan di Lhong. Pada 10 Juli 1933, Kapten Belanda C.E. Schmid menjadi korban pembunuhan di Lhoksukon, Aceh Utara. Dua bulan kemudian, terjadi peristiwa serupa di Bakongan, Aceh Selatan, dan pada akhir November 1933 terhadap dua anak Belanda di Kutaraja.

Perlawanan Menjelang Kedatangan Jepang (1937–1942)

Perlawanan juga terjadi di Leupung (1937), Aceh Besar. Teuku Raja Tampok di Aceh Barat terus melakukan perlawanan hingga tahun 1930-an. Menjelang kedatangan Jepang, Teuku Manan yang telah berumur 96 tahun bersama kawan-kawannya melancarkan aksi perlawanan terhadap Belanda. Perjuangan bersenjata rakyat Aceh melawan Belanda tidak pernah berhenti sampai pada bulan Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda meninggalkan daerah Aceh dan tidak pernah kembali lagi.

Remove ads

Akibat

Ringkasan
Perspektif

Dampak Perang Aceh

Perang Aceh yang berlangsung selama hampir tujuh dekade membawa dampak besar, baik bagi masyarakat Aceh maupun Pemerintah Kolonial Belanda. Konflik ini tidak hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur dan ketidakstabilan sosial, tetapi juga mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar di kedua belah pihak.

Menurut catatan sejarawan Belanda Paul van 't Veer, jumlah korban jiwa di pihak Aceh mencapai 21.865 orang hingga tahun 1909, yang merupakan sekitar 4 persen dari total populasi Aceh pada masa itu. Angka tersebut meningkat selama masa-masa berikutnya, terutama pada periode Pergerakan Nasional antara tahun 1909 hingga 1914, menjadi 23.198 jiwa. Jumlah ini menunjukkan tingkat kekerasan dan intensitas konflik yang sangat tinggi, terutama mengingat luas wilayah dan jumlah penduduk Aceh yang relatif kecil pada masa itu.[72]

Jika dibandingkan dengan Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648) antara Belanda dan Spanyol, Perang Aceh memiliki korban jiwa yang relatif lebih besar secara proporsional. Hal ini memperlihatkan bahwa Perang Aceh merupakan salah satu konflik kolonial paling berdarah dalam sejarah kekuasaan Belanda di Nusantara.

Selain korban jiwa, dampak lain dari perang ini adalah terjadinya perubahan besar dalam struktur sosial dan politik masyarakat Aceh. Banyak wilayah kehilangan kepemimpinan adat dan keagamaan akibat penangkapan atau kematian para pemimpin perlawanan. Sebagian besar wilayah Aceh juga mengalami tekanan budaya dan administratif akibat kebijakan kolonial yang diberlakukan setelah penaklukan, seperti sistem kontrol militer dan penyebaran pendidikan ala Barat.

Namun demikian, semangat perlawanan dan identitas kedaulatan Aceh tetap bertahan, tercermin dalam keberlanjutan perjuangan rakyat Aceh yang berlangsung bahkan hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Perang ini tidak hanya tercatat sebagai episode penting dalam sejarah lokal Aceh, tetapi juga sebagai salah satu simbol perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia.

Warisan dan Dampak Jangka Panjang

Thumb
Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Teungku Abdullah Syafi'i bersama pasukan Inong Bale (Sayap militer perempuan GAM).

Perang Aceh tidak hanya menjadi konflik bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi juga meninggalkan warisan perlawanan yang mendalam dalam identitas kolektif masyarakat Aceh. Semangat perjuangan dan keteguhan dalam mempertahankan kedaulatan menjadi inspirasi bagi berbagai gerakan perlawanan di Aceh pada masa-masa setelahnya.

Salah satu manifestasi dari warisan ini adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953. Sebagai bagian dari gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Daud Beureueh menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, terutama terkait dengan status otonomi Aceh dan penerapan hukum Islam.[151]

Pada tahun 1976, Hasan di Tiro, yang merupakan keturunan dari tokoh perlawanan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia dengan alasan ketidakadilan ekonomi dan politik yang dirasakan oleh rakyat Aceh. Konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia berlangsung selama hampir tiga dekade, menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerusakan yang luas di wilayah Aceh.[152]

Perlawanan yang dilakukan oleh GAM memiliki akar yang kuat dalam sejarah panjang perjuangan Aceh melawan penjajahan. Kisah-kisah heroik dari masa Perang Aceh menjadi sumber inspirasi dan legitimasi moral bagi gerakan ini. Dalam deklarasi pendiriannya, GAM menyatakan bahwa Aceh tidak pernah secara sah menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan oleh karena itu, integrasi Aceh ke dalam Republik Indonesia dianggap tidak sah. GAM menganggap Indonesia sebagai perpanjangan tangan Belanda yang mewarisi segala bentuk hukum dan administrasi negara mengikuti kolonial Belanda.

Konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia mencapai puncaknya pada awal 2000-an. Namun, setelah bencana tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004, kedua belah pihak memulai proses perdamaian yang difasilitasi oleh pihak internasional. Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki, yang mengakhiri konflik bersenjata dan memberikan otonomi khusus bagi Aceh.[152]

Dengan demikian, Perang Aceh tidak hanya menjadi catatan sejarah tentang perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga membentuk dinamika politik dan identitas masyarakat Aceh hingga era modern. Semangat perjuangan yang diwariskan dari konflik tersebut terus mempengaruhi gerakan-gerakan sosial dan politik di Aceh sepanjang abad ke-20 dan ke-21.

Reaksi Internasional

Pihak Terkait

Reaksi negara lain

Tanggapan media

  • The New York Times
  • The Illustrated London News

Warisan, Peringatan, dan Penghargaan

Aceh

  • Sebuah Tugu didirikan untuk memperingati Insiden Pembantaian di Kuta Reh
  • Sejumlah tokoh yang terlibat konflik dengan Belanda mendapatkan gelar anumerta Pahlawan Nasional oleh Republik Indonesia, atas dedikasi mereka dalam perang melawan kolonialisme.
  • Pemakaman Belanda Kerkhoff Peutjut di Banda Aceh menjadi simbol peringatan Perang Aceh. Nama-nama serdadu dan perwira Belanda terukir di gerbang pintu pemakaman.
Thumb
Kerkhof Peucut di Banda Aceh
Thumb
Relief batu pasir ini menggambarkan pertempuran antara tentara KNIL dan penduduk Aceh selama Perang Aceh antara tahun 1873 dan 1913. Pematung Arnhem, Lodewijk Henzen, awalnya membuat batu bata di atas pintu masuk bekas rumah pemulihan tentara KNIL di Zutphen. Patung ini disumbangkan ke perkebunan Bronbeek di Arnhem pada tahun 1970.

Belanda

  • Para serdadu dan perwira tinggi Belanda yang terlibat dalam Perang Aceh mendapatkan medali bintang kehormatan Ordo Perang Aceh
  • Monumen Perang Aceh-Victoria didirikan di Batavia, sebagai peringatan kemenangan dan penaklukan Belanda atas Aceh, namun monumen tersebut telah dihancurkan pada masa Presiden Soekarno.
  • Thumb
    Sebuah kapal perang uap bersekrup kelas satu milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine) yang dinamai berdasarkan wilayah Aceh di Sumatra. 1880.
    Monumen Perang Aceh berdiri di Arnhem, Belanda
Thumb
Atjeh-Monument di Wilhelmina Park, Batavia (sekarang di sekitar halaman Masjid Istiqlal, Jakarta). Tugu ini telah dihancurkan pada masa Presiden Soekarno.
Thumb
Medali Perang Aceh

Kutipan

Ringkasan
Perspektif
  • Letnan Kolonel infantri, G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:

Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[153]

  • Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang diterbitkan tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti Belanda. Beberapa diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam menghadapi invasi Belanda. Berikut petikannya.Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis:

Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[154]

Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff melanjutkan;

“Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang setinggi-tingginya?.”

  • A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis;

“Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara daya pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga dan berbaris secara teratur).”

  • Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog yang terbit tahun 1969. Pada halaman 293, Paul menulis;[72]

“Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah peperangan Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya.”

Pada halaman 301, Paul menambahkan;

“Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih daripada cukup.”[72]

  • Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis;

“Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, akan tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali.”

  • Zentgraaff dalam catatannya menuliskan tentang peristiwa gugurnya Cut Meutia:

“Saya melihat rupa wanita putih kuning itu dengan wajahnya yang cerdas, didorong oleh perasaannya yang menyala-nyala untuk tewas sebagai seorang syahid. Dengan mata yang liar dan rambut yang terurai di kepalanya, ia mengayunkan kelewangnya menyerbu kami.”[134]

Dalam Budaya Populer

Ringkasan
Perspektif

Kisah Perang Aceh telah dimuat dalam budaya populer di berbagai karya sastra, film, hingga teater, diantaranya:

Film

Sastra

  • Buku Hikayat Perang di Idi (1891) karya J. P. Schoemaker, diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Birga Utama Media, naskah aslinya berbahasa Belanda. Naskah setebal 64 halaman ini menceritakan peristiwa sejarah mengenai perang antara kolonial Belanda dan rakyat Aceh di wilayah Idi (Aceh Timur) sekitar tahun 1874. Dalam narasi ini, Schoemaker menggambarkan pendudukan Belanda selama lima belas tahun yang diklaim berlangsung dengan adil dan membawa kemajuan. Namun, rakyat Idi tidak senang terhadap penjajahan tersebut , dan memunculkan perlawanan yang berujung pada perang terbuka. Uniknya, dalam kisah ini disebutkan bahwa rakyat Aceh mendapatkan bantuan dari orang Ambon dalam menghadapi serangan Belanda.[155]
  • Novel "Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh" (1948) karya Madelon Székely-Lulofs adalah novel yang menceritakan perjuangan Cut Nyak Dien, seorang pahlawan perempuan Aceh, dalam melawan penjajah Belanda di Aceh pada abad ke-19. Novel ini menggambarkan tekad kuat Cut Nyak Dien, yang kemudian dijuluki "Ratu Perang Aceh", dalam melawan kolonialisme, serta perannya dalam mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh.
  • Novel "Perempuan Keumala" (2008) karya Endang Moerdopo, yang menceritakan perjuangan Laksamana Keumalahayati, seorang perempuan keturunan bangsawan Aceh yang menempuh pendidikan militer dan menjadi laksamana perempuan pertama di dunia.
  • Novel Overgeven of sneuvelen: De Atjeh-oorlog (2022) karya Bert Wenink, merupakan novel roman yang menceritakan kisah Perang Aceh berbahasa Belanda. Pada tahun 1873, Belanda menyerbu negara merdeka Aceh yang terletak di ujung utara Sumatra. Belanda mengira akan dapat menaklukkan Aceh dengan cepat. Namun, anggapan itu ternyata hanya ilusi. Mereka justru terjebak dalam perang yang menjadi perang terpanjang dan paling berdarah dalam sejarah kolonial Belanda: Perang Aceh. Pembaca mengalami peristiwa-peristiwa sejarah ini terutama melalui sudut pandang Hans Heizer, seorang tentara Jerman dalam dinas militer Belanda. Kehidupan di Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dihidupkan kembali: perekrutan tentara baru, disiplin militer, kehidupan bersama antara pria dan wanita di kamp-kamp militer, konsumsi alkohol, iklim yang kejam, serta berbagai penyakit.[156][157][158][159][160]

Televisi

Teater

  • Teater Jalasena Laksamana Malahayati.(2023), pertunjukan ini digarap oleh Marcella Zalianty yang berkolaborasi dengan TNI Angkatan Laut.[24]

Radio

Musik

Thumb
Pasukan Belanda diantara mayat para pembela Benteng Kuta Reh
Thumb
Karikatur karya Johan Braakensiek yang diterbitkan tanggal 27 September 1896. Karikatur ini memperlihatkan Isaäc Dignus Fransen van de Putte, politisi Belanda yang sempat menjadi Perdana Menteri dan Menteri Urusan Jajahan; Van de Putte tampaknya turut terlibat dalam keputusan untuk melancarkan aksi militer di Aceh. Teks di bawah menyebutkan bagaimana Van de Putte berkata: "Saya tidak sekejap pun mundur dari tanggung jawab yang saya pikul," dengan postur tubuh yang percaya diri tetapi dengan muka yang berpaling dari kekacauan dan penderitaan yang muncul dari Perang Aceh.
Thumb
Karikatur karya Chris Lebeau tahun 1935 merupakan karikatur yang ditujukan sebagai kritik terhadap pengagungan Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz, yang dipandang sebagai pahlawan dalam Perang Aceh. Melalui karyanya, Lebeau menyindir bahwa gelar “Nederlands Pacificator” (pembawa perdamaian Belanda) dan “De vredestichter die men huldigt” (pembawa damai yang diagungkan) sejatinya menutupi kenyataan bahwa sosok tersebut berdiri di atas penderitaan rakyat dan ditopang oleh kekuatan militer, khususnya meriam. Kehadiran dua gambar pesawat tempur dalam karikatur ini, meskipun belum relevan dengan konteks Perang Aceh yang terjadi sebelum era pesawat tempur, tampaknya dimaksudkan untuk menggugah ingatan masyarakat Belanda terhadap kehancuran dan dampak mengerikan Perang Dunia I yang terjadi beberapa dekade sebelumnya.

Galeri

Foto

Poster, Ilustrasi, dan Karya Seni

Lihat juga

Catatan kaki

Referensi

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads