Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Tanpa atma

Konsep yang menolak keberadaan diri, jiwa, atau roh kekal dalam Buddhisme Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Remove ads

Tanpa atma atau bukan atma (Pali: anatta; Sanskerta: अनात्मन्, anātman), juga dikenal sebagai tanpa inti,[1][2] tanpa roh,[3][4] bukan roh,[5] tanpa arwah,[6] tanpa diri,[7] bukan diri,[8][9] tanpa Aku,[10][11] dan bukan Aku,[12] adalah suatu konsep dalam Buddhisme yang menyatakan bahwa tidak ada atma, roh, diri, atau esensi yang kekal dan tidak berubah yang dapat ditemukan dalam fenomena apa pun.[note 1]

Informasi lebih lanjut Buddhisme, Buddhisme awal ...

Tanpa-atma merupakan satu dari trilaksana (tiga karakteristik keberadaan), dua yang lainnya adalah penderitaan (dukkha) dan ketidakkekalan (anicca).[13]

Meski sering diartikan sebagai ajaran yang menyangkal keberadaan atma, tanpa-atma juga bisa digambarkan sebagai strategi untuk mencapai lenyapnya kemelekatan dengan menyadari ketidakkekalan atas segala sesuatu, dengan tetap tidak menyimpulkan keberadaan hakikat yang tidak berubah.[14][15][16] Sebaliknya, aliran dominan Hindu menegaskan keberadaan Atma sebagai kesadaran murni atau kesadaran saksi,[17][18][19][note 2] "mewujudkan kesadaran sebagai diri yang abadi."[20]

Remove ads

Etimologi dan nomenklatur

Ringkasan
Perspektif

Anatta adalah kata gabungan dalam bahasa Pali yang terdiri dari kata "an-" (bukan) dan "atta" (hakikat/esensi yang ada dengan sendirinya).[21] Istilah ini mengacu pada konsep inti Buddhisme bahwa tidak ada fenomena yang memiliki "Diri" atau esensi yang permanen dan tidak berubah.[14] Anatta merupakan satu dari tiga ciri semua keberadaan, bersama dengan dukkha (penderitaan, ketidakpuasan) dan anicca (ketidakkekalan).[21]

Anatta (bahasa Pali) merupakan sinonim dari Anātman (an + ātman) dalam kitab-kitab Buddhis berbahasa Sanskerta.[22] Dalam beberapa kepustakaan Pali, ātman dalam kitab-kitab Weda juga disebut dengan istilah Attan, dengan pengertian "jiwa, roh" (soul).[21] Penggunaan alternatif dari Attan atau Atta adalah "diri (self), diri sendiri (oneself), esensi dari seseorang (essence of a person)", didorong oleh kepercayaan Brahmanisme era Weda bahwa ātman diyakini sebagai esensi makhluk hidup yang permanen dan tidak berubah, atau "Diri Sejati".[21][22]

Dalam kepustakaan berbahasa Inggris yang berhubungan dengan Buddhisme, anatta diterjemahkan sebagai "bukan-Diri" (not-Self), tetapi terjemahan ini mengungkapkan makna yang tidak lengkap, kata Peter Harvey; terjemahan yang lebih lengkap adalah "tanpa-Diri" (no-Self) karena sejak awal, ajaran anatta menolak adanya sesuatu yang disebut "Diri" dalam seorang individu atau sesuatu apa pun, dan bahwa kepercayaan bahwa ada "Diri" merupakan sumber dari dukkha (penderitaan, rasa sakit, ketidakpuasan).[23][24][note 3] Namun, seorang cendekiawan Buddhis, Richard Gombrich, berpendapat bahwa anatta sering salah diterjemahkan menjadi "tidak memiliki diri atau esensi" (not having a self or essence), tetapi sebenarnya berarti "bukan [merupakan] ātman" (is not ātman), bukannya "tidak memiliki ātman".[14] Tidaklah tepat pula jika menerjemahkan anatta hanya sebagai “tanpa ego”, menurut Peter Harvey, karena konsep ātman dan atta di India berbeda dengan konsep ego dalam teori psikologi Sigmund Freud.[28][note 4]

Remove ads

Theravāda

Ringkasan
Perspektif
Informasi lebih lanjut Buddhisme Theravāda ...

Gugusan

Menurut aliran Theravāda, apa yang secara konsep atau konvensional (sammuti) disebut sebagai "diri" sebenarnya merujuk pada gugusan-gugusan pembentuk (khandha) suatu makhluk. Penderitaan muncul ketika seseorang mengidentifikasi atau melekat pada gugusan pembentuk kehidupan tersebut. Penderitaan ini dipadamkan dengan melepaskan kemelekatan terhadap gugusan-gugusan tersebut.

Lima gugusan yang dimaksud adalah:[30][31][32][33]

  1. gugusan materi (Pali: rūpakkhandha)
  2. gugusan perasaan (vedanākkhandha)
  3. gugusan persepsi atau pencerapan (saññākkhandha)
  4. gugusan formasi-formasi batin atau pemikiran (saṅkhārakkhandha)
  5. gugusan kesadaran (viññāṇakkhandha)

Trilaksana

Dalam falsafah buddhis, tanpa-atma menunjukkan bahwa segala hal (dhamma), baik yang terkondisi (saṅkhāra) maupun yang tidak terkondisi (Nirwana), sesungguhnya tidak mempunyai inti yang tetap.[34]

Tanpa-atma dipahami sebagai satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah dukkha ('penderitaan') dan anicca ('ketidakkekalan').[35][36][37][38] Ajaran ini muncul dalam kepustakaan Pali sebagai:

  • "sabbe saṅkhārā aniccā,
  • sabbe saṅkhārā dukkhā,
  • sabbe dhammā anattā."

Kalimat-kalimat tersebut diterjemahkan oleh Szczurek sebagai "semua hal yang terkondisi tidak kekal, semua hal yang terkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma".

Saṅkhāra dan dhamma

Buddhisme menolak eksistensi diri atau roh kekal dan menekankan bahwa makhluk-makhluk hanya terdiri atas gugusan-gugusan (khandha) yang tidak dapat diidentifikasi sebagai diri atau roh kekal.[39] Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan atau agregat (khandha) dalam skema:[40]

Informasi lebih lanjut Kelompok, Pañcakkhandha (lima gugusan) ...

Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.

Pandangan dan belenggu

Terkait dengan ajaran tentang pandangan (Pali: diṭṭhi) dan belenggu (saṁyojana), dikenal istilah "sakkāyadiṭṭhi". Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah). Sakkāya adalah istilah teknis untuk lima gugusan yang menjadi objek pelekatan makhluk yang belum tercerahkan. Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atma".[41]

Pandangan

Buddhisme Theravāda mengenal enam puluh dua pandangan-salah yang bersumber dari pandangan tentang identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi) tersebut. Dalam kitab Dhammasaṅgaṇī (Abhidhamma Piṭaka) dan Mahāpuṇṇama Sutta (MN 109) dijelaskan bahwa pandangan tentang identitas diri atau roh memiliki dua puluh variasi. Variasi-variasi tersebut didapatkan dari empat model untuk masing-masing dari lima gugusan, yaitu:[42][43]

  1. Menganggap gugusan sebagai atma
  2. Menganggap atma yang memiliki gugusan
  3. Menganggap gugusan berada di dalam atma
  4. Menganggap atma berada di dalam gugusan

Belenggu

Informasi lebih lanjut Bodhi, Punarbawa ...

Belenggu (Pali: saṁyojana, saññojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan. Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[44]

Tanpa-atma terkait erat dengan belenggu pertama, yaitu pandangan identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi).[41] Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":

"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
  • 'Apakah aku ada di masa lampau?
  • Apakah aku tidak ada di masa lampau?
  • Apakah aku di masa lampau?
  • Bagaimanakah aku di masa lampau?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
  • Apakah aku akan ada di masa depan?
  • Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
  • Akan menjadi apakah aku di masa depan?
  • Akan bagaimanakah aku di masa depan?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
  • ‘Apakah aku ada?
  • Apakah aku tidak ada?
  • Apakah aku?
  • Bagaimanakah aku?
  • Dari manakah makhluk ini datang?
  • Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
  • ‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • 'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
  • ‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[45][46]
Remove ads

Mahāyāna

Ringkasan
Perspektif
Informasi lebih lanjut Buddhisme Mahāyāna ...

Ajaran tentang "Benih Kebuddhaan" merupakan gagasan utama pemikiran Mahāyāna Asia Timur (seperti dalam Buddhisme Han).[47] Konsep Benih Kebuddhaan mengacu pada beberapa istilah terkait,[note 5] terutama Tathāgatagarbha dan Buddha-dhātu.[note 6] Tathāgatagarbha berarti "rahim dari yang telah meninggal" (lih. yang tercerahkan), sedangkan Buddha-dhātu secara harfiah berarti "alam Buddha" atau "substrat Buddha".[note 7] Beberapa teks utama merujuk pada tathāgatagarbha atau Buddha-dhātu sebagai "atman", Diri, atau esensi, meskipun teks-teks tersebut juga berisi peringatan terhadap penafsiran harfiah. Beberapa cendekiawan telah mencatat kesamaan antara teks-teks tathāgatagarbha dan monisme substansial yang ditemukan dalam tradisi atman dan Brahman.[49]

Ajaran Tathāgatagarbha, pada awalnya, mungkin muncul pada akhir abad ke-3 Masehi, dan dapat diverifikasi dalam terjemahan bahasa Tionghoa pada milenium pertama Masehi.[50]

Mahāparinirvāṇa Sūtra

Berbeda dengan aliran-aliran madhyamika, Mahāparinirvāṇa Sūtra menggunakan "bahasa positif" untuk menunjukkan "realitas absolut". Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa mengajarkan esensi yang mendasari, "Diri", atau "Atman".[51] "Diri sejati" ini adalah Benih Kebuddhaan (Tathāgatagarbha) yang diyakini hadir dalam semua makhluk hidup, dan disadari oleh mereka yang telah tercerahkan. Sebagian besar cendekiawan menganggap ajaran Tathāgatagarbha dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa yang menegaskan 'esensi alamiah' dalam setiap makhluk hidup setara dengan 'Diri',[note 8] dan hal ini bertentangan dengan ajaran tanpa-atma (anatta) dalam sebagian besar teks dalam kitab-kitab Buddhis. Hal ini menyebabkan para cendekiawan berpendapat bahwa Sūtra Tathāgatagarbha ditulis untuk mempromosikan Buddhisme kepada non-Buddhis.[53][54]

Menurut Sallie B. King, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa tidak mewakili suatu inovasi besar.[55] Inovasi terpentingnya adalah menghubungkan istilah buddhadhātu dengan tathāgatagarbha.[55] Menurut King, sūtra tersebut agak tidak sistematis,[55] yang membuatnya "menjadi sūtra yang bermanfaat bagi para siswa dan pengomentar (pengulas atau penafsir) di kemudian hari, yang terpaksa membuat tatanan mereka sendiri dan membawanya ke dalam teks".[55] Sūtra tersebut berbicara tentang sifat-sifat Buddha dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga para cendekiawan Tiongkok membuat daftar jenis-jenis Benih Kebuddhaan yang dapat ditemukan dalam teks tersebut.[55] Salah satu pernyataan tersebut adalah:

Meskipun ia telah mengatakan bahwa semua fenomena [dharma] tidak memiliki Diri, bukan berarti bahwa semua itu sepenuhnya/sungguh-sungguh tidak memiliki Diri. Apakah Diri ini? Setiap fenomena [dharma] yang benar [satya], nyata [tattva], abadi [nitya], berdaulat/otonom/mengatur diri sendiri [aisvarya], dan yang dasar/ fondasinya tidak berubah [asraya-aviparinama], disebut sebagai 'Diri' [atman].[56]

Dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sang Buddha juga diyakini berbicara tentang "sifat-sifat positif" dari Nirwana, yaitu "Yang Abadi, Bahagia, Diri (Atman), dan Yang Murni."[57] Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa menjelaskan:

‘Diri’ (Atman) melambangkan Buddha; ‘Yang Abadi’ melambangkan Dharmakaya; ‘Kebahagiaan’ melambangkan Nirwana, dan ‘Yang Murni’ melambangkan Dharma.[58]

Edward Conze. secara konotasi, menghubungkan istilah tathāgata itu sendiri (sebutan yang diberikan Sang Buddha kepada diri-Nya sendiri) dengan gagasan tentang Diri yang sejati dan nyata:

Seperti halnya tathata menunjuk pada realitas sejati secara umum, demikian pula kata yang berkembang menjadi Tathāgata menunjuk pada jati diri sejati, realitas sejati dalam diri manusia.[59]

Johannes Bronkhorst menyatakan bahwa mungkin saja "Buddhisme asli tidak menyangkal keberadaan roh [Ātman, Atta]", meskipun tradisi Buddhis yang teguh telah menyatakan bahwa Sang Buddha menghindari pembicaraan tentang roh atau bahkan menyangkal.[60] Meskipun mungkin ada ambivalensi tentang keberadaan atau ketidakberadaan Atman dalam literatur Buddhis awal, Bronkhorst menambahkan, jelas dari teks-teks ini bahwa mencari pengetahuan-tentang-Diri bukanlah jalan Buddhis untuk pembebasan, dan berpaling dari pengetahuan-tentang-Diri adalah jalan untuk pembebasan.[61] Posisi ini merupakan posisi yang terbalik dari tradisi Weda yang mengakui pengetahuan tentang Diri (Atman) sebagai "sarana utama untuk mencapai pembebasan".[61]

Metode pengajaran

Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāparinirvāṇa menggunakan istilah “Diri” (Atman) untuk memenangkan hati para pertapa non-Buddhis. Ia mengutip dari sūtra tersebut:[62]

Benih Kebuddhaan sebenarnya bukanlah diri. Demi [membimbing] makhluk hidup, saya menggambarkannya sebagai Diri.[63]

Dalam Lankavatara Sutra yang muncul lebih belakangan, disebutkan bahwa tathāgatagarbha dapat disalahartikan sebagai suatu Diri/Atman, padahal bukan demikian.[64]

Ratnagotravibhāga

Teks Ratnagotravibhāga (juga dikenal sebagai Uttaratantra), teks lain yang disusun pada paruh pertama milenium pertama Masehi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 511 Masehi, menunjukkan bahwa ajaran Tathāgatagarbha dimaksudkan untuk memenangkan makhluk hidup agar meninggalkan "cinta-diri" (atma-sneha)–yang dianggap sebagai cacat moral.[65][66] Terjemahan Tathāgatagarbha dalam bahasa Tionghoa abad ke-6 menyatakan bahwa "Buddha memiliki shiwo (Diri Sejati) yang berada di luar keberadaan dan ketiadaan".[67] Akan tetapi, Ratnagotravibhāga menegaskan bahwa "Atman" yang tersirat dalam ajaran Tathāgatagarbha sebenarnya adalah "bukan-Atman".[68][69]

Remove ads

Catatan

  1. Definisi dalam bahasa Inggris:
    • Anatta Diarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "Anatta, (Pali: “non-self” or “substanceless”) Sanskrit anatman, in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying substance that can be called the soul. Instead, the individual is compounded of five factors (Pali khandha; Sanskrit skandha) that are constantly changing."
    • Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3.
    • Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8.: "...anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps—the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
    • Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8.: "...Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vāda) he expounded in his second sermon."
  2. Atman dalam agama Hindu:
    • Anatta Diarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "Konsep anatta, atau anātman, bertolakbelakang dari kepercayaan Hindu terkait ātman ("diri"). [The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self")].";
    • Steven Collins (1994), "Religion and Practical Reason" (Editors: Frank Reynolds, David Tracy), State Univ of New York Press, ISBN 978-0-7914-2217-5, hlm. 64; "Inti dari soteriologi Buddhis adalah ajaran tentang bukan-diri (Pali: anatta, Sanskerta: anātman, ajaran yang berlawanan dari ajaran tentang ātman sebagai inti dari pemikiran Brahman). Singkatnya, ini adalah ajaran [Buddhis] bahwa manusia tidak memiliki roh, jiwa, tidak memiliki diri, tidak memiliki hakikat [kekal] yang tidak berubah.";
    • Edward Roer (penerjemah), Shankara's Introduction, hlm. 2, pada Google Books to Brihad Aranyaka Upanishad, hlm. 2–4;
    • Katie Javanaud (2013), Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana? Diarsipkan 2015-02-06 di Wayback Machine., Philosophy Now;
    • David Loy (1982), "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?", International Philosophical Quarterly, Volume 23, Issue 1, hlm. 65–74;
    • KN Jayatilleke (2010), Early Buddhist Theory of Knowledge, ISBN 978-8120806191, hlm. 246–249, dari catatan 385 selanjutnya;
    • (Plott 2000)
  3. Buddha tidak menyangkal keberadaan suatu makhluk atau benda, merujuknya sebagai kumpulan gugusan yang saling bergantung yang tidak kekal, tetapi menyangkal adanya roh, diri, jiwa, atau identitas metafisik dalam segala hal apa pun.[25][26][27]
  4. Istilah ahaṃkāra berarti 'ego' dalam filsafat India.[29]
  5. Buddha-dhātu, batin/pikiran, Tathāgatagarbha, Dharma-dhatu, hal-hal demikian (tathata).[48]
  6. Sanskerta; Jepang: Busshō, "Benih Kebuddhaan".
  7. Trainor 2004, hlm. 207: "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha (sacred nature that is the basis for [beings'] becoming buddhas)."
  8. Wayman dan Wayman tidak setuju dengan pandangan ini, dan mereka menyatakan bahwa Tathāgatagarbha bukanlah diri maupun makhluk hidup, bukan jiwa, maupun kepribadian.[52]
Remove ads

Referensi

Daftar pustaka

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads